AKU JATUH CINTA PADA MESIN
Kegaduhan hari ini belum usai, ketika para siswa telah libur semester, namun para guru tidak diperbolehkan libur sebab ada perubahan aturan dari pemerintah. Mengajukan cuti menjadi solusi, namun kami para guru tak pernah mengajukan cuti seperti para pegawai kantoran. Ruang kantor ini terlalu pagi untuk terasa bising, oleh gerutu beberapa temanku yang tak bisa liburan bersama keluarganya, gara-gara sistem dari sebuah mesin. Sementara kepalaku terseret ke masa lalu.
***
Tepat satu tahun lalu, ketika libur lebaran telah usai, sekolah kembali masuk seperti sedia kala. Hari-hariku kini tak lagi sama seperti dulu, sebelum saya menjadi guru. Tidur pagi hingga siang dan beraktifitas malam hari menjadi rutinitasku, namun kala itu mulai berbeda. Awal tahun itu saya lolos tes pegawai negeri, mendaftarkan diri sebagai guru bahasa Indonesia di salah satu sekolah di kota ini. Kebanggaan luar biasa bagi orangtuaku, akhirnya ada anaknya yang meneruskan profesi ayahnya menjadi guru. Kebetulan ayah saya telah pendapat SK pensiun, bertepatan pula saya mendapatkan SK mengajar.
Lingkungan sekolah adalah hal yang baru bagiku, sebuah rutinitas yang birokratis. Berbeda dengan dunia seniman yang sebelumnya saya jalani, yang penuh improvisasi. Rutinitas itu yang membuat saya bertemu dengan sebuah mesin, bernama fingerprint. Dan saya jatuh cinta padanya, mungkin terdengar konyol, namun begitulah adanya.
Hari-hari awal masuk sekolah adalah rutinitas yang penuh hal baru. Waktu luang sebelum tahun ajaran baru, saya manfaatkan untuk mempelajari seluruh sistem mengajar, mulai dari melengkapi perangkat mengajar hingga segala aspek birokrasinya, salah satunya tentang jadwal fingerprint.
Saya suka sesuatu yang sistematis, jika menyangkut kedisiplinan. itu yang terkadang membuat saya terlihat tidak sopan atau terlalu keras menyikapi ketidakberesan yang terjadi di sekitar. Itu yang membuat saya merasa begitu cocok dengan mesin absen ini. Ketika dunia dilanda kepalsuan dengan kedok sopan santun dan kecurangan, saya jengah dengan tingkah laku manusia modern, yang berlindung di balik keramahan untuk menyembunyikan kebusukan.
Saya sendiri heran, kenapa saya menulis cerita ini. Apa nanti tidak ada yang tersinggung jika ada teman guru yang membaca tulisan ini. Ah saya cuek saja, toh tulisan ini saya kirim ke koran media luar negeri, jadi kemungkinan kecil mereka bisa membacanya.
Setiap pagi mesin itu adalah sosok yang selalu menyapa saya dengan penuh kelembutan dan keramahan. Ketika saya salah meletakkan jari, dengan sopan ia ucapkan "Coba lagi", dan ketika scan finger sukses, ia katakan "Terima kasih". Suara wanita yang lembut, namun ada ketegasan di balik kelembutan itu. Sosok istri yang sempurna.
Saya tau ada oknum yang melakukan kecurangan dengan mesin itu, namun sebagai orang baru, saya hanya bisa diam dan mengamati. Salah satunya seseorang yang meminjam jari orang lain untuk melakukan absen finger. Terlihat ketika satu orang melakukan finger dua kali, pertama ketika ia tempelkan jari telunjuk untuk absen dirinya sendiri, kedua ketika ia tempelkan ibu jari untuk absen temannya yang nebeng absensi.
Begitulah sistem, selalu ada peluang untuk kecurangan. Sebaik apapun sistem pasti ada oknum yang menemukan peluang kecurangan. semua kembali pada moralitas pelakunya. Sebagai seorang guru baru, saya tak banyak berbuat. Mungkin karena usia yang semakin tua, saya jadi tak begitu idealis seperti waktu sebelum 30 tahun, orang bilang dulu saya keras kepala, sekarang lebih terlihat bijaksana.
