SUNGAI SEJATI, SUNGAI KEHIDUPAN EKA BUDIANTA
OLEH NIA SAMSIHONO*
Sungai adalah aliran air di permukaan yang besar dan berbentuk memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu menuju hilir. Sungai merupalan tempat mengalirnya air secara grafitasi menuju ke tempat yang lebih rendah. Sungai juga merupakan salah satu wadah tempat berkumpulnya air dari suatu kawasan. Demikian sebuah kata “sungai” dideskripsikan maknanya menjadi sebuah rincian di berbagai media antara lain Wikipedia.
Sungai itu sepanjang alirannya memberikan kehidupan bagi orang yang tinggal di tepian aliran air yang besar. Sejak zaman purba, keadaan seperti itu telah terjadi. Ada hubungan yang erat antara sungai dan kehidupan. Eka Budianta telah merenungi sungai seumur hidupnya, ia menulis buku puisinya mengibaratkan sungai. Ia berkata bahwa ia tidak berpuisi, tapi bercinta. Bukunya yang berjudul Sungai Sejati: Surabaya Zaman Omikron membuktikan bahwa ia tidak berpuisi tapi bercinta. Buku setebal 121 halaman itu diterbitkan oleh Pagan Press, Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur tahun 2022. Eka Budianta, penulis buku tersebut lahir pada tahun 1956 di Ngimbang, Jawa Timur. Ia menjadi wartawan majalah Tempo (1980—1983), Yomiuri Shimbun (1984—1986), Radio BBC di London (1988—1991), dan kolumnis majalah Trubus hingga sekarang. Sejak tahun 2004, ia juga menjadi Sekretaris Yayasan Tirto Utomo yang aktif dalam pendidikan lingkungan dan pelestarian budaya. Eka Budianta juga menjadi salah satu penasihat di Klub Menulis Jakarta, Satupena DKI Jakarta.
Eka Budianta telah menemukan kata seperti yang diungkapkan Franz Kafka bahwa penyair adalah seorang yang telah meramu hasil dari menemukan kata untuk “bercinta” dengan kehidupan yang kemudian dialirkan dari hulu hingga ke hilir, membasahi semua pembaca yang kemudian dapat merasakan apa “cinta” yang dimaksud oleh Eka Budianta. Itulah ‘Sungai Sejati” Eka Budianta yang membawa aliran hidupnya untuk dimaknai pembacanya. Buku ini terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama sekumpulan puisi diberi judul “Aku dan Surabaya” dan bagian kedua diberi judul “Sungai Sejati”.
Seluruh pengalaman hidupnya terbaca pada puisi-puisinya. Gambaran tentang tempat yang ia berada sejak kecil tertulis dalam karyanya. Bagaimana ia menceritakan saat ia mengenang leluhurnya saat hutan di daerah itu masih lebat serta banyak harimau hidup berkeliaran merajai belantara. Alam yang penuh tanam-tanaman sehingga burung masih berkelindan di sekitar rumahnya. Bunga-bunga yang tumbuh masih beragam dan tanah belum disesaki dengan rumah. Cerita itu terekam dalam puisi dan mengalir dengan indah.
Kosakata yang digunakan Eka Budianta sederhana dan mudah dibaca maknanya, beberapa kosakata menggambarkan wilayah kosakata itu digunakan, misalnya kata capung, burung layang-layang, burung camar, dan lainnya. Penggambaran situasi yang ada begitu lembut walau ada yang samar > Eka bercerita tentang gambaran Indonesia, dalam puisi Potret Langit dapat dilihat berikut ini.
POTRET LANGIT
Kadang-kadang langit terasa begitu tipis
dan mudah terluka sayap-sayap capung
diam-diam menangis di pinggir laut
jauh dari tempat-tempat gembira
Kali lain langit tak tertembus badai
bintang-bintang jatuh dari tangannya
peluru-peluru roket memberondongnya
tapi ia tenang tak merasa
ia cuma si langit si elang
meluncurkan nasibnya
Di tahun lain, langit betul-betul terlupa
manusia menggali bumi, harta karun mereka
langit tinggal kosong tak berguna
Lalu awan datang, melukis warna-warna
bentuk-bentuk hewan dan mesin-mesin
pedagang-pedagang memotretnya dan menjualnya
Langit dijual sepotong demi sepotong
sampai suatu pagi manusia bangun
melihat langitnya tinggal tipis
dan terluka-luka
1988
(Eka Budianta, Sungai Sejati: Surabaya Zaman Omicron, 2022: 8)
Eka Budianta pada Sungai Sejati dengan kata-kata tentang dirinya, tentang pemikirannya, tentang alam, tentang masyarakat, dan tentang kehidupan dilukiskan secara menarik dan dapat diterima secara universal. Walaupun apa yang disampaikan berdasarkan hal yang individual, pada akhirnya terbaca secara universal. Sungai Sejati mengalir ke hilir dan di sepanjang tepian sungai menyirami tumbuhan yang menyerap pemikiran-pemikiran atau rasa cinta yang diberikan Eka Budianta dari kehidupan yang dialami seumur hidupnya. Sebuah pengalaman hidup yang menarik dapat disampaikan ke masyarakat melalui tulisan, entah itu puisi, cerpen, novel, ataupun artikel.
Pilihan kata “sungai” oleh Eka Budianta untuk kumpulan puisinya sangat menarik. Sungai membawa segala sesuatu dari hulu ke hilir. Sungai itu mengangkut segala benda yang didapatinya dalam perjalanan ke hilir. Sungai itu juga menabrak berbagai rintangan di perjalanan. Eka Budianta telah mengalir dari masa kecil, dewasa, dan tua. Semakin sarat sungai itu sebagai kendara bercinta Eka Budianta. Ia tidak berpuisi, tapi bercinta dengan kehidupan dan membaginya ke pembaca.
*Nia Samsihpno
Anggota Klub Menulis Jakarta
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313