Judul : Permainan Metafora dalam Karya Sastra
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : LovRinz
Terbit : Juni 2022
Tebal : 68 Halaman
ISBN : 978-623-446-341-5
Hal apa yang sebaiknya kita pertimbangkan ketika ingin meresensi buku? Muhidin M. Dahlan, dalam bukunya Inilah Resensi (Tangkas Menilik dan Mengupas Buku) (I:boekoe, 2020), menyebut tiga hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu: Merencanakan bacaan, fokus dan dalam, dan berbagi ala kadarnya. Tiga hal itu memang bukan keharusan, tetapi lebih ditujukkan sebagai sesuatu yang disarankan; sebaiknya dilakukan. Dari ketiganya, ada dua poin yang saya kira penting untuk diingat: perkara merencanakan bacaan membuat pemahaman kita atas satu topik, genre, penulis, atau tema tertentu menjadi lebih tajam dan terfokuskan lagi; sementara membaca dengan fokus yang mendalam, yakni membaca dengan intim, membuat proses pembacaan kita tak sesederhana membaca hanya untuk kesenangan semata, sebab kita dituntut untuk menjadi pembaca yang cermat dan kritis. Dua hal inilah, saya kira, yang telah dilewati oleh Akhmad Idris sebelum ia merilis buku teranyarnya, Permainan Metafora dalam Karya Sastra (LovRinz, 2022).
Kesimpulan itu barangkali tampak terburu-buru. Namun, jika dilihat dari isi tulisan dalam buku berhalaman tak sampai 70 halaman ini, kecenderungan dua hal itu dapat kita raba. Untuk yang pertama, Idris merencanakan bacaannya dengan berfokus pada telisikan terkait keberadaan metafora dalam karya-karya yang ia ulas—telisikan itu menghasilkan tulisan berupa esai atau ulasan buku. Tulisan dengan fokus metafora itu pun tersebar sepanjang tahun 2021, dan ia menelisik karya dari beberapa penulis, dari pengarang besar seperti Gabriel Garcia Marquez, Knut Hamsun, sampai pengarang dalam negeri seperti Hidar Amaruddin dan Dian Ardianto. Sekuens waktu setahunan itu selaras dengan anjuran Muhidin M. Dahlan dan, hasilnya, ia mengikat tulisan-tulisan yang tadinya terserak di banyak media itu menjadi satu buku utuh. Proses ini tentu memerlukan ketekunan dan fokus yang tak main-main, dan itulah yang dilakukan Idris, sekaligus ia mengamini poin kedua dari saran Muhidin M. Dahlan tadi.
Ketekunan itu lantas membuahkan hasil: sekian tulisan dalam bentuk esai atau ulasan yang menyoroti keberadaan metafora yang digunakan beberapa penulis dalam karya-karya mereka. Dari sekian tulisan itu, saya menemukan dua tilikan yang tampak “tak pernah terpikirkan untuk diulas”. Dengan kata lain, Idris telah menemukan satu hal, sebuah keunikan, yang kemungkinan diabaikan oleh pembaca lainnya. Pertama, ia mengulas penggunaan metafora konseptual dalam sapaan “paman” dan “komandan” di novel Sult (Lapar) karya Knut Hamsun. Tulisan yang berjudul “Memaknai Sapaan Metaforis Ala Knut Hamsun” itu menggunakan teori metafora konseptual milik George Lakoff & Mark Johnson sebagai pisau bedahnya. Idris mengulas, bahwa sapaan “paman” dan “komandan” sebagai ranah sumber (source domain), ditujukkan untuk “pemilik rumah gadai” dan “redaktur surat kabar” sebagai ranah target (target domain). Penggunaan sapaan itu masing-masing memiliki dua kesamaan, sehingga antara ranah sumber dengan ranah target mempunyai relevansi yang sejalan.
Bagi pembaca umum, barangkali penggunaan sapaan ini dapat dipahami sebagai akibat dari kondisi masyarakat tertentu yang terjalin dalam sebuah keakraban. Panggilan paman, tak melulu digunakan dalam arti si pemanggil memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan yang dipanggil, tetapi bisa jadi di antara keduanya telah terbentuk keakraban khusus. Begitu pula dengan panggilan komandan, sapaan itu bukan saja ditunjukkan dalam konteks kemiliteran, melainkan juga akibat keluesan hubungan antardua orang, dengan relasi kuasa yang berbeda, hingga membuat sapaan itu hadir. Telaah ini barangkali yang dimiliki oleh pembaca umum, tapi oleh Idris, telaah itu dihaluskan dengan menggunakan pisau bedah yang pas, dan itu membuat pemahaman pembaca lebih jelas lagi terkait sapaan metaforis dalam novel Knut Hamsun itu.
Adapun tilikan yang kedua, hadir dalam satu ulasan buku bertajuk “Cara Gabriel Garcia Marquez Mengungkapkan Urusan Seks dengan Sopan”. Tulisan itu mengulas karya Gabo, Para Pelacurku yang Sendu (Terjemahan dari Memories of My Melancholy Whores), dengan fokus pada ungkapan metaforis Gabo atas hal-hal senonoh yang justru diungkapkan dengan kehalusan. Ungkapan metaforis itu, misalnya, ada dalam kalimat: “Malaikat merubungi ranjang Delgadina. Ia menjadi sedikit lebih santai. Seembus gelombang hangat mengalun di urat nadiku, dan hewan lamban yang bermukim dalam diriku terjaga dari tidur panjangnya.” Telisikan Idris mengungkapkan bahwa Gabo membalut adegan “bangkitnya hasrat untuk bercinta” dengan ungkapan halus sekaligus menawan. Tidak ada unsur ketabuan, atau kegamblangan istilah yang bisa saja dipandang senonoh oleh adab Ketimuran—terlepas di dalam karya sastra, kegamblangan itu sangat bisa diterima. Tapi ihwal kehalusan ungkapan ini yang disoroti oleh Idris, kendati kali ini ia tidak memakai pisau bedah dari seorang theorist sebagaimana telisikannya yang lain, misal dengan menggunakan konsep metafora konseptual milik George Lakoff & Mark Johnson.