Saya melakukan scan finger tiap pergantian jam pelajaran. Sedangkan guru-guru lain melakukan finger hanya dua kali, setiap awal dan pulang sekolah saja. Karena kebiasaan saya yang aneh itu, membuat saya dicap aneh oleh beberapa teman guru, katanya saya terlalu rajin finger, mungkin dalam hatinya berkata saya gila atau kurang kerjaan. Tetapi saya tak pernah risau soal pendapat orang lain, selama perbuatan saya tak mengandung perbuatan yang melanggar aturan. Saya lakukan finger sesering mungkin karena suara wanita di mesin itu adalah semangat saya untuk melanjutkan jam mengajar sampai usai. Dari kelembutan suaranya ada kekuatan penyemangat dan ketulusan.
Pada suatu hari mesin itu rusak, pak kepala sekolah memberitahukan bahwa mesin itu sudah terlalu tua. Memang mesin finger itu bukan beli baru, namun hibah dari perusahaan milik salah satu alumni. Solusinya absensi kehadiran guru dilakukan secara manual dengan tanda tangan di ruang TU.
Semenjak kejadian itu, saya seperti kehilangan separuh semangat. Kedisiplinan untuk melaksanakan tugas mengajar tetap ada, namun ada yang kurang, tak seperti biasanya. Entah kapan mesin itu akan sembuh dari kerusakan, atau bakal digantikan mesin yang baru. Saya berharap ia akan sembuh, bukan digantikan mesin yang baru.
Sebagai pria single di usia 30 tahun, tentu jadi beban saya di lingkungan sosial. Sementara teman-teman seangkatan saya sudah menikah semuanya. Pernah saya konsultasi ke psikiater, apakah saya mengalami gangguan jiwa atau kelainan seksual. Sejauh ini semua berpendapat saya baik-baik saja, cuman belum bertemu jodohnya saja, katanya.
Di zaman modern ini, ada banyak cara untuk menemukan jodoh. Dari smartphone ada banyak aplikasi pencari jodoh, namun imbasnya kemudahan itu justru mempersulit manusia untuk menemukan pasangan yang benar-benar tulus karena cinta. Pertimbangan yang bersifat materialis menjadi orientasinya. Sebetulnya jika saya beri tahu profesi saya sebagai seorang pegawai negeri pasti banyak yang berminat menikah dengan saya, namun bukan wanita seperti itu yang saya cari.
Hari-hari berlalu begitu saja, tak ada lagi suara si cantik dari mesin yang biasanya memeriksa jemariku. Suatu hari saya dipanggil untuk menghadap ke ruang kepala sekolah. Pak kepala sekolah menyodorkan daftar absensi saya yang kosong, karena saya tak perlah melakukan absen secara manual di ruang TU. Perdebatan panjang dengan kepala sekolah pun terjadi, yang intinya saya tidak pernah meninggalkan tugas mengajar dan saya minta maaf karena semenjak fingerprint rusak, saya selalu lupa untuk absen secara manual di ruang TU.
Ternyata Pak Kepala sekolah sudah tahu semuanya tentang peristiwa yang saya alami, bahkan beliau mengatakan salut dengan kinerja saya yang disiplin dan penuh semangat dalam mengajar para siswa. Ternyata selama ini saya dipantau oleh karyawan TU yang bernama mbak Nindya. "Saya sudah tahu semuanya, yang cerita mbak Nindya, orangnya pendiam namun jujur, disiplin, idealis, tak bisa toleran pada pelanggaran, dia sudah mengabdi di sini selama 8 tahun dan belum menikah." kata Pak Kepala sekolah.
Satu tahun berlalu setelah kejadian itu, saya dan Nindya akhirnya menikah dan kami dikaruniai seorang putri yang kami beri nama Fingerina Fitri, karena anak kami lahir bertepatan dengan 1 Syawal.
Pernah dimuat di Bangka Pos, edisi 25 Agustus 2019.
W. Tanjung Files, lahir di Madiun, 21 Februari 1988. Menulis cerpen, puisi, dan musikalisasi puisi. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Kitab Puisi Negeri Kertas (2015), Jejak Inspirasi (2015), Taman Tak Bernama (2016).
