DIALOG DINAS
Suara-suara bentakan juga suara tangisan terdengar ketika saya sampai di halaman rumah Ari, sahabat saya. Itu membuat saya janggal. Sangat janggal sekali. Bertahun-tahun saya sangat dekat dengan keluarga Ari, tak sepatah kata pun saya mendengar bentakan dari kedua orangtuanya. Dan malam yang gerimis itu saya memutuskan untuk mengintip dari sela-sela dinding papan sebelum mengetuk pintu.
“Lebih baik Ari pergi dari rumah!”
“Minggatlah!” sentak Pak Gustam.
“Ariii!” jerit ibunya menangis dan adik Ari juga menangis.
Ari masuk ke kamar, sebentar kemudian ia muncul lagi sambil menggendong tas gunung. Berisi pakaian, dugaan saya. Ibu dan adiknya menghalangi langkah Ari.
Ketukan dan salam saya sesaat menghentikan keributan itu, tetapi isakan ibu dan Dewi, adik Ari masih menyisa. Tak lama Mbah Imron, Pak Dukuh dan juga Paman Ali, adik ibu Ari datang serempak. Malam yang gerimis itu kami menindak lanjuti rembuk di pagi sebelumnya.
Beberapa jenak, setelah kami melaksanakan perintahnya Mbah Imron, untuk berwudu. Kemudian kami duduk melingkar di karpet warna hijau tanpa motif di ruang tamu yang lumayan gede dangan 4 tiang–sokojati1. Mbah Imron, orangtua Pak Gustam, yang malam itu mengenakan kemeja batik hitam, sarung dan peci sewarna kemejanya mengawali membuka suara,
“Tadi pagi, aku meminta tolong kepada Pak Dukuh, Ali, dan Afid untuk menemui Pak Je di kantor dinasnya. Hasil dari dialog dinas itu adanya syarat 500 juta untuk Ari sukses menggapai impiannya.”
“Hah! Lima ratus juta. Syaratnya segede itu!” Pak Gustam terbelalak.
“Kata Pak Je, syarat itu tidak bisa ditawar. Paling akhir 15 Agustus. Dan ini tanggal 9 Agustus,” timpal Paman Ali.
“Kau dengar Ari! Duit sebanyak itu dari mana?”
Pak Gustam melepaskan panah pandang tajam ke Ari.
“Dari sawah!” sahut Mbah Imron.
“Ma … maksud Bapak, aku harus menjual sawah, begitu?”
“Iya.”
“Aku tak sanggup. Tak sanggup, Pak!”
Ari bangkit dan protes kepada bapaknya, “Apakah anak seorang petani cukup mewarisi pekerjaan orangtuanya? Apakah anak petani haram bercita-cita, Pak?” Suara Ari keras sekali.
Otomatis saya dan mereka yang duduk di karpet hijau itu kaget sekaget-kagetnya menyaksikan sikap Ari yang anomali itu. Bukan hanya saya yang menilai Ari sebagai anak baik, sopan, dan selalu ikut membantu orang tuanya setiap kali musim tanam dan panen padi juga bawang. Rekam jejak itu telah terbaca oleh warga sejak Ari duduk sebangku dengan saya di sekolah menengah pertama hingga lulus kuliah. Bahkan, Ari manut-nurut ketika bapaknya melarangnya melanjutkan di akademi militer atau di akademi kepolisian.
“Kau sudah tak sopan dengan orangtua, Ari!”
“Ari tidak ada niat kurangajar kepada bapak dan ibu, Ari hanya ingin menjadi …,”
“Iya, Nak, tapi syaratnya itu kita dapat dari mana?” potong ibunya.
“Kok, masih tanya. Jika ingin pangkat harus ragat2. Apakah ada orang ingin jadi Kades, Bupati, Gubenur, DPR sampai ingin jadi Presiden pun tanpa mengeluarkan duit gede, biaya banyak? Tidak ada. Semua itu diperoleh dengan membeli. Jadi, jalan satu-satunya jual sawahmu,” tegas Mbah Imron dengan suara ngebas khasnya.
“Apa Bapak lupa, kalau sawahku cuma satu?” lontar Pak Gustam.
“Aku tahu itu. Bukankah kamu masih punya hak sawah giliran dengan kedua adikmu? Begini, lho, Gustam. Orang tua berkerja itu untuk anak dan kesejahteraan keluarga, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kita, wong dusun, sudah punya tempat tinggal yang layak dan fasilitas yang cukup itu adalah suatu kenikmatan yang luar biasa.” Sorot mata penuh wibawa dan tangan milik lelaki jangkung berusia 67 tahun itu seakan-akan ikut meyakinkan Pak Gustam.
