MENULIS KALI GELAP [Puisi Kurnia Hidayati]
demi nama segala nama dan kegelapan yang mencekau segala aliran.
Aku menulismu sebagai penanda; kisah-kisah yang pecah di benak khalayak
ihwal ruh orang mati yang merubung janji-janji
jerit perempuan dan bayangan hitam
diam-diam terlansir serupa suara-suara yang dilupakan hujan
ikan-ikan sembunyi di antara arus yang diam
angker dan kesunyian menikam namamu pelan-pelan
Riuh telah pergi dan kau hanyalah sebatang alur yang lengang dan sendiri.
Membelah perkebunan, menjadi jeda sebuah jembatan.
Namun, kisah-kisah enggan binasa serupa aliranmu yang enggan sirna.
Demi nama segala nama dan kegelapan yang menghabur ketika melintas di atasmu
Aku menulismu agar tak gentar padamu
Batang, 10 April 2016
TENTANG JURU PARKIR DAN PANTUN-PANTUN JENAKA
Selalu kuingat kau, di alun-alun kota
Kau laki-laki tanpa misai, kumal wajah kumal badan
Punggung terbungkuk
Kehidupanmu karib dengan debu jalanan
malam itu kau datang menemuiku
Dan berkata bahwa ada setumpuk pantun jenaka hasil idemu dalam kepala
lantas kapan kau sempat mencipta tulisan-tulisan?
Ah, pak, kadang kita lupa caranya terbahak, tepingkal-pingkal menunjuk segala sesuatu
Barangkali kau ingin pergi dari tangis dunia yang menyedihkan ini
Dan memilih menepi menciptakan pantunmu sendiri
Pantun paling jenaka dari sanubari seorang pria
***
Selalu kuingat kau, di alun-alun kota ini
Kau juru parkir tanpa misai
Kumal wajah kumal badan
Dengan pantun-pantun jenaka
Yang belum sempat kubaca
21 Feb 2016
MENGENANG RANGKASBITUNG
tak bisa kuhitung jumlah kedatangan di stasiun rangkasbitung
hari kuning tua belum sampai ke batas kota
Banten jauh di depan
Seorang perempuan duduk termenung memegang kepalanya yang kelompang
Kenang, telah pergi sebelum datang kereta dini hari
orang-orang moksa dengan masing-masing gerbong di dada mereka
Tanpa teman
Hanya membawa badan
Di rangkasbitung
Bangku-bangku segera dingin digantikan kesunyian lain
Ketika kereta tiba semua riuh seketika
Lalu peluit panjang menyeru perihal pulang
Di rangkasbitung, mataku diliputi lanskap wajah demi wajah
Benakku dihantam badai rumah yang kencang
Batang, 26 Feb 2016
TENTANG PUISI YANG SUDAH LAMA PERGI
1/
maka berlarilah pulang
kendati hanya lorong lengang yang kautemui dalam perjalanan panjang
bukan hijau pohonan atau biru lautan
bukan alir jernih sebuah sungai
hanya kegelapan-kegelapan
menjala mata
kau pun berjalan tertatih sambil menerka-nerka
apakah kesedihan selalu terpahat di setiap dinding usia?
2/
pulang, pulanglah!
di rumah, ibu menunggu
sambil menenun sebuah selendang dari benang penantian panjang
lalu sunyi menjelma jarum yang menikam jari-jarinya sendiri
adakah kau tega membiarkah gelisah merupa rindu yang berdarah-darah?
3/
ibu menduga kau tersesat
kata ibu, alamat pulang acapkali menyaru seorang teman paling khianat
namun doa ibu tak pernah lerai dari bibirnya
setiap mengingatmu, ibu tersedu
sambil berbisik, ke mana perginya anak puisiku dulu?
Batang, 27 Desember 2015
Kurnia Hidayati lahir di Batang, Jawa Tengah, 1 Juni 1992. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa seluruh Indonesia baik lokal maupun nasional serta tergabung di beberapa antologi. Buku puisi tunggalnya berjudul Senandika Pemantik Api terbit tahun 2015.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024