SIAPAKAH SANTRI?
Oleh: Muallifah
Suatu hal yang biasa dilakukan seorang santri yang menerapkan nilai-nilai kesantriannya saat ia berada dalam lingkup pesantren, saat ia terikat dalam sebuah pesantren. Karena bagaimanapun ia melakukannya untuk sebuah tuntutan, sebuah keterikatan yang mengharuskan ia untuk menerapkan ajaran-ajaran itu, dan apabila ia tidak menerapkan maka mau tidak mau ia akan menjalani sebuah hukuman.
Berbeda dengan ia ketika keluar dari keterikatan itu kemudian ia menerapkan nilai-nilai kesantriannya, itu adalah hal yang luar biasa ketika ia sudah tidak terikat dengan keterikatannya itu. Maka mindsetnya tentang semua yang dilakukannnya hanya sebuah tuntutan itu, berubah menjadi sebuah kebutuhan, ini bukan kebutuhan untuk dirinya agar bertahan hidup demi mendapat sebuah asupan makanan, bukan juga kebutuhan fisik, melainkan kebutuhan jiwanya, kebutuhan ruhaniyah yang tak dapat dijelaskan oleh lisan, tidak dapat diucapkan dengan bahasa melainkan dapat dirasakan oleh hati yang paling dalam.
Maka tidak cukup label “santri” diberikan kepada ia yang menempuh pendidikannya di pesantren saja , karena sejatinya ia yang menerapkan nilai-nilai kesantrian meski tidak dalam sebuah keterikatan, ia dinamakan santri meski sejatinya ia tak pernah merasakan betapa pedihnya sebuah hukuman ketika melanggar peraturan, betapa rindunya ia kepada sang ibunda, betapa susahnya mencari ilmu, betapa amat sedihnya ketika melihat anak seusia mereka bisa berhura-hura di luar sedangkan dirinya terkurung dalam sebuah penjara yang mereka sebut “penjara suci”.
Kalaupun ia berbeda penerapannya meskipun sama sama memiliki label “santri” itu tidak jadi persoalan, karena pengalaman serta ilmu yang keduanya dapat itu berbeda, keduanya hidup dalam dunia yang sama namun wilayah yang berbeda. Namun pada realitanya banyak santri yang ketika keluar dari keterikatannya itu malah seperti ia yang tidak pernah mengenyam pendidikan (namun lebih banyak lagi santri yang mnerapkan nilai itu). Bejat, jahat dan segala macam label buruk ada pada dirinya, maka untuk ia yang selalu meng-Akukan kesantriannya, meremehkan santri yang bukan atas nama pesantren katakan bahwa tidak semua sejenisnya menerapkan nilai-nilai kesantriannya dengan sesungguhnya, dan katakan bahwa yang ia lihat hanya sebagian, maka lihatlah ia yang tak pernah mengenyam pendidikan di sebuah ‘penjara suci” bisa lebih dari yang bejat itu, bahkan bisa lebih daripada dirinya.
Mindsetnya harus diubah perihal itu, agar tidak semata-mata selalu meng-Akukan kesantriannya dan mengagungkan spesies sejenisnya. Ini bukan ingin membukakan pintu kesombongannya, tidak. Itu bukanlah sebuah kesombongan, hanya saja perlu pemahaman lebih lanjut tentang ini, agar tidak bertumpu pada teori semata, agar tidak melihat satu sisi saja, dan jelaskan bahwa ia perlu kaca mata kuda un tuk melihat dari segala sisi agar semua jelas terlihat dan bisa dilihat oleh semua, karena seyogyanya tanpa kita sadari kita sudah menyakiti hati orang lain, maka jagalah sebuah lisan itu agar tidak mudah tergelincir dan tidak mudah menjadi pedang bagi orang lain, karena semua orang itu tidak sama, dan tidak ada orang yang sama secara pemikiran dan pemahaman apalagi sebuah rasa, semua memiliki porsi masing-masing setiap individu maka pikirlah terlebih dahulu sebelum muncul bahasa yang akan kamu gunakan terhadap orang lain.