Mbah Imron juga mengutarakan dari hasil diagnosa gaibnya. Bahwa cucunya berhasil masuk menjadi abdi negara, tetapi tidak berseragam doreng.
Mata saya menangkap dada Pak Gustam perlahan naik, lalu ia mendenguskan napasnya. Sementara ibu Ari hanya duduk tasyahud persis di samping Ari, sesekali ia menyeka air matanya.
***
Gerimis masih saja menceracau di kampung saya yang sepi, hanya ngorek kodok dan ngerik jangkrik yang sesekali memecah kesenyapan itu.
Mbah Imron izin masuk ke kamar. Kami para lelaki menyantap singkong goreng dan menikmati kopi yang baru saja dituangkan oleh Dewi. Tak luput di sela jari tangan kami terjepit sebatang sigeret filter yang menyala, kecuali Ari yang tidak merokok.
Selang tiga puluh menit, Mbah Imron kembali duduk di antara saya dangan Pak Dukuh. Sangat menyengat minyak yang ia kenakan.
“Bagaimana Gustam, apakah kamu merestui Ari?” tanyanya.
“Kalau merestui tetap saya restui, Pak. Tapi …,”
“Kok, tapi?”
“Bapak tahu, kan, kalau sawah-sawah di kulon kali Sedayu itu nilai jualnya mahal. Termasuk sawahku ada di sana. Apakah ada pembeli yang mau membayar tinggi, sedangkan kita kentara sangat butuh dana secepatnya?” ujar Pak Gustam.
“Oh, iya, ya. Emm … bagaimana menurutmu, Ali?” balas Mbah Imron, lalu menoleh ke Paman Ali.
Tak ada jawab dari Paman Ali, Mbah Imron melempar pertanyaan ke saya, “Kalau menurutmu, Fid?”
“Setelah saya mendengar penjelasan Paman Gustam, sebaiknya sawah digadaikan saja,” komentar saya. Mbah Imron manggut-manggut, “Tapi, saya belum tahu taksiran harga di pegadaian, Mbah?” imbuh saya.
“Pak Dukuh, tahu?” tanya Mbah Iron. Pak Dukuh menggelengkan kepala, “Ali?” lanjutnya. Paman Ali juga sama dengan Pak Dukuh.
“Ya, sudah. Kalau begitu tolong Pak Dukuh telepon Pak Je, aku mau ngomong,” pinta Mbah Imron.
Setelah tersambung dengan Pak Je. Mode loud speaker, ponsel diserahkan kepada Mbah Imron. Berawal dari ucap-jawab salam dan sedikit bumbu basa-basi, lantas …
“Pak Je!”
“Ya, Mbah, masih dengar!”
“Ari itu cucu kesayanganku, bisa dibantu, kan?”
“Tentu, Mbah.”
“Masak, maharnya segede itu, Pak Je?”
“Emmm ... itu bisa diatur belakangan, Mbah.”
“Maksudnya?”
Tiba-tiba suara Pak Je lenyap.
“Halo, Je! Pak Je!”
“Iya, ya, Mbah, dengar!”
“Tadi suara kamu, hilang?”
“Tidak tahu, Mbah. Mungkin sinyal, di sini hujan.”
“Sama, sini juga gerimis. Lanjut, ya?”
“Ya.”
“Bagaimana soal mahar itu?”
“Emmm ….” Pak Je tidak lancar membalas omongan Mbah Imron. Suara yang terdengar di ponsel hanya rintik-rintik hujan menghantam seng.
“Apa aku dan Pak Dukuh, adikmu ini harus bersilaturahmi ke rumahmu, malam ini juga?”
“Tidak. Tidak perlu, Mbah. Cukup lewat telepon ini saja.”
“Lantas, Bagaimana soal maharnya, apa bisa kurang?”
“Huuuf!”
“Bagaimana, lho?”
“Iya, bisa. Ini demi Mbah Im,” ucap Pak Je.
“Lantas berapa, Pak Je?”
“Emmm … dua ratus tujuh puluh juta saja, Mbah.”
“Tidak usah pakai ekor tujuh, ya?”
“Huuff …!” Suara Pak Je terdengar hanya embusan napas.
“Tidak usah pakai ekor tujuh, ya, Pak Je?” ulang Mbah Imron.
“Jangan, Mbah. Itu demi Mbah Imron dan anak pribumi desa Sedayu.”
