Gambuh R Basedo adalah budayawan, pelukis, dan penyair yang konsisten mengangkat budaya dalam setiap kekaryaannya. Mewakili Jagat Sastra Milenia (JSM) dan Istana Puisi, setelah performanya di panggung Hari Puisi Indonesia (HPI) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 2021, kali ini Gambuh membuka acara Pameran Lukisan yang digelar di Balai Budaya Surabaya dengan membacakan puisi bertema semarak warna warni dalam kesatuan bumi Indonesia. Beberapa kali teriakannya terdengar, "Indonesia Indonesia Indonesia". Menurutnya, "ini adalah sebuah penegasan, ajakan, doktrin bahwa kita adalah Indonesia, meski dibedakan dengan berbagai macam warna jangan pernah terpecah belah hanya karena gesekan, gosokan, dan adu domba dari pihak yang hanya ingin memancing dari kekeruhan yang diakibatkannya,". Kepedulian dan kepekaannya dalam bidang budaya terus dibawa dalam setiap kekaryaan dan berkesenian, termasuk dalam hal kepenulisan. Dia selalu membawa budaya wayang dalam setiap puisi-puisinya, berikut ketika tampil di atas panggung. Gelegar suara dan gerak teaterikal serta tari terkombinasi menjadi satu kesatuan yang apik sehingga wayang akhirnya juga melekat di tiap performanya.
Pembukaan pekan Pameran Lukisan yang digelar di Surabaya bertempat di Komplek Balai Budaya Surabaya pada Tanggal 12-18 Maret 2022. Memanggil Gambuh untuk datang membuka acara tersebut. Setelah itu pameran akan dilanjutkan keliling kota Tuban, antara 18-24 Juni 2022 di Sanggar Cah-Cah Tuban, 3-9 September 2022 di Komunitas Seni Smuja Jatirogo, dan 17-23 Desember 2022 di Sirkus Kota Tuban. Pameran Bersama tersebut diikuti oleh 4 orang perupa yaitu : Hen Indira Yanuar, Wiji Utomo, S.Sn, Yohanan Didik Yuwono, dan Zainu. Dalam gelaran pameran lukisan kali ini Gambuh tidak hadir sebagai peserta pameran tetapi dia datang membuka pameran dengan ditandai dengan performanya membacakan puisi dengan gerak teaterikal bersama Aries Yulianto dari sanggar Gambuh.
Menurut Gambuh satu kata kunci dalam berkesnian yaitu seni harus mempunyai “Ruh”. Ruh seni adalah nyawa dasar mengenali diri dan penciptaan serta hakikat syukur dan penghambaan. Suluk pembuka pemanggil ruh seni adalah : Nglurug Tanpo Bala Menang Tan Ngasorake. Mulo Aja Mung Milih Dadi Wong Bejo Miliho Dadi Wong Taqwa. Sak Beja-Bejane Wong Kang Lali Luwih Bejo Wong Eling Lan Waspada. Itu adalah kutipan wewarah jawa adiluhung yang hampir dilupakan oleh masyarakat sekarang, padahal sangat populer dalam kehidupan budaya masyarakat Jawa di masa lalu. Melalui sarana tembang, karawitan, tari, batik, wayang, dan seni mendidik, kita menemukan jati diri masing-masing, agar menjadi manusia Jawa yang Jawani, yaitu bangsa Indonesia yang tahu aturan, bertata krama dan berperilaku baik sebagaimana yang diidealkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Intinya bahwa seni bukan musuh yang memerangi keberlagsungan kehidupan yang digunakan untuk menyerang dan saling mengalahkan serta mencari kemenangan. Ketika ruh atau nilai-nilai seni tersebut tak lagi digunakan sebagai acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat atau paling tidak memiliki jarak yang relatif renggang dalam aplikasi kehidupan masyarakat kita saat ini, sungguh semua patut kita renungkan, jika kemudian terjadi krisis multi dimensional dalam kehidupan masyarakat yang berkepanjangan.
Gambuh melanjutkan, bagaimanakah kaitan antara ruh seni, pendidikan, pelaku seni, perilaku masyarakat, dan krisis multidimensi saat ini, menjadi wacana yang menarik untuk menjadi bahan kajian. Pada dasarnya pendidikan dan pelaku seni adalah basis yang harus dibangun dengan kokoh sebagai salah satu pilar utama penyangga kecerdasan bangsa. Pendidikan dalam arti yang sangat luas adalah napas yang mendenyutkan kecerdasan manusia. Dengan begitu pada setiap detik perubahan waktu harus dipikirkan tingkat kedigdayaannya dalam rangka pengoptimalan potensi kehidupan manusia agar mampu menjawab tuntutan kebutuhan hidup sesuai dengan orientasi kehidupan zaman. Sungguh tanpa kedigdayaan, pendidikan dan pelaku seni dalam arti yang luas yaitu manusia akan kehilangan nilai-nilai kesejatianya atas kesadaran hidup dalam kebersamaan yang beragama dan dalam kesetaraan. Sikap penghargaan terhadap kehidupan yang bersifat plural pada seni dan budaya tersebut pada dasarnya memiliki resistensi terhadap konflik, dan kesenian dapat berfungsi sebagai sarana integrasi sosial ketika peranata-pranata sosial lainnya telah lumpuh.
