Suatu Ketika di Dunia Paralel
Di dunia paralel, kita ialah
sepasang kakek nenek sekarat.
Bau minyak kayu putih
seperti kematian yang menyengat.
Anak-anak kita sudah lama meninggalkan rumah.
Kartu pos sesekali berkunjung
mengabarkan para cucu yang mulai belajar berjalan.
Matahari terbit dan terbenam tiap hari.
Semesta tak menyisakan waktu bagi kita untuk menyimpan usia,
atau menyembuhkan keriput
dan serangan jantung yang makin kerap.
Kematian seperti luka yang akan kita sembuhkan dengan plester
atau pil pereda nyeri di kotak obat.
Awalnya sebulan,
setahun,
sewindu,
hingga sekian dasawarsa
kita makin akrab dengan tubuh ringkih masing-masing.
Kalaupun kematian harus bertandang
dan merentang jarak antara aku dan kau, sayangku,
cobalah percaya pada hidup sesudah mati.
Kelak kita akan bercumbu di bawah pohon apel
di taman eden, mencicip kembali
kenakalan masa muda yang kita namakan cinta.
* * *
Di dunia ini, anehnya, kita sibuk berdebat
tentang dominasi patriarki
atau institusi pernikahan,
seakan cinta tak pernah cukup ‘tuk menggenapi hidup.
Malang, 27 Desember 2013
Pada Puing-puing yang Kita Namakan Rumah
Bukan dongeng yang kau bacakan sebelum anak-anak tidur,
tapi tangisku
: hujan tergelincir di terjal bahumu,
rindu yang membanjir.
Tak usah kau susut, biar hanyut
seluruh mimpi yang tak hendak matahari.
Cintamu mendung pagi.
Rumah kita
memar senja memerah setia di sudut hari,
tak sempat menyulam malam di tidurmu yang sunyi.
* * *
Anak-anak berlarian, tak tahu jalan pulang.
Tak usah kau tebarkan remah roti
apalagi lembar puisi.
Biar kaki-kaki kecil mereka belajar mencari rumah.
Biar bibir mereka gemetar mengeja ayah
dan ibu, seperti yang kita ajarkan sejak di buaian dulu.
Tapi peluk tak pernah ibu,
pun rumah tak pernah ayah.
Seperti kita yang rumah tak berpintu : rindu
sibuk mengetuk dinding-dinding batu,
mencari jalan masuk 'nuju sepasang hati
yang saling asing.
* * *
Pada puing-puing yang kita namakan rumah,
pada retak jendela,
pada kesiut angin berindap di celah masa lalu
: pernah mereka memanggilku ibu,
pernah kau bangga dipanggilnya ayah.
Dan semenjak tegak tiang
dan tinggi langit-langit
dan keretak ubin mulai bersekolah,
mereka makin pintar menghitung airmata
tersimpan di bawah bantal,
makin pintar membaca amarah cuaca tergenang di pecah gelas.
* * *
Anak-anak masih terus berlarian,
tak pernah sampai temukan jalan kepada pulang,
tak pernah usai memungut remah
yang bukan roti bukan lembar puisi,
tak pernah lancar mengeja
k
e
h
i
l
a
n
g
a
n.
Jakarta, 9 September 2014
: lebih dari keraguanku akan tuhan,
ialah ketidakpercayaanku akan institusi pernikahan.
Panglipuran #5
Lelaki memanjat payudara,
mencari cinta.
Di sana ia temukan gua garba.
Di sana ia berdiam nyaman, menghempas jiwa purbanya,
nyalakan perapian dan hangatkan tubuh.
Lelaki memanjat payudara,
ditanamnya cinta, meneluhku.
Lelaki memanjat payudara,
membakar cinta, membunuhku.
* * *
Perempuan terpasung di relung tubuhnya sendiri.
Darah menetes di lubang mata dan celah paha.
Jantungnya dicincang manusia-manusia tak berkepala,
disantap mentah-mentah.
Perempuan meronta dikoyak luka,
ditelanjangi airmata, disetubuhi duka.
