Ada yang salah ketika bermimpi, loh kok bisa? Ya bisa saja, mengapa tidak? Coba lihat saja, betapa banyak yang “salah jalan” ketika ingin kaya dengan menjadi penulis. Ingin kayak kok menjadi penulis, apa tidak salah? Mana ada yang kaya gara-gara menjadi penulis? Mungkin satu, dua ada, atau dari seribu orang ada satu, dua yang kaya gara-gara menulis.
Tapi kalau dilihat kebanyakan atau secara umum, profesi penulislah yang susah mendapat pemasukan atau dana yang besar. Lihat saja di toko-toko buku, begitu banyak buku yang terpajang, namun sedikit yang terbeli.
Dan kalau mau dilihat secara umum lagi, sebuah buku naik cetak, sekitar 3000-5000 eksemplar per sekali cetak, bisa satu tahun baru laku terjual bahkan ada yang bertahun-tahun mangkrak di rak toko buku, memang ada beberapa yang mengalami best seller, sehingga mengalami beberapa kali cetak ulang, bahkan bisa puluhan kali.
Buku jenis itu biasanya adalah novel-novel yang “meledak” di pasaran, seperti karyanya JK Rowling, “Harry Potter” atau karyanya Dan Brown, “Da Vinci Code” itu untuk menyebut tingkat dunia, kalau tingkatan Indonesia seperti karyanya Kang Abik, “Ayat-Ayat Cinta” dan “ Ketika Cinta Bertasbih” atau karyanya Andre Hirata, “ Laskar Pelangi” itu sebagai contoh saja.
Namun kalau dibandingkan jumlah penulisnya dengan jumlah atau judul buku yang mencapai best seller tadi sangat jauh, penulisnya sudah ribuan dan menghasilkan berbagai macam judul buku, tapi buku yang best seller, sekali lagi hanya dalam hitungan jari tangan, jadi benar-benar tak sebanding.
Memang butuh riset mendalam untuk hal tersebut, tapi secara kasat mata bisa dilihat dari jumlah buku yang diterbitkan per bulan dibandingkan jumlah buku yang berhasil dijual best seller itu berbanding terbalik.
Judul buku per bulannya begitu banyak dihasilkan, tapi yang terjual begitu sedikit, apa lagi harga buku begitu mahal untuk ukuran rakyat kebanyakan. Untuk ukuran sebuah buku atau novel setebal 350 halaman misalnya, tak kurang dari harga diantara Rp50.000- Rp100.000, tergantung jenis kertas yang dipergunakan, lagi-lagi ini perlu penelitian yang lebih mendalam.
Celakanya lagi, masyarakat kita di Indonesia minat bacanya tergolong rendah, kecuali kalau baca SMS atau chatting di internet, seperti lewat FB, Twitter dan lain sebagainya.
Namun membaca serius untuk sebuah buku, apa lagi buku yang tebal, di atas 500-an halaman, waduh mungkin berkata ”ga janji deh”. Lebih celaka lagi minat membaca di kalangan pemuda dan anak-anak, bisa dikatakan sangat rendah. Karena kalah dengan visual dalam bentuk game, kalau dulu Nintendo, Mario, SP dan lain sebagainya, sekarang jenisnya mungkin ribuan. Dan itu gratis disediakan oleh internet, sehingga berbondong-bondonglah ABG itu ke warnet, bukan untuk membaca, tapi main game!
Kembali ke penulis, bisakah menjadi kaya gara-gara menulis? Bisa! Tapi sekali jangan bermimpi, karena lebih banyak yang tidaknya, ketimbang yang benar-benar berhasil menjadi kaya dengan menjadi penulis.
Lalu apakah harus berhenti menulis? Ya tergantung pada niat masing-masing. Kalau ingin kaya materi, sangat jauh didapatkan dari menulis, tapi kalau ingin kaya rohani, menulis pintu masuk yang paling mudah, apa lagi sudah nulis, tapi tak dibayar, ya gampang itu. Nulis saja di blog seperti di negerikertas.com, beres!
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024