Tiga Puluh Anak Dara
Kamis di perbatasan dusun Dara. "Ini sudah jam enam lho, Lang!" protes Jaka, "Tadi pas berangkat kulihat Anam sudah seragaman, tapi katanya belum sarapan. Tunggu sajalah! Kemarin juga kita semua berangkat jam enam lewat seperempat," elakku.
Konon menurut penuturan Anam, Jaka itu ditunjuk menjadi pemimpin anak-anak Mts Negeri Perahu dari dusun Dara. Namun, sejauh pengamatanku bukan Jaka yang memimpin kami. Sebab kendati Jaka sering mengeluarkan berbagai varian instruksi, ujung-ujungnya ia sendiri tunduk pada keputusan Sabar.
Kegiatan tunggu-menunggu ini seakan tradisi yang kami lakukan hampir setiap pagi, kami tidak akan berangkat kalau jumlah kami belum lengkap. Nah, pagi ini dua puluh sembilan anak Dara telah bersiap di perbatasan, tinggal Anam. Andaikan Anam tidak kebanyakan makan barangkali kami semua akan memecahkan rekor yang belum pernah kami pecahkan, yakni tidak kesiangan.
Maklum, sekolahan kami lumayan jauh. Sekitar 13 KM hingga 15 KM rasanya dari perbatasan dusun Dara. Entahlah, kadang terasa 13 KM, sedang di waktu lain terasa 15 KM. Aku ragu apakah itu dapat dijelaskan dengan teori relativitas Enstein atau tidak. Tapi yang jelas itu sangat situasional, berbanding lurus dengan berbagai peristiwa yang menimpa kami di jalan.
Terkadang ada yang rantai sepedanya putus, ban sepedanya tiba-tiba kempes dan sebagainya. Kebersamaan dalam kekompakanlah yang membuat kami mampu melewatinya. Namun, akibatnya anak-anak dari sekolahan lain menjuluki kami "Odong-odong Putih Biru".
Kami memang lebih mirip odong-odong ketimbang kereta cepat, apalagi jika musim penghujan. Jalanan di dusun kami masih berupa aspal alami. Seringkali bila musim penghujan tiba kami tidak naik sepeda, sebaliknya kamilah yang dinaiki sepeda.
Kembali ke Anam. Ini sudah jam enam lebih tujuh menit, tapi jambul merahnya tidak kunjung menusuk langit. Ada mitos jika kita membicarakan aib seseorang orang tersebut akan muncul, lantas apakah aku harus membicarakan aib Anam? Sedang waktu telah mengubahnya menjadi remaja laki-laki yang lebih keren ketimbang aku.
Dulu mungkin aku lebih keren sebab saat itu Anam masih belepotan. Masalahnya semenjak ia menginjak bangku kelas dua (Sekolah Dasar Negeri Dara), mendadak ia jadi lancar berbicara. Aku tidak tahu peristiwa apa yang telah memantiknya, karena aku memang tidak satu sekolahan dengannya. Aku, Jaka dan Sabar sekolah di MI Negeri Panda.
Satu hal lagi yang membuat Anam lebih keren ketimbang aku, ia adalah kakak kelasku di Mts Negeri Perahu sekaligus adik kelas dari Jaka dan Sabar. Yang terakhir serta yang paling utama, jambul merahnya itu membuat Anam sering diperhatikan guru-guru. Tidak sepertiku.
***
Jam enam lewat sepuluh menit di perbatasan dusun Dara. "Itu dia!" seru Jaka, matanya berhasil menangkap jambul merah Anam dari kejauhan.
"Be-ra-ng-kaaat...!" seloroh Sabar.
Sahabat, berhubung kami semua harus berangkat, di bawah ini adalah rute yang setiap hari kami lalui. Siapa tahu kita berpapasan, di jalan kehidupan yang penuh dengan berbagai kejutan.
A. Desa Panda
Dari perbatasan dusun Dara, kami tiga puluh anak Dara dalam jumlah lengkap mengayuh sepeda bersama-sama ke arah barat. Membelah kebun tebu Nusantara sepanjang 3 KM, sampai akhirnya kami semua tiba di perumahan warga desa Panda.
Sebetulnya di sini jumlah kami lebih dari tiga puluh anak. Itu apabila anak-anak Dara yang berseragam putih hijau kami hitung. Namun kami tidak menghitung mereka, meskipun mereka selalu setia bersepeda di belakang kami. Sebab tempat yang kami tuju dengan tempat tujuan mereka berbeda.
B. Desa Penanggungan
Di desa inilah kekompakan kami diuji oleh topografi. Jaka, Sabar, aku, dan Anam harus sering-sering berkoordinasi agar tidak ada anak Dara yang ketinggalan. Permukaan bumi yang naik turun di desa ini dan jalan yang telah mengalami pembangunan, semua itu bagi anak-anak Dara adalah bumerang. Khususnya anak Dara perempuan.
Mereka tidak mampu melahap tanjakan, takut pada turunan dan selalu gagal menghindari bebatuan. Entah mengapa jalan di desa ini dibangun dengan batu yang menolak menjadi sahabat ban. Walhasil, kami tiga puluh anak Dara dalam jumlah lengkap--meninggalkan desa ini untuk memasuki jalan raya dengan berbagi sepeda.
C. Kantor Kecamatan Perahu
Sampai di depan kantor kecamatan Perahu, tempat diurusnya segala sesuatu. Kami tiga puluh anak Dara dalam jumlah lengkap menoleh ke kanan, melihat jam yang ada di aula kantor kecamatan. Itu penting untuk memastikan apakah jam tangan Jaka masih cocok atau tidak, apakah kami harus menambah kecepatan dst.
Dari kantor kecamatan Perahu jarak yang mesti kami tempuh untuk sampai ke Mts Negeri Perahu adalah 4 KM ke arah selatan. Dalam kecepatan normal biasanya anak-anak Dara yang sudah agak kelelahan butuh waktu sebelas menitan, sebelum akhirnya tiba di depan pintu gerbang.
D. Mts Perahu
Jam tujuh lebih tujuh. Kami tiga puluh anak Dara dalam jumlah lengkap tiba di depan pintu gerbang. Kudengar suara anak-anak yang sedang berdoa di kelasnya masing-masing untuk mengawali kegiatan belajar. Itu membuatku spontan berdoa, supaya kami semua diizinkan masuk ke kelas sebagaimana biasanya.
Jaka dan Sabar ke kelas sembilan D, Anam ke kelas delapan D, kemudian aku ke kelas tujuh D. Sesungguhnya kami tiga puluh anak Dara dalam jumlah lengkap adalah penghuni tetap kelas D. Kelas yang konon gemar aktraksi dan sulapan.
***
"Push-upnya 26 kali, bukan 17 kali!" jelas Pak Aris menyetrap kami.
Ngraho, 4 November 2021
M. Abdul Roziq, penyair, menetap di Bojonegoro. Puisi-puisinya tersebar pada beberapa media serta terhimpun dalam antologi tunggal. Antara lain: Tragedi Stroberi Kumpulan Prosa Liris dan Puisi 2021, Sel A. Informasi lebih lanjut bisa ditanyakan langsung via FB: M Abdul Roziq atau 08816964363.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024