Kegaduhan hari ini belum usai, ketika para siswa telah libur semester, namun para guru tidak diperbolehkan libur sebab ada perubahan aturan dari pemerintah. Mengajukan cuti menjadi solusi, namun kami para guru tak pernah mengajukan cuti seperti para pegawai kantoran. Ruang kantor ini terlalu pagi untuk terasa bising, oleh gerutu beberapa temanku yang tak bisa liburan bersama keluarganya, gara-gara sistem dari sebuah mesin. Sementara kepalaku terseret ke masa lalu.
***
Tepat satu tahun lalu, ketika libur lebaran telah usai, sekolah kembali masuk seperti sedia kala. Hari-hariku kini tak lagi sama seperti dulu, sebelum saya menjadi guru. Tidur pagi hingga siang dan beraktifitas malam hari menjadi rutinitasku, namun kala itu mulai berbeda. Awal tahun itu saya lolos tes pegawai negeri, mendaftarkan diri sebagai guru bahasa Indonesia di salah satu sekolah di kota ini. Kebanggaan luar biasa bagi orangtuaku, akhirnya ada anaknya yang meneruskan profesi ayahnya menjadi guru. Kebetulan ayah saya telah pendapat SK pensiun, bertepatan pula saya mendapatkan SK mengajar.
Lingkungan sekolah adalah hal yang baru bagiku, sebuah rutinitas yang birokratis. Berbeda dengan dunia seniman yang sebelumnya saya jalani, yang penuh improvisasi. Rutinitas itu yang membuat saya bertemu dengan sebuah mesin, bernama fingerprint. Dan saya jatuh cinta padanya, mungkin terdengar konyol, namun begitulah adanya.
Hari-hari awal masuk sekolah adalah rutinitas yang penuh hal baru. Waktu luang sebelum tahun ajaran baru, saya manfaatkan untuk mempelajari seluruh sistem mengajar, mulai dari melengkapi perangkat mengajar hingga segala aspek birokrasinya, salah satunya tentang jadwal fingerprint.
Saya suka sesuatu yang sistematis, jika menyangkut kedisiplinan. itu yang terkadang membuat saya terlihat tidak sopan atau terlalu keras menyikapi ketidakberesan yang terjadi di sekitar. Itu yang membuat saya merasa begitu cocok dengan mesin absen ini. Ketika dunia dilanda kepalsuan dengan kedok sopan santun dan kecurangan, saya jengah dengan tingkah laku manusia modern, yang berlindung di balik keramahan untuk menyembunyikan kebusukan.
Saya sendiri heran, kenapa saya menulis cerita ini. Apa nanti tidak ada yang tersinggung jika ada teman guru yang membaca tulisan ini. Ah saya cuek saja, toh tulisan ini saya kirim ke koran media luar negeri, jadi kemungkinan kecil mereka bisa membacanya.
Setiap pagi mesin itu adalah sosok yang selalu menyapa saya dengan penuh kelembutan dan keramahan. Ketika saya salah meletakkan jari, dengan sopan ia ucapkan "Coba lagi", dan ketika scan finger sukses, ia katakan "Terima kasih". Suara wanita yang lembut, namun ada ketegasan di balik kelembutan itu. Sosok istri yang sempurna.
Saya tau ada oknum yang melakukan kecurangan dengan mesin itu, namun sebagai orang baru, saya hanya bisa diam dan mengamati. Salah satunya seseorang yang meminjam jari orang lain untuk melakukan absen finger. Terlihat ketika satu orang melakukan finger dua kali, pertama ketika ia tempelkan jari telunjuk untuk absen dirinya sendiri, kedua ketika ia tempelkan ibu jari untuk absen temannya yang nebeng absensi.
Begitulah sistem, selalu ada peluang untuk kecurangan. Sebaik apapun sistem pasti ada oknum yang menemukan peluang kecurangan. semua kembali pada moralitas pelakunya. Sebagai seorang guru baru, saya tak banyak berbuat. Mungkin karena usia yang semakin tua, saya jadi tak begitu idealis seperti waktu sebelum 30 tahun, orang bilang dulu saya keras kepala, sekarang lebih terlihat bijaksana.
