Kasidah Hijau | Ahmad Rizki
Malam telanjang dalam
euforia, tapi hidupku
takut dan menderita.
Ia datang padaku,
dan ia menegurku
Kurasakan getar hasratnya.
Namun aku makin
menderita.
Aku mendongak, dan
perlahan kukatakan,
"Suatu saat itu pasti!"
Malam telanjang dalam
euforia, tapi hidupku
takut dan menderita.
Ia tampak marah dan
pastinya kecewa. Namun
keadaanku tak lebih
menderita.
Ia mulai mendekatiku,
jarinya ringan seperti
kapas, matanya gelinding
ke hatiku, bibirnya
utuh-sempurna.
"Kepastian kata-kata,
atau kata-kata
yang dapat dipastikan
itu sukar kuartikan.
Namun aku memilih
percaya, tapi jangan
buat aku kecewa!"
Ia katakan itu
di kupingku, dan
pergi begitu saja.
Malam telanjang dalam
euforia, tapi hidupku
takut dan menderita.
"Tunggu saja! Keganjilan,
kepastian, keinginan, ah,
atau semua itu
pasti datang padaku
suatu hari. Dan,
kalau tidak, aku
sendiri yang menghampirinya."
Malam telanjang dalam
euforia, tapi hidupku
takut dan menderita.
"Tunggu saja di sana.
Sampai penderitaan ini
musnah selama-lamanya!"
Tak menoleh ia, dan
malam padam. Dan
pelan-pelan tubuhnya
pudar dari pandangan
mataku.
(2022)
Kasidah Hijau I
Orang bilang matahari
siang bolong pasti
mentereng, tapi hatiku
sepi dan ketakutan.
Dirinya hilang dan
tak kujumpa. Terbata
-bata aku hitung
peristiwa--dari masalah,
biang masalah, tragedi,
sengsara, dan semuanya--
yang malang dan tak
berguna. Aku tahu:
kata-kata mustahil
cukup. Tidak! Air
mata juga tak
meredam dahaga. Namun
inilah nyata yang
kurasa.
Orang bilang matahari
siang bolong pasti
mentereng, tapi hatiku
sepi dan ketakutan.
Terbelenggu bahasa
di hati. Dan
berhentilah sementara di
sini.
(2022)
Kasidah Hijau II
Angin melambai-lambai
dan daun bergoyang
riang gembira.
Aku tak tahu
apakah kita resmi
berpisah tanpa membawa
sejarah dan masa
depan yang kita
idam-idamkan?
Ketika kau datang
persis seperti penderitaan
dunia yang tak
bawa cahaya, aku
tak mengerti apa
yang seharusnya kita
pertaruhkan? Atau penjara
kehidupan yang memisahkan
dan memenjarakan kita
berdua, apakah harus
benar-benar terjadi
pada hidup kita?
Angin melambai-lambai
dan daun bergoyang
riang gembira.
Hanya jari ringanmu,
hanya matamu, hanya
penderitaanku, hanya kenyataan
yang menukar duka
dengan bahagia, atau
senang dengan sengsara,
sebelum akhirnya kenyataan
mengembalikan posisi dan
hak pada tempatnya.
Angin melambai-lambai
dan daun bergoyang
riang gembira.
Aku tak mengerti!
Pasti kamu juga
tak mengerti. Mengapa
dunia berlangsung harus
seperti ini?
Aku tak mengerti!
Pasti kamu juga
tak mengerti. Mengapa
air mata lebih
berguna dari utopia
atau mimpi?
Ah! Aku tak
mengerti! Kau juga
pasti tak mengerti!
Mengapa cinta tak
lebih berarti dari
derita abadi?
(2022)
Kasidah Merah
Bulan merah.
Pipimu merah.
Malam larut
dan tubuh kita berkerut.
Di samping ranjang,
di atas mimpi masa depan,
angin di jendela melucuti
keinginan dan keangkuhan,
lalu matamu dan mataku
saling menatap api
penderitaan.
Bulan merah
Cawat merah.
Pipimu merah.
Dan sepanjang malam
kami peluk segenap derita.
(2022)
Kasidah Merah I
Seperdelapan nyanyian
di mulut penyair jadi karang,
dan bulan keliling-keliling di matanya.
Bila cinta sampai di puncak,
cahaya dan gelap amat sesak
Waktu meleleh, bunga dalam
harapan mekar sempurna,
itu berarti awal sebuah derita.
Pertemuan dan bahasa jiwa
hanya punya derita,
napas dan ketakutan melekat
jadi udara,
entah indah atau celaka
tapi akhirnya cinta tumbuh derita.
Mimpi dan kenyataan tak ada
bedanya, awal dan akhir juga
tak ada beda.
Cinta itu derita
Derita itu cinta.
