Ombak yang Tak Lagi Galak
untuk kesekian kali
di pagi yang berkabut
ia tak beranjak melaut
sepi merajam hati
pada perahu-perahu yang terparkir lesu
ia tambatkan rindunya yang berdebu
rindu karena tak bisa lagi bertemu
dan berkejaran dengan ganasnya ombak
:ia telah merelakan
nasibnya berjarak
dari pelukan
orang-orang tercinta
bertaruh nasib, demi dapur agar tak nganga
tapi ia senang, karena jika petang menjelang
sekujur kelelahan akan berganti jadi keriangan
bersama ikan-ikan besar yang ia bawa pulang
untuk anak dan isteri tersayang
namun di pagi itu
pagi yang kesekian kali
pagi yang masih berkabut
ia tak pergi melaut
bahkan sekedar menengok pantai
:baginya tempat
paling damai
ia harus melangkah dengan berat dan gontai
karena laut tak lagi menyimpan ombak
yang galak menggertak
ombak di laut tinggal alunan air lembek lamban
karena di balik ombak tak ada lagi ikan-ikan
yang bisa diajak bercanda kegirangan
“kenapa ayah tak pergi melaut...?”
ia pandangi wajah anak-isteri
:masih
pucat pasi
lalu ingatannya tertuju berita televisi
kapal-kapal besar milik para saudagar
mengangkut isi laut hingga ke dasar
untuk kesekian kali
mereka dibayang-bayangi ikan teri
Wisma_Aksara 2021
Marwanto, menulis esai, cerpen, puisi, dan resensi buku yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pos Bali, Minggu Pagi, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro Sulawesi, Solo Pos), majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Suara Hidayatullah, Hai), tabloid (Adil) buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi, detikcom, cendananews, lensasastra, dll). Menggerakkan aktivitas sastra lewat Lumbung Aksara, mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo serta membina komunitas Sastra-Ku. Buku puisinya terbaru: Kita+(Duh)-Kita (puisi, 2022). Puisinya yang berjudul “Celengan Jago Warisan Ibu” meraih juara pertama Pekan Literasi Bank Indonesia 2020. Tinggal di Kulonprogo Yogyakarta.
*****
Ulasan : Ardi Wina Saputra
"Beribu pada Rahim Lautan"
Puisi
bertajuk “Ombak yang Tak Lagi Galak”
mengajak pembaca pulang ke rahim laut. Laut dan segala kecerdasan masyarakat
yang mengikutinya memang telah terdegradasi ketika kolonialisme menginjak bumi
Nusantara. Melalui kolonialisme ditambah dengan industrialisasi, kecerdasan
maritim masyarakat Nusantara saat itu seolah disubtitusi oleh dominasi
kecerdasan agraris. Kemampuan membuat kapal rasaksa hingga armada laut-pun
semakin berkurang. Fokus matapencaharian masyarakat berpindah, dari nelayan
menuju petani. Itulah sebabnya “Nenek
Moyangku Seorang Pelaut” menjadi lagu penanda memori kejayaan masa lalu
kemaritiman Indonesia. Berkaitan dengan fakta-fakta tersebut, puisi “Ombak yang Tak Lagi Galak” mengembalikan
memori pembaca untuk bersedia beranak susu di pangkuan almamater laut.
Marwanto
sebagai penyair mampu bertangkap lepas dengan makna sehingga suara nelayan yang berkeluh kesah ke haribaan
laut, terdengar jelas di hadapan pembaca. Sastra, dalam hal ini puisi, mampu
menyuarakan suara yang tak bersuara (voice
of voiceless). Dengungan keluh kesah tersebut telah terpatri sejak bait
pertama, khususnya pada dua baris terakhir;
“ia tak beranjak melaut
sepi merajam hati”
Tidak melaut, bagi
seorang nelayan berarti tidak bekerja. Akibat dari tidak bekerja tentu membuat
kondisi perekonomian nelayan tersebut rapuh, dan itu sangat berdampak bagi
kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Bukti lainya yang menyiratkan suara nelayan
ada pada baris berikut;
“ia harus melangkah dengan berat
dan gontai
karena laut tak lagi menyimpan ombak yang galak menggertak”
“Kegalakkan ombak”
merupakan sesuatu yang dirindukan didambakan oleh nelayan. Bagi masyarakat yang
tak karib dengan laut, ombak yang galak mungkin dianggap berbahaya, tapi bagi
nelayan tidak. Kecakapan berlaut yang dimiliki nelayan membuatnya mampu
berdelibrasi dengan ombak yang galak sehingga ia memperoleh banyak ikan. Laut, ombak, dan seisinya merupakan ibu
kehidupan bagi para nelayan. Permasalahan timbul ketika ombak tidak lagi galak.
Keluh kesah yang
disuarakan oleh nelayan tersebut bukanlah tanpa sebab. Di akhir puisi,
disampaikan keberadaan kapal-kapal besar yang telah membabat habis seisi lautan
hingga ke dasar. Laut sebagai rahim lengkap dengan susu sumber kehidupan telah
dikeduk habis oleh maskulinitas kapal-kapal besar sehingga anak-anak yang menyusu dalam naungan laut
harus meronta jiwanya, seperti nelayan dalam puisi ini.
Nasib nelayan dalam
“Ombak yang Tak Lagi Galak” merupakan
keberhasilan penyair menciptakan realitas baru berdasarkan akumulasi realitas
lama ditambah dengan imajinya. Metafora “ombak” tak sekedar hadir sebagai
pemanis apalagi pelengkap, tapi mampu
menjelma sebagai konstruksi artifisial pada kondisi laut yang jarang dilihat
orang. “Ombak yang Tak Lagi Galak”
mengajak kita sebagai pembaca untuk menyadari kekecewaan nelayan yang bermimpi
dan bersoliloqui pada laut dan seisinya.
Penulis : Ardi Wina Saputra
Pengajar di
Universitas Katolik Widya Mandala
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313