* * *
Lelaki bergelung sunyi di gua garba, menggenapi nyawa.
Diterjemahkannya cinta, yang tak hanya darah airmata.
Lelaki memanjat payudara,
mendaras cinta,
merebah nafas,
menidurkan airmata.
Di sana ia temukan rumah,
di sana ia dirikan pulang.
Lelaki memanjat payudara, menyembuh cinta
pada perempuan ‘nganga luka.
Bandung, 22 November 2014
Fadhila Eka Ratnasari
lahir di Malang, 12 November 1991. Menekuni bidang penulisan, fiksi maupun non-fiksi sejak di bangku SMP. Telah mengikuti dan lolos sebagai juara maupun kontributor beberapa lomba penulisan puisi sejak di bangku SMA, di antaranya Antologi Puisi “Sebab Akulah Kata” Teater Kedok SMAN 6 Surabaya tahun 2007, Antologi Puisi KMRS Lombok Timur tahun 2012, Antologi Cerpen Pameran Karya UKM Penulis UM tahun 2013, Antologi Puisi 100 Penyair Perempuan tahun 2014 oleh KPPI, Juara Harapan 1 Puisi Majalah Komunikasi UM tahun 2015 Juara 2 Poetry Contest ITS 2015 & kontributor Antologi Puisi Poetry Contest ITS 2015 "Cinta, Budaya, dan Nusantara". Merupakan lulusan Universitas Negeri Malang jurusan S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan S1 Bahasa & Sastra Inggris (selesai Juli 2015). Telah aktif menggiati beberapa komunitas dan pementasan sastra sejak di bangku kuliah, seperti Malam Puisi Malang (founder) serta Kolaborasi Pembacaan Puisi bersama Teater Celoteh, Sanggar Blitz, Pelangi Sastra Malang, dan Komunitas Sastra Lembah Ibarat.
Dapat dihubungi di +62857 043 22 771, fadhila.e.ratnasari @gmail.com, dan facebook.com/fadhila.e.ratnasari
Di dunia paralel, kita ialah
sepasang kakek nenek sekarat.
Bau minyak kayu putih
seperti kematian yang menyengat.
Anak-anak kita sudah lama meninggalkan rumah.
Kartu pos sesekali berkunjung
mengabarkan para cucu yang mulai belajar berjalan.
Matahari terbit dan terbenam tiap hari.
Semesta tak menyisakan waktu bagi kita untuk menyimpan usia,
atau menyembuhkan keriput
dan serangan jantung yang makin kerap.
Kematian seperti luka yang akan kita sembuhkan dengan plester
atau pil pereda nyeri di kotak obat.
Awalnya sebulan,
setahun,
sewindu,
hingga sekian dasawarsa
kita makin akrab dengan tubuh ringkih masing-masing.
Kalaupun kematian harus bertandang
dan merentang jarak antara aku dan kau, sayangku,
cobalah percaya pada hidup sesudah mati.
Kelak kita akan bercumbu di bawah pohon apel
di taman eden, mencicip kembali
kenakalan masa muda yang kita namakan cinta.
* * *
Di dunia ini, anehnya, kita sibuk berdebat
tentang dominasi patriarki
atau institusi pernikahan,
seakan cinta tak pernah cukup ‘tuk menggenapi hidup.
Malang, 27 Desember 2013
Pada Puing-puing yang Kita Namakan Rumah
Bukan dongeng yang kau bacakan sebelum anak-anak tidur,
tapi tangisku
: hujan tergelincir di terjal bahumu,
rindu yang membanjir.
Tak usah kau susut, biar hanyut
seluruh mimpi yang tak hendak matahari.
Cintamu mendung pagi.
Rumah kita
memar senja memerah setia di sudut hari,
tak sempat menyulam malam di tidurmu yang sunyi.
* * *
Anak-anak berlarian, tak tahu jalan pulang.
Tak usah kau tebarkan remah roti
apalagi lembar puisi.
Biar kaki-kaki kecil mereka belajar mencari rumah.
