MITONI
Puisi Eko Setyawan
tujuh rupa
tujuh warna
tujuh bulan usia
tujuan kian jelas
bermuara.
bulan ke tujuh
ialah waktu
di mana semua tinuju.
lain lafal,
kadang sama maknanya.
tujuh, juga dilafal pitu
ialah pitulungan
bagi ia yang hidup
dan berharap
pada Sang Hyang
lewat sembahyang.
ketika di rahim ibu
bermukim janin
tujuh bulan lamanya,
syukur diucap
dan diuraikan
dengan beragam cara.
hari dipilih.
dihitung dengan jari-jari
dan diputuskan
rabu dan sabtu sebagai suatu yang pasti.
tanggal ganjil
sebelum tengah bulan
segalanya mafhum ditentukan dan dilaksanakan.
sungkeman,
sebagai tanda
memulai segala serangkaian.
memohon doa pada kedua orang tua
adalah restu yang tak ternilai harganya.
sebab di hari-hari berikutnya,
kelak, akan jadi orang tua lainnya.
selepas sungkem,
restu diterima dan melengkapi
sekaligus melingkupi.
bakal ibu
didudukkan di atas tikar pandan
beralas daun-daun dari pekarangan
daun kluwih,
daun kara,
daun dadap,
ilalang,
juga daun-daun lainnya.
menjelma pertanda
bahwa hidup
tak luput dari kenyataan
yang ada di sekelilingnya.
setelah segalanya tersedia
selepas segalanya lengkap
jangkeplah persiapan.
lantas
bakal ibu
dimandikan
juga keramas tak boleh dilupakan.
dibasuh air
dengan kembang tujuh rupa warna,
diurap pula dengan mangir,
daun pandan,
daun kemuning,
sebagai penguat aroma,
dibanjur dengan gayung dari batok kelapa
dan dipecah sebagai pungkasannya.
aroma yang menguar
memancarkan cahaya
ke dalam kepala
agar mampu berpikir
dan menerima
segala yang dipercayai.
sebagai wangi,
sebagai pencegah keras hati.
bersih lahirnya,
bersih pula batinnya.
demi kelancaran ke depan
diajari sedikit banyak percobaan.
telur ayam kampung digulirkan
dari sarung yang dikenakan ibu
meluncur dan pecah tak menentu.
dari sana, harapan ditanamkan
agar kelak,
bayi lahir tanpa halangan.
“laki-laki atau perempuan
tak ada beda.
asalkan selamat lahirnya.”
hidup,
selalu bertalian
dan bertaut bergantian.
kelapa gading yang disiapkan
tergambar sepasang
laki-laki dan perempuan.
antara Kamajaya-Kamaratih,
Arjuna-Sembadra
atau Panji-Candrakirana
digelindingkan melalui pakaian
yang dikenakan.
“lanang-lanang, wedok-wedok.”
jawaban bersahutan.
“lanang-lanang, wedok-wedok.”
jawaban dilafalakan
mereka yang menyaksikan.
selepas segalanya bersih
tanpa noda.
setelah menentukan laki-laki atau perempuan
bakal anaknya.
calon ibu mengenakan jarik
beberapa jenisnya:
letrek,
jingga,
bangun tulak,
sindur,
sembagi,
selendang lurik,
yuyusekandang,
dan kain putih tanpa noda pelengkapnya.
menjelma isyarat,
bahwa hidup ke depan
akan dilalui
dengan beragam rupa warna.
beragam lika-liku bentuknya.
dengan si bayi
yang kelak akan beranjak dewasa.
“pantes opo ora?”
dari kerumunan serentak bergema:
“pantes!”
“pantes opo ora pantes?”