“Jadi, Maharnya dua ratus tujuh puluh jutakah?”
“Betul, segitu, Mbah.”
“Tapi, cucuku benar-benar masuk, keterima, toh, Pak Je?”
“Saya yang bertanggung jawab, Mbah.”
“Alhamdulillah! Terimakasih sebelumnya, Pak Je. Dua, tiga hari lagi biar diantar adikmu dengan Ali.”
“Sama-sama, Mbah, yang penting jangan lewat tanggal 15, nanti.”
Dialog dinas via telepon diakhiri dengan salam. Kami semua sedikit lega mendengarnya.
***
Ari Ahmad Wibowo, sahabat saya yang punya hobi renang itu lulus diterima sebagai anggota dan berdinas di Ibu kota. Lelaki jangkung, beralis tebal dan bermuka hitam manis itu dulu satu tim Menwa dengan saya di Universitas Negeri. Ia gagah berpangkat dan berseragam hitam-hitam lengkap dengan laras panjang. Bias keceriaan melebar senyum di bibir keluarga Ari, demikian pula dengan saya.
Kami berdua punya cara untuk menebus rasa kangen, yakni saling telepon dan terlebih usai salat Jumatan. Seperti pada Jumat pungkasan di bulan Oktober, Ari menyampaikan kabar gembira. Dia akan mudik tujuh hari sebelum lebaran. Satu lebaran yang lampau ia tak bisa pulang kampung. Dia sudah setahun lebih tak mudik.
“Mau oleh-oleh apa, Pak Guru?” tawarnya kepada saya di telepon kala itu.
“Tidak usah. Yang penting sesampainya di kampung kita lomba renang di kali Sedayu. Kita loncat dari pohon waru yang tumbuh melengkung di galengan sawah milik bapakmu. Kan, sawahnya tidak jadi dijual, hanya digadaikan. Kekeke!”
“Oke, siap! Tapi, peraturan yang dulu masih berlaku, yang kalah harus membakarkan ikan, lho, ya. Ha-ha-ha!” selorohnya.
Tawa kami merdeka. Sebelum mengakhiri perbincangan saat itu saya menginformasikan bahwa Lebaran di kampung jatuh pada 17 November.
“Insya Allah Lebaran tahun ini serempak. Tiketku untuk tanggal 10 November, Pak Guru,” tegasnya disusul cekikikan.
Rampung sahur saya tidak menunggu azan Subuh. Ngantuk berat sebab ronda dan kotekan sahur, juga angin yang amat dingin pada awal November kala itu membuat saya memilih tidur dengan tubuh terbungkus selimut tebal. Entah pada pukul berapa tiba-tiba pintu kamar saya digedor keras sekali, sampai raga ini jingkat–kejeduk tembok.
“Aduh! Siapaaa!” teriak saya menahan nyeri.
“Bapak, Fid!”
Geragapan saya bangkit sambil ngelus-ngelus kepala menghampiri Bapak yang sepertinya sudah menunggu di sofa.
Saya duduk di depan Bapak. Sepasang matanya berkaca-kaca. “Ada apa ini, mengapa Bapak menatap saya dengan mata yang mengembun?” batinku meraba-raba. Mulut Bapak seperti tersumbat dan kepalanya menunduk, padahal sudah dua kali saya bertanya, “Ada apa, toh, Pak?”
Bapak masih saja menunduk dan sesekali menggaruk-garuk kepalanya.
“Saya batal nikah dengan Dewi … tak masalah, Pak,” ujar saya asal.
“Bu … bukan. Bukan itu ….”
“Lantas, apa, Pak?” potong saya.
Bapak menghempaskan napas beratnya, lalu ia menyampaikan dengan suara tersendat-sendat, bahwa sahabat saya itu telah wafat. Ari wafat saat baku tembak dengan sekelompok teroris di kantor dinasnya. Seketika itu dada sebelah kiri saya teramat sakit. Sakit yang berujung rawat inap di rumah sakit.[*]
Demak, 2022.
Kosa kata:
1. Sokojati = tiang penyangga atap berbahan lunas kayu jati.
2.Ragat = biaya.
______
*) Gansar Dewantara, pengajar di Madin Ponpes Tahfiz Qur’an “Nurul Huda” Wedung-Demak-Jawa Tengah. Cerpennya pernah dimuat di Harian Media Indonesia, kompas. id, detikcom, lokerkata, medialensasastra, Bernas. id, website LP Maarif NU Jateng, NU online, Sastramediacom, Suara Merdeka, dll. Bisa disapa di facebook, @Gansar Dewantara.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313