Biar bibir mereka gemetar mengeja ayah
dan ibu, seperti yang kita ajarkan sejak di buaian dulu.
Tapi peluk tak pernah ibu,
pun rumah tak pernah ayah.
Seperti kita yang rumah tak berpintu : rindu
sibuk mengetuk dinding-dinding batu,
mencari jalan masuk 'nuju sepasang hati
yang saling asing.
* * *
Pada puing-puing yang kita namakan rumah,
pada retak jendela,
pada kesiut angin berindap di celah masa lalu
: pernah mereka memanggilku ibu,
pernah kau bangga dipanggilnya ayah.
Dan semenjak tegak tiang
dan tinggi langit-langit
dan keretak ubin mulai bersekolah,
mereka makin pintar menghitung airmata
tersimpan di bawah bantal,
makin pintar membaca amarah cuaca tergenang di pecah gelas.
* * *
Anak-anak masih terus berlarian,
tak pernah sampai temukan jalan kepada pulang,
tak pernah usai memungut remah
yang bukan roti bukan lembar puisi,
tak pernah lancar mengeja
k
e
h
i
l
a
n
g
a
n.
Jakarta, 9 September 2014
: lebih dari keraguanku akan tuhan,
ialah ketidakpercayaanku akan institusi pernikahan.
Panglipuran #5
Lelaki memanjat payudara,
mencari cinta.
Di sana ia temukan gua garba.
Di sana ia berdiam nyaman, menghempas jiwa purbanya,
nyalakan perapian dan hangatkan tubuh.
Lelaki memanjat payudara,
ditanamnya cinta, meneluhku.
Lelaki memanjat payudara,
membakar cinta, membunuhku.
* * *
Perempuan terpasung di relung tubuhnya sendiri.
Darah menetes di lubang mata dan celah paha.
Jantungnya dicincang manusia-manusia tak berkepala,
disantap mentah-mentah.
Perempuan meronta dikoyak luka,
ditelanjangi airmata, disetubuhi duka.
* * *
Lelaki bergelung sunyi di gua garba, menggenapi nyawa.
Diterjemahkannya cinta, yang tak hanya darah airmata.
Lelaki memanjat payudara,
mendaras cinta,
merebah nafas,
menidurkan airmata.
Di sana ia temukan rumah,
di sana ia dirikan pulang.
Lelaki memanjat payudara, menyembuh cinta
pada perempuan ‘nganga luka.
Bandung, 22 November 2014
Fadhila Eka Ratnasari
lahir di Malang, 12 November 1991. Menekuni bidang penulisan, fiksi maupun non-fiksi sejak di bangku SMP. Telah mengikuti dan lolos sebagai juara maupun kontributor beberapa lomba penulisan puisi sejak di bangku SMA, di antaranya Antologi Puisi “Sebab Akulah Kata” Teater Kedok SMAN 6 Surabaya tahun 2007, Antologi Puisi KMRS Lombok Timur tahun 2012, Antologi Cerpen Pameran Karya UKM Penulis UM tahun 2013, Antologi Puisi 100 Penyair Perempuan tahun 2014 oleh KPPI, Juara Harapan 1 Puisi Majalah Komunikasi UM tahun 2015 Juara 2 Poetry Contest ITS 2015 & kontributor Antologi Puisi Poetry Contest ITS 2015 "Cinta, Budaya, dan Nusantara". Merupakan lulusan Universitas Negeri Malang jurusan S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan S1 Bahasa & Sastra Inggris (selesai Juli 2015). Telah aktif menggiati beberapa komunitas dan pementasan sastra sejak di bangku kuliah, seperti Malam Puisi Malang (founder) serta Kolaborasi Pembacaan Puisi bersama Teater Celoteh, Sanggar Blitz, Pelangi Sastra Malang, dan Komunitas Sastra Lembah Ibarat.
Dapat dihubungi di +62857 043 22 771, fadhila.e.ratnasari @gmail.com, dan facebook.com/fadhila.e.ratnasari