PENERIMA ANUGERAH CERPEN TERBAIK
DALAM RANGKA HARI BUKU NASIONAL 2022
Setelah Tiga Puluh Tahun Pernikahan
Cerpen – Ade Mulyono
Matahari sudah tergelincir ke barat saat seorang perempuan kira-kira berusia 50 tahun bertandang ke rumahku. Awalnya aku tidak terkejut dengan kedatangannya, hanya sedikit gugup saat Melati—nama perempuan itu—membicarakan rencana pernikahanku dan tabiat suaminya.
Seminggu yang lalu aku mendapat kabar dari Mas Kumbang jika akan ada seorang perempuan berkunjung ke rumahku. Pesan Mas Kumbang aku diminta untuk melayaninya dengan ramah. Katanya, bagaimanapun juga ia harus dihormati sebagai orang yang lebih tua. Mas Kumbang juga sudah memberi tahu maksud kunjungan Melati ke rumahku. Ternyata inilah perempuan yang dimaksud Mas Kumbang. Perempuan yang sedang menguji imanku sebagai perempuan muda.
“Silakan diminum tehnya,” kataku. Ia hanya mengangguk.
“Aku hanya takut jika nanti kulitmu yang putih nan mulus sudah diserap usia sebagaimana diriku ini, Mas Kumbang akan mencari yang lebih segar,” ujar Melati tanpa tedeng aling-aling dengan suara lembut khas logat Jawa. Meskipun ia lahir dan besar di Bandung, tutur kata dan sikapnya layaknya perempuan Jawa. Mungkin saja akibat pergaulannya dengan Mas Kumbang yang dari Jawa. Jujur aku terkejut dengan ucapannya.
“Mbak Melati berlebihan. Aku tidak melihat watak seperti itu pada diri Mas Kumbang,” balasku pelan mencoba tenang.
“Dengan menikahimu apakah itu bukan bukti?”
“Demi persatuan bangsa kita, inilah pengorbananku, Mbak.”
“Tidak, Mawar. Aku yang dikorbankan. Ini bukan revolusi perempuan. Biarpun aku tidak tamat sekolah MULO, sedikit banyaknya aku melahap banyak buku revolusi. Tidak sepatah kata pun dituliskan Tuan Tan yang tersohor itu dalam karangan-karangannya mengenai kemerdekaan Republik yang menuntut perempuan harus dikorbankan. Jangan campur adukan antara urusan ranjang dengan nasionalisme.”
“Mas Kumbang tokoh besar. Lebih termasyhur dari Tuan Tan yang radikal itu. Ke mana pun Mas Kumbang pergi dielu-elukan namanya. Ia orang Jawa, Mbak Sunda tulen. Bukankah sesuatu yang baik jika menjalin pertalian dengan negeri kami orang dari luar Jawa supaya kokoh fondasi persatuan bangsa kita.”
“Entah siapa yang meracuni pikiranmu ini. Persatuan macam apa yang dibangun atas dasar pernikahan. Ini bukan zaman Gajah Mada yang menikahkan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda Dyah Pitaloka. Aku sudah menemani Mas Kumbang puluhan tahun lamanya. Selama itu pula bendera kejantanannya berkibar di atas tubuhku. Sungguh telah aku serahkan segenap raga dan jiwaku. Kini ibarat bunga telah dihisap hingga layu sekering-keringnya sebelum Mas Kumbang meminta sesuatu yang tidak aku percaya layaknya ucapanmu.”
Aku diam sesaat sebelum kujawab dengan terbata-bata, “Bukankah itu sudah menjadi kodrat perempuan.”
Sudah kuduga Mbak Melati tidak senang dengan jawabanku. Ia menyanggah dengan nada tinggi hingga memperlihatkan urat lehernya.
“Aku makin bingung. Tadi bicara demi persatuan bangsa sekarang bicara kodrat perempuan. Jika demikian, kita perempuan belum merdeka. Bukan hanya bangsa ini yang dijajah, kita perempuan juga masih dijajah.”
Aku diam. Kata-kata itu menonjok dadaku: sesak.
