PUISI YANG DITINGGAL MATI PESYAIRNYA
| Wahyu TovengAku ingin menyudahi riwayat laut ini di tubuhku, mungkin sebelum air pasang bergegas dari bibir pantai dan cerita-cerita perompak sibuk menghasut waktu. Aku berjalan telanjang menerjang ombak, merasakan air laut menghisap pori-pori tubuh ini, mereka membujukku bertandang ke kerajaan mitos di dasar samudera. Mereka katakan hidup ini sesaat harus tenggelam ke dalam lubuk kesunyian paling hening. Aku pantas mendapatkan itu, karena kepalaku terlalu ramai oleh kenangan yang tak mungkin terulang. Di bawah sana aku dapat melupakan kenangan dan memulai keabadian yang lebih berbeda dari sekadar puisi yang ditinggal mati pesyairnya.
Mungkin paru-paruku akan koyak setelah detak jantungku begitu jelas terdengar di kesunyian itu. Tetapi itu lebih baik ketimbang amarah dan kebencian memenuhinya sepanjang hidupku. Sesaat aku sempat menoleh, ketika sebentuk suar fatamorgana di pantai menggapaikan tangan memanggil punggungku. Siluet dirimu begitu cemasnya memohonku kembali. Aku bingung untuk kembali sebenarnya, karena dirimu tak pernah lagi ada di sana. Dirimu telah pergi bersama malam yang tetiba begitu tajam memotong ikatan. Dia membawamu dari pantai ini dan kita menjadi nelangsa tak berkesudahan.
Utara Jakarta, 31052022
Wahyu Toveng, kelahiran Jakarta 1977 Alumni dari Akademi Teknologi Grafika Indonesia. Seorang penikmat sastra, puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi puisi bersama. Pernah berperan sebagai Brojo dalam lakon berjudul PERTJA bersama Pandu Teater untuk Festival Teater Jakarta Pusat 2021.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313