Oleh: Muallifah
Suatu hal yang biasa dilakukan seorang santri yang menerapkan nilai-nilai kesantriannya saat ia berada dalam lingkup pesantren, saat ia terikat dalam sebuah pesantren. Karena bagaimanapun ia melakukannya untuk sebuah tuntutan, sebuah keterikatan yang mengharuskan ia untuk menerapkan ajaran-ajaran itu, dan apabila ia tidak menerapkan maka mau tidak mau ia akan menjalani sebuah hukuman.
Berbeda dengan ia ketika keluar dari keterikatan itu kemudian ia menerapkan nilai-nilai kesantriannya, itu adalah hal yang luar biasa ketika ia sudah tidak terikat dengan keterikatannya itu. Maka mindsetnya tentang semua yang dilakukannnya hanya sebuah tuntutan itu, berubah menjadi sebuah kebutuhan, ini bukan kebutuhan untuk dirinya agar bertahan hidup demi mendapat sebuah asupan makanan, bukan juga kebutuhan fisik, melainkan kebutuhan jiwanya, kebutuhan ruhaniyah yang tak dapat dijelaskan oleh lisan, tidak dapat diucapkan dengan bahasa melainkan dapat dirasakan oleh hati yang paling dalam.
Maka tidak cukup label “santri” diberikan kepada ia yang menempuh pendidikannya di pesantren saja , karena sejatinya ia yang menerapkan nilai-nilai kesantrian meski tidak dalam sebuah keterikatan, ia dinamakan santri meski sejatinya ia tak pernah merasakan betapa pedihnya sebuah hukuman ketika melanggar peraturan, betapa rindunya ia kepada sang ibunda, betapa susahnya mencari ilmu, betapa amat sedihnya ketika melihat anak seusia mereka bisa berhura-hura di luar sedangkan dirinya terkurung dalam sebuah penjara yang mereka sebut “penjara suci”.
Kalaupun ia berbeda penerapannya meskipun sama sama memiliki label “santri” itu tidak jadi persoalan, karena pengalaman serta ilmu yang keduanya dapat itu berbeda, keduanya hidup dalam dunia yang sama namun wilayah yang berbeda. Namun pada realitanya banyak santri yang ketika keluar dari keterikatannya itu malah seperti ia yang tidak pernah mengenyam pendidikan (namun lebih banyak lagi santri yang mnerapkan nilai itu). Bejat, jahat dan segala macam label buruk ada pada dirinya, maka untuk ia yang selalu meng-Akukan kesantriannya, meremehkan santri yang bukan atas nama pesantren katakan bahwa tidak semua sejenisnya menerapkan nilai-nilai kesantriannya dengan sesungguhnya, dan katakan bahwa yang ia lihat hanya sebagian, maka lihatlah ia yang tak pernah mengenyam pendidikan di sebuah ‘penjara suci” bisa lebih dari yang bejat itu, bahkan bisa lebih daripada dirinya.
Mindsetnya harus diubah perihal itu, agar tidak semata-mata selalu meng-Akukan kesantriannya dan mengagungkan spesies sejenisnya. Ini bukan ingin membukakan pintu kesombongannya, tidak. Itu bukanlah sebuah kesombongan, hanya saja perlu pemahaman lebih lanjut tentang ini, agar tidak bertumpu pada teori semata, agar tidak melihat satu sisi saja, dan jelaskan bahwa ia perlu kaca mata kuda un tuk melihat dari segala sisi agar semua jelas terlihat dan bisa dilihat oleh semua, karena seyogyanya tanpa kita sadari kita sudah menyakiti hati orang lain, maka jagalah sebuah lisan itu agar tidak mudah tergelincir dan tidak mudah menjadi pedang bagi orang lain, karena semua orang itu tidak sama, dan tidak ada orang yang sama secara pemikiran dan pemahaman apalagi sebuah rasa, semua memiliki porsi masing-masing setiap individu maka pikirlah terlebih dahulu sebelum muncul bahasa yang akan kamu gunakan terhadap orang lain.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313