Hati dan pikiran pasrah.
O, cinta sukar dipahami
Kenyataan celaka dan perihnya
lebih dari mati.
(2022)
Kasidah Merah II
Hatimu
abu-abu. Jendela matamu
kuning benalu. Kata-kata
hitam ceria. Nyanyianku
merah air mata.
Aku nyanyikan merah, tapi
kauminta biru samudra.
Hatimu
hijau berlumut. Jendela
matamu kuning langsat.
Kata-kata putih membara.
Nyanyianku merah air mata.
Aku nyanyikan merah, tapi
kauminta biru samudra.
(2022)
Kasidah Kuning
Kami jumpa tengah malam.
Mata kami berkobar.
Namun angin dan air dunia
memadamkannya.
Di antara gelagat bintang
Waktu runtuh, beku, bisu.
Mata kami takut
dan nyali kami berhamburan.
Kami jumpa tengah malam.
O, kami sepasang
asap dan abu
yang terbuang dari kehidupan.
(2022)
Kasidah Kuning I
Apa yang tak mungkin
dikecup sang waktu?
Peristiwa malam amat
kosong, tapi hidup
lebih berjarak.
Bintang jatuh di hati kita
tapi keinginan jadi petaka.
Bulan mekar sempurna
tapi keinginan bias tanpa makna.
Apa yang tak mungkin
dikecup sang waktu?
Kenyataan hidup adalah
cinta yang tak kita kenali
nama dan bentuknya.
(2022)
Kasidah Kuning II
Cinta tampak menawan
dan hidup tertawan.
Segala bisu jadi suara
dan sempurnalah nyanyian jiwa.
Cinta tampak menawan
dan aku sudah tertawan.
Segala kata punya makna
dan sempurnalah pengembaraan asmara.
(2022)
Kasidah Putih
:buat Wil.D
//Fajar menabur cinta di
latar rumahMu. Angin bermesraan
di dedaunan.//
Bahasa sepi menggeliat
-geliat, atap dan
lantai basah, jendela
dan pintu hening,
dan hatimu bicara:
"Dingin. Kehidupan dingin. Pagi dingin. Cinta dingin. Keyakinan dingin."
//Fajar menabur cinta di
latar rumahMu. Pagi telanjang.//
Mata tersipu, tubuh
penuh hasrat, ingatan
jadi hutan rimba,
dan mulutmu berkata:
"Beku. Kehidupan beku. Pagi beku. Cinta beku. Keyakinan beku."
//Fajar menabur cinta di
latar rumahMu. Pagi merekah
luar biasa.//
Hati terjerat, kata
-kata laknat, ungkapan
meleleh, dan kau
berkata:
"Dingin. Hati dingin. Pikiran Dingin. Pagi dingin. Cinta dingin. Keyakinan dingin.
(2022)
Kasidah putih I
Aku adalah mawar
yang dipengaruhi duri.
Kubiarkan serangga
menyiasati tubuhku
atau angin-angin yang
menggelinjang di dedaunan
dan kepedihan yang
merekah dalam hidupku.
tapi aku mawar berduri
merekah indah hidupku
sebelum jaman berkeliaran
dalam gelagat matahari telanjang
atau udara yang meneduhkan
daun-daun kehidupan
dan kuterima semua angin
atau hujan
sebab, di sana ada musim
yang menimbang kehampaan.
(2022)
Kasidah putih II
Jangan takut!
Waktu telanjur lewat
dan kehidupan sempurna hampa.
Waktu telah lewat
dan malam sudah tergusur
ke sela serakan air mata. Dan
selalu ada harum gerai senyummu
terserak ke lantai atau dinding jiwaku.
“Aku dengar kesedihan, Anjani.
Ilalang atau daun kering,
atau batu-batu hitam tenggelam
ke dasar hati kita.”
Masih tersisa cahaya
bintang matamu
tapi waktu
membuat kita berantakan.
Gemulai bulan, atau
kesendirian yang nyeri, atau
jantung yang menyembunyikan
udara, dan hampir putus asa
suara hati kita berdua.
“Aku dengar kesedihan, Anjani.
Pohon-pohon tumbang. Angin
berjalan ke permukaan. Hati
dan kegelapan jiwa kita
gelagapan.”
Jangan takut!
Waktu sudah lewat
dan kehidupan sempurna hampa.
(2022)
Kasidah Hitam
Cinta adalah
cahaya. Adalah
sebuah cahaya.
Cobalah kau
berdiri di
antaranya
maka kita serupa
lelehan lilin yang
naif dan tak
bisa apa-apa.
(2022)
Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya termaktub di media daring. Buku puisi yang terlanjur terbit: Sisa-Sisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan di Instagram @ah_rzkii atau email ahrizki048@gmail.com
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313