Surat Sore Hari | A. Musabbih
Aku kini pohon tepi jalan. Menjaga cericit dari
seekor burung yang terkadang bingung membedakan
antara ranting dan kabel listrik. Berdiri tegak sembari
bertanya dalam diri. Apakah sanggup jika tiba-tiba
Tuhan mengutusku menjadi manusia? Tugas sebagai
makluk tidak bergigi dan berkaki mungkin terlalu ringan.
Seakan tanpa ujian apalagi pujian. Datar. Meski ada juga
yang membuat jantung di pucuk-pucuk daun bergetar.
Tetapi toh tidak ada yang mendengar. Orang-orang hanya
sibuk lalu lalang. Tidak ambil peduli pada rerindang pohon
sepanjang jalan. Bahkan dimanfaatkan untuk membuka
lapak. Seakan segala tempat layak diperdagangkan.
Menjadi pohon pun tidak semudah yang kau kira.
Terutama karena hidup di tengah riuh kota. Padahal dulu,
aku juga segumpal tanah. Aku menjadi pohon demi pulangmu
yang kosong. Menjaga matamu dan matahari yang terus menari
di kedalaman mimpi. Sebelum malam tiba dan lampu-lampu
menciptakan bayangan di dinding, lantai, juga semua ruang hampa.
Jangan khawatir pada ranting-ranting kering. Tidak ada
burung hantu di rimbun daunku. Juga tidak akan pernah
ada seekor pun ulat bulu. Aku sudah terbebas dari nafas
nafsu para investor yang berebut lahan isi ataupun kosong.
Maka aku berharap, kau pulang tanpa salah alamat. Sebab
rumah bukanlah sekedar bangunan bernama dan bernomor.
Ia adalah tempat di mana tanah menitipkan udara dan cahaya.
Sesampainya di pintu nanti tak usah terburu untuk kembali
pergi. Membuat rumah melulu diam dan terkunci. Hingga
akhirnya memaksa rayap menghisap silsilah hikayat.
Sore hari ini
dan juga nanti
2022
Permohonan Tanah
Kembalikan aku
seperti langit memulangkan air laut
Aku ingin telanjang
tanpa gelinjang
Cukup pohon dan buah
yang mengekalkan badan
Nama, tidak ada yang butuh sungguh
kecuali bagi yang ingin terjatuh.
Kembalikan aku
seperti udara memulangkan cuaca
Jika kau ingin melihat
bagaimana aku sekarat
Tenggelam di antara bola matamu
yang mendamba kenangan
Buka lagi saja buku
tempat orang-orang menanam rindu
dan perihal masa lalu
Kembalikan, anggap saja aku kalah
dan kau yang menjadi pemenang
April, 2022
Sebelum Magrib
Sesekali ibu membawa pepes teri
bersama ayah, sepulang dari pasar
tempat mereka berburu nafkah
Di punggung, keringat berkarat bertahun-tahun
Adakah yang dapat kau dengar
dari langkah kaki di atas duri?
Jalan panjang antara pasar dan rumah
mungkin terlalu ramai dan payah
Tidak ada trotoar lagi
tempat dulu mereka menanti
bus yang pernah mengantar kau pergi
Orangtua, memang akan selalu siap
kehilangan kata-kata ketika kita
tidak berdaya menjungjung namanya
Dan mereka tidak peduli
pada suara sore hari
Tetapi tanah, yang diam-diam menanam
akan memaksa kita kalah, menyerah
dan merasa bersalah
April, 2022
Semaya Mata
sebarapa pun jauh pandang yang kau tempuh
tidak akan sedalam apa yang malam peram
setinggi langit ke tujuh
tidak ada yang bisa kau sentuh
jika
mimpi tidak dapat kau tangkap
di balik apa-apa yang gelap
sedalam ceruk laut
juga tidak ada yang bisa kau pungut
jika
cuma prasangka
berkelindan di dada dan kepala
seberapa pun jauh rindu yang kau hidu
tidak akan sebutir pun debu meresap kalbu
kalau kau alpa
pada nama dan mula
segala cipta
April 2022
TENTANG PENULIS
A. Musabbih lahir di Tegal pada tahun 1986. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Buku puisinya Sajadah Katulistiwa (Wadahkata, 2020) masuk nominasi PRASIDTAMA Balai Bahasa Jawa Tengah 2021. Buku puisinya yang kedua Arsip Rindu (Prabu 21, 2021). Pernah mengikuti beberapa sayembara menulis puisi dan meraih beberapa penghargaan; Juara I lomba cipta puisi Hari Kartini se-Jawa di Universitas Pancasakti Tegal 2020, juara II cipta puisi Festival Sastra Jawa Tengah 2019, Puisi Terbaik lomba menulis puisi nasional Leon Agusta Institute (Padang, 2014), juara II lomba cipta puisi nasional Batu Bedil Award (Lampung, 2011), juara II lomba cipta puisi Semarak Bulan Bahasa (UNTIRTA, Banten 2009), juara III lomba cipta puisi FLP Yogyakarta (Yogya, 2007), dan beberapa nominasi.
Menulis puisi di beberapa antologi puisi bersama antara lain: Negeri Tanpa Kekasih (UNY 2006), Tak Ada Hujan Turun Hari ini (UNY, 2007), Puisi Menolak Lupa (STAIN Purwokerto, 2010), Pukau Kampung Semaka (Lampung, 2011), Ziarah Tembuni (KSI Award 2012), Gang Guru (Yogyakarta, 2014), Negeri Laut, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2015), Kopi 1.550 mdpl (Aceh, 2016), Cimanuk, Ketika Burung-burung Telah Pergi (Inderamayu, 2017), Sajak-sajak tentang Pindul (Yogyakarta, 2017), Negeri Awan, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2017), Hikayat Secangkir Robusta (Lampung, 2018) Requiem Tiada Henti (STAIN Purwokerto, 2018), Kepada Toean Dekker (Lebak Banten, 2018), Kartini Kesatria Pena (UPS Tegal, 2020), Suara Hati Guru di Masa Pandemi (Seni Buleleng Bali, 2020), Rantau, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2020), Antologi Puisi ASEAN 3 (STAIN Purwokerto 2020). Puisi-puisi lainnya pernah terbit di Lampung Pos, Bali Pos, Minggu Pagi, Situseni.com., Majalah Kreativa, Pawara Dinamika UNY, dll.
Tinggal di Tegal dan bergabung bersama Dewan Kesenian Kabupaten Tegal, komite Sastra, juga Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia PCNU Kabupaten Tegal, komite Sastra dan Teater.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024