“Dikau masih berumur 20 tahunan. Hanya melihat yang tampak indah. Manisnya pernikahan paling lama berusia tiga bulan, setelah itu akan tampak perangai yang sebenarnya.”
“Tidak menyesalkah bibir Mbak Melati mengucapkan itu pada seorang lelaki yang seharusnya kita taburkan pujian?”
“Aku tidak menyesal jika lelaki itu bukan menjadi milikku seorang, melainkan milik bangsa ini. Itu perkara sosialnya. Benar, Mas Kumbang telah sedang berjuang bersama rakyat untuk membebaskan negeri ini dari cengkeraman kuku bangsa asing. Tapi itu kewajiban semua anak bangsa di luar kamar tidurnya. Andai saja kita bisa bertukar hati, sedetik saja dikau merasakan pahit empedu hatiku, akan terguncang jiwamu, Mawar. Hatimu akan hancur tercabik-cabik.”
Apa pun yang Mbak Melati katakan tentang Mas Kumbang sedikit pun tidak akan bergeser kakiku dari tujuannya untuk tetap menjadi istrinya. Biarpun Mbak Melati tak sampai hati di madu. Aku sudah terlanjur jatuh hati padanya saat pertama kali melihat matanya. Aku menyayanginya. Bagaimana bisa orang lelaki sebaik Mas Kumbang diasingkan ke tempat nan jauh dari tanah kelahiran. Tapi dari situ tahu apa arti perjuangan dan pengorbanan. Dua kata yang manis didengar tapi pahit dilakukan.”
“Lalu apa diriku ini? Dikau masih bocah bau kencur saat aku bersusah-payah menemani Mas Kumbang melawan penjajah di Jawa. Ternyata tidak ada gunanya jauh-jauh aku datang dari Jakarta ke Sumatra. Tidak ada manfaatnya memberi nasihat pada gadis yang telah dimabuk anggur cinta. Baiklah, semoga yang aku katakan salah dalam perhitungan waktu. Semoga seiring bergulirnya waktu dan bergantinya musim, ranjang pengantinmu dengan Mas Kumbang tetap bergoyang sebagaimana malam pertama.”
“Tidakkah Mbak Melati merestuiku kawin dengan Mas Kumbang?”
“Dikau tahu jawabannya. Aku tidak bisa membayangkan cumbu rayu Mas Kumbang denganku saat malam pertama, kini ia akan melakukannya dengan perempuan lain. Ah, aku tidak setegar itu. Kita sama-sama perempuan.”
Perempuan itu pergi dengan mengusap air matanya sebelum kusir delman membawanya ke stasiun kereta. Setelah pertemuan sentimental itu, sudah 30 tahun lamanya aku tidak pernah berjumpa lagi dengan Mbak Melati.
***
Pagi diserap siang dan siang diganti malam. Begitulah bergulirnya waktu. Tidak ada yang abadi kecuali ketidakabadian itu sendiri. Matahari sudah menyerahkan cahayanya diisap malam, aku masih duduk melamun di hadapan cermin sambil mengingat semua perkataan Mbak Melati 30 tahun silam yang masih meresap di hati. Ucapannya bukan hanya mengganggu pikiranku tetapi telah tinggal di telingaku. Seperti penabuh gong: menggema, menggetarkan, sekaligus mengagetkan. Benarlah apa yang dikatakannya tentang suaminya. Setelah 30 tahun pernikahan, bukan hanya kulit yang kupersembahkan tapi juga sudah kuberikan lima orang anak untuk Mas Kumbang, rasa-rasanya hal itu tidak cukup untuk memuaskan dadanya.
“Aku berkeliling dari suatu daerah ke daerah lain. Dari satu negeri ke negeri lain. Mengobarkan revolusi. Merumuskan filosofi bangsa. Menjadi wajar jika aku ingin memiliki perempuan lagi untuk dijadikan istri,” kata Mas Kumbang sebelum perang dingin denganku dua hari yang lalu. “Entah buku apa yang kamu baca hingga berani membantah keinginan suamimu,” ujarnya lagi dengan nada tinggi seperti sedang berorasi sebagaimana keahliannya.