Saya melakukan scan finger tiap pergantian jam pelajaran. Sedangkan guru-guru lain melakukan finger hanya dua kali, setiap awal dan pulang sekolah saja. Karena kebiasaan saya yang aneh itu, membuat saya dicap aneh oleh beberapa teman guru, katanya saya terlalu rajin finger, mungkin dalam hatinya berkata saya gila atau kurang kerjaan. Tetapi saya tak pernah risau soal pendapat orang lain, selama perbuatan saya tak mengandung perbuatan yang melanggar aturan. Saya lakukan finger sesering mungkin karena suara wanita di mesin itu adalah semangat saya untuk melanjutkan jam mengajar sampai usai. Dari kelembutan suaranya ada kekuatan penyemangat dan ketulusan.
Pada suatu hari mesin itu rusak, pak kepala sekolah memberitahukan bahwa mesin itu sudah terlalu tua. Memang mesin finger itu bukan beli baru, namun hibah dari perusahaan milik salah satu alumni. Solusinya absensi kehadiran guru dilakukan secara manual dengan tanda tangan di ruang TU.
Semenjak kejadian itu, saya seperti kehilangan separuh semangat. Kedisiplinan untuk melaksanakan tugas mengajar tetap ada, namun ada yang kurang, tak seperti biasanya. Entah kapan mesin itu akan sembuh dari kerusakan, atau bakal digantikan mesin yang baru. Saya berharap ia akan sembuh, bukan digantikan mesin yang baru.
Sebagai pria single di usia 30 tahun, tentu jadi beban saya di lingkungan sosial. Sementara teman-teman seangkatan saya sudah menikah semuanya. Pernah saya konsultasi ke psikiater, apakah saya mengalami gangguan jiwa atau kelainan seksual. Sejauh ini semua berpendapat saya baik-baik saja, cuman belum bertemu jodohnya saja, katanya.
Di zaman modern ini, ada banyak cara untuk menemukan jodoh. Dari smartphone ada banyak aplikasi pencari jodoh, namun imbasnya kemudahan itu justru mempersulit manusia untuk menemukan pasangan yang benar-benar tulus karena cinta. Pertimbangan yang bersifat materialis menjadi orientasinya. Sebetulnya jika saya beri tahu profesi saya sebagai seorang pegawai negeri pasti banyak yang berminat menikah dengan saya, namun bukan wanita seperti itu yang saya cari.
Hari-hari berlalu begitu saja, tak ada lagi suara si cantik dari mesin yang biasanya memeriksa jemariku. Suatu hari saya dipanggil untuk menghadap ke ruang kepala sekolah. Pak kepala sekolah menyodorkan daftar absensi saya yang kosong, karena saya tak perlah melakukan absen secara manual di ruang TU. Perdebatan panjang dengan kepala sekolah pun terjadi, yang intinya saya tidak pernah meninggalkan tugas mengajar dan saya minta maaf karena semenjak fingerprint rusak, saya selalu lupa untuk absen secara manual di ruang TU.
Ternyata Pak Kepala sekolah sudah tahu semuanya tentang peristiwa yang saya alami, bahkan beliau mengatakan salut dengan kinerja saya yang disiplin dan penuh semangat dalam mengajar para siswa. Ternyata selama ini saya dipantau oleh karyawan TU yang bernama mbak Nindya. "Saya sudah tahu semuanya, yang cerita mbak Nindya, orangnya pendiam namun jujur, disiplin, idealis, tak bisa toleran pada pelanggaran, dia sudah mengabdi di sini selama 8 tahun dan belum menikah." kata Pak Kepala sekolah.
Satu tahun berlalu setelah kejadian itu, saya dan Nindya akhirnya menikah dan kami dikaruniai seorang putri yang kami beri nama Fingerina Fitri, karena anak kami lahir bertepatan dengan 1 Syawal.
Pernah dimuat di Bangka Pos, edisi 25 Agustus 2019.
W. Tanjung Files, lahir di Madiun, 21 Februari 1988. Menulis cerpen, puisi, dan musikalisasi puisi. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Kitab Puisi Negeri Kertas (2015), Jejak Inspirasi (2015), Taman Tak Bernama (2016).
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313