Dua Catatan
Pada telisikan pembuka, Idris meletakkan tulisan bertajuk “Kerumitan Gabriel Garcia Marquez dan Keindahan Metafora Konseptual”, peletakkan ini agaknya memiliki maksud lain, mengingat saya merasa tulisan ini termasuk yang cukup panjang di antara yang lain, dan sempat diterbitkan oleh satu media prestisius, Kompas.id. Kendati begitu, saya memiliki dua catatan atas tulisan ini. Pertama, sudah terlihat jelas bahwa topik utama telisikan Idris menyoal kerumitan tulisan Gabo dan keberadaan metaforanya yang indah, tapi Idris justru membuka, bahkan hampir menghadirkan seperempat awal tulisan dengan latar belakang penulisan ketigabelas cerpen Gabo yang ia telisik. Pembabaran latar belakang itu, saya kira, bisa dimaklumi keberadaannya apabila telisikannya menyentuh hal-hal di luar unsur internal cerita—bisa saja unsur eksternal dari karya-karya tersebut. Sementara, telisikannya, yang dielaborasi setelah pembabaran itu, berfokus pada keberadaan frasa metaforis sebagai bagian dari unsur internal (Gaya bahasa) dalam cerita Gabo, itu pun hanya dua judul saja, yaitu “Aku Kemari Hanya Untuk Meminjam Telepon” dan “Sang Santa”.
Kendati babakan awal tulisan diberi subjudul “Jejak Rumit Garcia Marquez”, tetapi bagian itu terkesankan hanya menumpang isi dalam bangunan utama tulisan, sebab fokus utama dari tilikan itu adalah pembabaran pesona ungkapan metaforis dalam cerita Gabo. Adapun ihwal telisikan terhadap ungkapan metaforis itu sendiri, Idris masih menggunakan pisau bedah yang sama dengan yang ia gunakan dalam beberapa telaahnya. Teori yang dipakai Idris adalah metafora konseptual dari George Lakoff & Mark Johnson. Ia mendapati tiga ungkapan metaforis: dasar neraka, malaikat tak bersayap, dan lengan beruang kutub. Ketiga ungkapan itu tampak tak asing, tanpa menguliknya lebih dalam pun pembaca bisa mengasosiasikannya dengan arti yang disembunyikannya. Dan terlepas dari itu, saya menyayangkan paragraf penutup dari tulisan Idris kali ini. Ia menutupnya dengan: “Akhir kata, metafora konseptual adalah satu di antara cara Garcia Marquez untuk mempertegas sisi ‘janggal’ pada diri para peziarah dalam tiga belas cerpennya.” Penutup itu menghadirkan pertanyaan di benak saya, “Apakah telisikan atas dua judul cerpen cukup mewakili sisi ‘janggal’ pada diri para peziarah dalam tiga belas cerpennya Gabo itu? Apakah dua cerpen itu cukup merepresentasikannya? Bagaimana dengan sebelas cerpen lainnya?” Di sinilah, saya kira, Idris perlu menekankan dalam judul tulisan itu, bahwa telaahnya hanya atas dua cerpen Gabo, bukan ketiga belas cerpennya.
Sebuah Harapan
Terlepas dari dua catatan itu, keyakinan bahwa buku ini memiliki nilai yang baik bagi pembaca umum terhadap metafora dalam karya sastra, tetap saya miliki. Disebabkan tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini mengambil bentuk ulasan buku atau esai populer, membuat pembaca tidak perlu khawatir atas sifatnya yang terlalu njelimet, kelewat sistematis, dan penuh istilah-istilah rumit, sebagaimana karya tulis ilmiah. Hal inilah, yang membuat buku ini tidak saja ditujukkan bagi peminat sastra secara khusus, tetapi juga kepada masyarakat umum yang tertarik dengan telaah metafora dalam sebuah karya sastra. Namun, bukan berarti apa-apa yang Idris tulis tidak luput dari harapan “untuk dapat dikembangkan lagi”. Sekali lagi, saya memiliki dua catatan (harapan): kiranya Idris bisa mengelaborasi telaah metaforis dan interpretasi atas karya sastra tidak saja bertumpu pada dua pisau bedah utama—metafora konseptual milik George Lakoff & Mark Johnson dan ekspresi tak langsung oleh Michael Riffaterre, sehingga kupasannya akan lebih kaya lagi dengan berbagai angle dan pendekatan.
Selain itu, terkhusus ungkapan metaforis sendiri, sejujurnya saya mengharapkan temuan-temuan yang Idris dapati dalam telaahnya keluar dari ungkapan metaforis yang jamak sudah kita dengar. Metafora seperti dasar neraka, tulang punggung, malaikat tak bersayap, senyum tuhan, atau hati ibu, saya kira, bukan ungkapan yang asing. Penggunaan ungkapan itu biasa kita temukan dalam karya sastra, baik dalam negeri atau dari pengarang bertaraf global. Oleh karenanya, apabila buku ini kelak mendapat kelanjutannya, temuan-temuan atas ungkapan metaforis yang lebih segar dan jarang lagi akan memberi pemahaman yang lebih beragam kepada pembaca. Untuk itu, saya menantikan karya Akhmad Idris berikutnya.
Tentang Penulis
Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.
Akun media sosial : IG; @karaage_wahid
Nomor Telepon/ WA : 089631168911
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313