“pantes!”
pertanyaan dan jawaban
diulang tujuh kali lamanya.
kepantasan,
sebenarnya tak berwujud.
sesekali melintas di kepala
dan lebih sering ada di hati.
tapi, kepantasan
bukan datang dari diri sendiri
melainkan dari pandangan liyan.
lalu akhirnya,
pilihan ditentukan.
jarik terpilih dikenakan.
setelahnya,
janur dililitkan diperut ibu
tanda bahwa tali pusar
terhubung antara ibu
dan janin
menyambung takdir
dan kelak, di kemudian hari
akan hidup sendiri-sendiri.
lilitan janur,
dipotong bapak
sebagai tanda
bahwa kelak
bayi akan lahir
dengan lancar
tanpa halangan apa-apa.
janur menjelma tanda
pusar dari ibu
tersambung ke jabang bayi
kelak akan lahir
tanpa halangan,
tanpa ketakutan,
semua demi kelancaran.
ibu lantas meminum jamu
yang ditiup doa-doa
dari pinisepuh
sebagai tanda perantara
dari pemilik semesta.
doa-doa dilafal,
jamu diminum
dan mempermudah kelahiran nantinya.
ibu juga dodol rujak
dari campuran ragam buah
rupa warna, rupa rasa.
mereka yang tiba
membeli dengan kreweng
sebagai penebusnya.
kelak selepas jabang bayi lahir
rezeki akan terbagi
datang dan pergi.
bapak juga tak kalah gelisah
ia curi uleg-uleg dan telur ayam
dari dapur dan petarangan
dengan harapan
kelak kelahiran lancar
seperti pencuri
yang berusaha pergi
menghindari sergapan.
lantas,
seluruhnya kembali dipahami
bahwa hidup ialah persoalan menentukan.
laki-laki atau perempuan adalah pilihan
ketika parang terayun
memecah degan gadhing kuning
bergambar sosok laki-laki dan perempuan.
tak lupa
dirapalkan pula sabda
atau barangkali harapan
dari bapak ke calon anak
: lahirlah tanpa halangan apa-apa.
jika laki-laki,
turunlah tabiat dan perangai
Kamajaya, Arjuna, atau Panji.
jika ia kelak perempuan,
kelak ia ialah titisan
Kamaratih, Sembrada, atau juga Candra Kirana.
sabda,
juga harapan,
selesai dilafalkan
dan menunggu takdir
dari kelahiran
yang sudah dekat
waktunya.
sejak saat itu
tiap berganti waktu
akan selalu ditunggu.
bapak penuh harap
dan ibu
mengandung dengan haru.
tujuh bulan sudah
janin tumbuh
di rahim ibu.
mitoni
adalah jangka waktu
yang tercatat
dalam garis takdir
dalam hidup
dalam perhitungan-perhitungan
yang diturunkan dari langit
dan dipercayai
hingga kini.
sebab tujuh
ialah tujuan hidup
tujuh adalah petunjuk
dan pembuka jalan
sebermula dari penciptaan
dan dipercaya
sebagai tingkat
kehidupan.
akhirnya,
semua dipungkasi.
semua yang diawali
harus pula diakhiri.
dengan kondhangan
atau bancakan
seluruhnya, kelak
akan dimudahkan.
dibuatlah tumpeng
di atas tampah.
lambang hidup
harus berserah
pada-nya, yang maha kuasa.
di sekeliling,
disusun lauk
: ayam ingkung (disuwir),
telur (dibelah 8 bagian),
ikan asin,
rempeyek,
juga kerupuk ditumpuk.
sayur-mayur disertakan
: entah dinamai kuluban,
gudangan,
urap,
atau nama-nama lain
sesuai kesepakatan.
tak lupa jajanan pasar,
juga bubur
: merah, putih, dan procot.
dilengkapi rupa warna
tumpeng tujuh rupa
untuk membangun
hidup yang teratur
dan seluruhnya dibagi
ke tetangga
dan yang tiba
mengikuti
prosesi.
hidup
sejatinya ialah berbagi
untuk mereka
yang ada di sekitar.
sebab hidup
ialah menghidupi
untuk hari ini
untuk kemudian hari.
hidup adalah mekar kembang
semerbak dan dicium
entah wangi atau bacin
dihidu mereka
yang ada di sekeliling.
hidup
dimulai
di hari-hari mendatang
menunggu waktu
yang tepat
ketika jabang bayi
telah meninggalkan kandang.
dari dalam sana
dari rahim ibu
menjelma hidup
lewat kelahiran.
EKO SETYAWAN, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di Antara Kita (2020), & Mengunjungi Janabijana (2020). Buku Mengunjungi Janabijana meraih Penghargaan Prasidatama 2021 Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah kategori Buku Puisi Terbaik.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024