Sang Pengabdi Sastra
Winda Soekamto, February 11, 2022
Di suatu kisah, pada sebuah percakapan
yang tak biasa
Perihal cara mengajarkan tentang makna
sebuah puisi
Bukan isi hati
“Jangan karyanya Winda.”
Lalu aku ‘harus’ menyajikan yang
bagaimana?
“Harus, biar keras prosesnya.”
Berjuang menghasilkan kata-kata indah?
“Persis Mbah Marijan.”
Mempertahankan kalimat demi kalimat
yang menurut hati benar untuk digoreskan meski berujung pada sebuah kematian
kata?
“Kurangi makan, banyak baca sampek
berkunang-kunang.”
Pingin bikin puisi, tapi takut jelek
“Awuren ae, Neng.”
Aku pernah memimpikan menjadi seorang
penyair, tapi gagal dan menjejal jauh dari sebuah kata berhasil. Jadi ‘puisi
jelek’ gapapa, ya?
“Sangat tidak boleh ditolak.”
“Cigak direwangi begejil.”
“Istiqomah, mesti jablas.”
“Penak belajar dewe, nabrak-nabrak
dewe, ngebut-ngebut dewe, ngepot-ngepot dewe.”
“Nek wis gak indah bahasane, gak indah
logikane, gak indah rosone, zo tetep elek.”
“Diokehi moco buku ben weruh dewe
luwih apik, zo.”
Lalu di lain kisah, pada suatu senja
Linu, susah jalan, tak bisa bangun.
Sakit sekali, dan detak jantung tak terkendali
Tubuh menggigil, menyapa senja dengan
sebuah obrolan kedua
“Tidur apaan? Dari tadi perjalanan ke
Jombang dan ini baru sampek rumah.”
Begitulah, ia yang jarang memejamkan
mata, lebih nikmat bersama secangkir kopi beserta aroma menjejak cerita,
sebatang rokok, dan kumpulan kata-kata, serupa bidadari di dalam isi kepala.
Tanpa sengaja kulantunkan sebuah
pertanyaan terakhir—tanpa pernah lagi aku sempat mengutarakan pertanyaan
berikutnya, “Ga tidur ta Kang Nurel ini? Tidur, Kang. Capek dari Jombang.”
“Belum, ya tidur kalau ngantuk, dari
tadi ya belum tidur.”
Aneh kan? Padahal, biasanya tak pernah
menyebut “ya”—sebuah isyarat luka
Tak kusangka, percakapan kedua di sore
itu, benar-benar menjadi sebuah kenangan dari seorang murid kepada gurunya,
menyisakan sebuah kesedihan yang mengembara di dunia puisi dan barisan rima
Kini aku merindukan celoteh-celoteh
puisi di dalam puisi
Dan sebuah kata pamungkas pengembaraan
puisiku, “zo”
Kata itu, kini telah tiada, bersama
perginya sosok berhati baik, pemerhati kesan-kesan pada mereka yang selalu
mencintainya, juga karya-karyanya; Sang Pengabdi Sastra.
Sidoarjo, 11/02/2022
Bionarasi Penulis:
Winda Sulistyoningsih,
bernama pena Winda Soekamto, yang dikenal di medsos dengan nama Winda Listyani,
memiliki sebuah komunitas Yuk Nulis Sidoarjo yang ia dirikan tahun 2019 khusus
untuk membimbing para penulis pemula, baik cerpen maupun novel. Ia menjadi
salah satu pemerhati dan penggerak literasi di kotanya. Penulis 30 buku
antologi dan solo ini bergabung di beberapa komunitas Sidoarjo, salah satunya
yang ia sedang seriusi adalah Forum Lingkar Pena Sidoarjo. Ia mencintai puisi
sama seperti ia mencintai dunia anak. Puisi Sang Pengabdi Sastra didedikasikan
untuk almarhum Kang Nurel Javissyarqi.
Sebuah catatan kecil: “Semoga ini bukan
puisi terakhirku. Sebab setiap mencoba menulis puisi, aku mengingatmu. Guru
pertama (semoga bukan yang terakhir), yang mengajariku berpuisi hanya beberapa
hari.
“Puisi itu baik jika artistik dan
estetikanya ada.”
No. Telp: 081234500427 / 083832375533
Instagram: @winda.listyani
Facebook: Dyah W. Listyani
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024