“Tidak ada satu pun. Buku Revolusi Perancis, buku Marx, Revolusi Amerika masih utuh sedia kala di samping bantal tidurmu. Aku adalah juru bicara bagi nuraniku sendiri. Bagi perempuan yang suaranya dianggap tembang belaka. Memang betul di sebuah bangsa yang tertinggal suara perempuan tidak didengar,” bentakku dengan berlinang air mata.
“Apa kamu hendak meng-coup kekuasaan lelaki? Menggulirkan revolusi bahwa kaum perempuan dapat menegakkan nasibnya sendiri? Ibarat menegakkan benang basah.”
“Jangan sekali-kali kaum perempuan di pandang lemah, Mas. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Barangkali Kartini kini sedang menangis tersedu-sedu mendengar ucapan Mas Kumbang yang arogan.”
“Baiklah aku beri waktu kamu tiga hari. Jika kamu keluar dan menyiapkan kopi untukku dan membawakan jas yang akan kukenakan di hari Minggu, itu artinya kamu masih menghormati suamimu. Menerima kehendak perempuan yang sudah dituliskan di langit.”
Permintaan itu, bukan hanya sulit untuk dikabulkan, melainkan juga telah merobek benang kepercayaan. Kata-kata itu bagai beling bagi kulitku yang tipis. Sudah dua hari aku menolak tidur dengannya. Persetan dengan malaikat yang akan mengutukku lantaran membiarkan ranjang peraduannya sepi dari pengabdian seorang istri. Mungkinkah ini sebaliknya hukuman dari langit: karma.
Mbak Melati maafkan daku telah merenggut kebahagiaanmu. Kini aku merasakan pahitnya empedu di hatiku. Betapa bodohnya aku dimabukkan oleh gebyar-gebyar kemewahan.
Ah, lelaki di mana pun sama. Di kiranya jika tangan dan kaki istrinya dipenuhi gelang dan lehernya dikalungi emas serta tubuhnya dibungkus sutera akan tunduk atas segala keinginan suaminya. Kini, aku ibarat botol kosong yang hanya menjadi pajangan saja.
Cukup lama aku merenung sebelum kuingat ucapan Mbak Melati sebelum pamit. “Dik, jika Mas Kumbang duduk di mahligai pernikahanmu dengan mengenakan jas hitam berkopiah hitam, maka di jas itu ada bekas tanganku yang menghabiskan sepanjang malamku untuk menjahitnya. Di negeri ini seorang istri tak punya kuasa, itu sebabnya perempuan selalu di bawah. Ditindas sebelum dan sesudah malam pertama.”
Baiklah, akan kulakukan apa yang telah dilakukan Mbak Melati untuk suaminya yang telah diberikannya segala kehormatan dirinya sebaik-baiknya. Sepanjang malam aku menjahit jas kebesaran seorang lelaki yang telah menghirup tubuhku hingga kering dan layu. Semoga perempuan muda yang akan kamu kawini tidak merasakan perih yang tak ada bekas luka dan tetes darahnya.
Akan kujahit jas kebesaranmu Mas Kumbang. Bersama jas ini pula aku izinkan Mas Kumbang kawin dengan perempuan berusia 20 tahun asal Jepang yang kemarin ceritakan. Aku sertakan juga lima orang anak yang telah kulahirkan supaya menjadi saksi atas penderitaan batin ibunya sebagai pengganti diriku yang tidak mungkin hadir di hari pernikahanmu.
Ah, aku tidak sekuat itu jika harus begadang menunggu suami yang kucintai keluar dari kamar pengantin usai mengerami tubuh istrinya. Aku tidak setegar itu, Mas. Biarlah aku di kamar ini, mengingat malam pertama kita yang sudah berumur 30 tahun lamanya. Sudah 30 tahun usia pernikahan kita. Pantaslah tubuhku sudah berkarat tidak wangi lagi jikalau dicium. Tidak lagi sedap dipandang. Juga tidak lagi hangat untuk dipeluk.
Ade Mulyono, lahir di Tegal. Menulis fiksi dan nonfiksi. Tulisannya tersiar di berbagai media massa. Novel terbarunya “Namaku Bunga” (2022)
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313