Seni kita memiliki "kearifan" sebagai media komunikasi untuk mendidik atau mengkritik kehidupan dengan cara-cara yang lebih halus. Banyak karya-karya yang bersifat satir, bahkan cenderung “porno atau menjijikkan” dikemas dengan sangat halus dan simbolik sehingga tidak menyakiti pihak-pihak atau orang-orang yang disentuhnya. Nilai-nilai seni sebagai "ruh" budaya masyarakat tersebut akan tetap hidup manakala masyarakat pendukungnya masih setia melestarikan sebagai acuan norma yang mengatur kehidupan mereka. Namun jika sistem pengendali pengalih warisan nilai tersebut (pendidikan) justru cenderung menafikan nilai-nilai di dalamnya maka akan dapat dipastikan berakibat terjadinya disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Fenomena di masyarakat memperlihatkan kecenderungan rentan konflik dalam berbagai ungkapan yang kebablasan. Manifestasi kreativitas semakin personal yang menjadikan semakin sulit untuk diukur dengan norma kolektif, rendahnya tata krama dalam interaksi sosial, dan lain-lain. Melihat itu semua terjadi, fenomena-fenomena tersebut menjadi sebuah indikator bahwa sebenarnya ruh seni dan budaya kita nyaris atau telah mati. Kematianya itu sungguh ironis, jika dibunuh oleh pendidikan dan pelaku seni itu sendiri. Semestinya semua sebagai institusi yang justru harus bertanggung jawab untuk merawatnya lalu mewariskannya secara turun-temurun
Atas nama kreativitas dan kebebasan berekspresi maka hal-hal yang bertalian dengan kepatuhan dan kepatutan pada seni sering bahkan sengaja dibuang jauh sebagai proses liberalisasi. Karakteristik demikian menjadi acuan tindakan dalam berkarya seni kekinian. Walhasil jangan jadikan seni hanya pelampiasan masturbasi dan onani diri sendiri. Semestinya nafasi setiap karya dengan degup rindu, denyut geletar kasih dalam dada menjantung cinta berdasar niat ikhlas menuju Sang Maha Seni yaitu wusul sampai kepada Allah yang Maha Agung.
Gambuh R. Basedo adalah penyair yang saat ini tinggal dan menetap di Rembang, Jawa Tengah. Antologi tunggalnya adalah “Suluk Cinta Kawah Candradimuka” terbit di tahun 2020 (Samudra Printing), Angon Angin (Samudra Printing, 2021), Kembul Bujana Cinta Kamajaya Kamaratih (Sajak-sajak kontemplasi Gambuh R Basedo & Rissa Churria, 2021).
Karya karyanya telah diterbitkan dalam antologi bersama, antara lain yaitu : “Kado Pernikahan”, (2010), “Dandani Luka Luka Tanah Air” (Antologi puisi Numera Malaysia - 2020), “C Antagonis” (Fakultas Penulis Kreatif dan Filem – Malaysia : 2020), “Tribute Sapardi” (2020), Pelangi Cinta (Istana Puisi 2020), Keharibaan puisi ( Puisi dalam dua Bahasa – 2020) Antologi Mengenang Najmi Adhani (2020), Gembok – (Lumbung Puisi Indonesia 2021), Suara Dari Lembah Kata Kata (2021), Surat Untuk Ibu (2021), Mengeja Susuhing Angin (Istana Puisi 2021), Khatulistiwa (Negeri Poci 2021), dan lain lain, juga menulis di harian lokal BMRFox Kotamobagu, Semesta Seni (Tabloid bulanan Seni Satra –Jakarta). Gambuh juga memberi pengantar dibeberapa buku antologi tunggal dan antologi Bersama, antara lain : Prolog Srikandi (Istana Puisi, 2021), Mengeja Susuhing Angin (Istana Puisi, 2021), Risalah Nagari Natasangin (Kumpulan puisi Rissa Churria, 2021), dan lain-lain.
Kiprahnya dalam berkesenian adalah sebagai Duta tari Festifal Tari Surabaya, Jawa timur, tahun 2004, Dalang suluk, Penggagas dan pencipta “Wayang Lontar Ganyar” sejak tahun 2003 hingga sekarang. Penggagas “Ketoprak Cilik” (anak anak usia 10 – 13 tahun) sejak tahun 1990 hingga sekarang. Kegiatan sehari hari sebagai Pelukis, Penggiat Seni dan Perawat Kebudayaan Jawa, juga pelaku Teater Mistis dan Interculturalisme ala Gambuh.
Kelakarnya ditutup dengan dialog wayang yang ada di tangan Gambuh. Selamat untuk para perupa yang sedang pameran, selamat Gambuh atas prformnya di pembukaan Pameran Lukisan di Balai Budaya Surabaya.
Rc.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313