JATUH HATI (8)
Oleh: Dyah Kurniawati
Teringat terus isi obrolan dengan pakdhe tadi sore yang sangat mempengaruhi kewarasan jiwaku, ringan namun pasti. Agak bingung juga, sebenarnya aku yang melamar Sekar atau Sekar melamarku lewat perantaraan pakdhe? Jodoh adalah salah satu takdir misteri setiap manusia, tak bisa ditebak dan terkadang terjadi di luar nalar.
Masih belum percaya kalau rasaku pada pujaan hati sudah kelihatan hilalnya, berasa mimpi tapi ini nyata. Ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan, Sekar juga menaruh hati padaku kata pakdhe tadi. Terbayang di pelupuk mata, betapa bahagianya bapak ibuku akan mendapat menantu lagi.
Segera berkemas persiapan pulang kampung besok pagi. Sengaja tidak telepon dahulu biarlah jadi kejutan yang menyenangkan. Tak sabar ingin melihat reaksi bahagia mereka secara langsung. Kebahagiaan orang tua adalah hal wajib bagiku untuk meraih ridha keduanya.
Antara senang dan haru berpadu, tapi masalah jilu masih mengganggu jalan menujunya, tentu sangat berpengaruh. Bapak pasti menanyakan pada orang pintar yang mengerti hitungan perjodohan dalam masyarakat Jawa. Bismillah, yang penting maju duluan semoga nanti ada solusinya, niat baik harus disegerakan.
Selepas Subuh bersiap pulang ke kampung, perjalanan sekitar 2 jam naik sepeda motor. Kubersihkan rumah seperlunya karena rencana mau menginap selama dua malam di rumah kampung. Sembari beres-beres kunyanyikan Jatuh Hati-nya Fileski, lagu yang sering dinyanyikan Sekar lewat gesekan biolanya.
JATUH HATI
rindu bukan perkara jarak
bukan soal bertemu atau tidak
kamu adalah cahaya
nampak tapi berjuta jarak
dalam gelap aku diam
mengintip kau yang bersinar di sana
aku selalu rindu kamu
meski kau tak pernah menganggapku
aku tak sanggup untuk katakan sayang
meski dalam hati ku ingin kau tau
mungkinkah aku sanggup menghadapimu
untuk mengaku aku jatuh hati
Sebelum berangkat sengaja mampir ke rumah sebelah, kebetulan pakdhe lagi menyiram tanaman di halaman.
”Selamat pagi Pakdhe, maaf mengganggu sebentar.”
”Oh, Mas Gilar..., kelihatannya mau.pergi ya?” tanya pakdhe sambil mematikan kran yang terhubung ke selang.
“ Ini mau pulang kampung Pakdhe, ingin mengabari bapak ibu bahwasanya calon menantunya sudah ketemu, hehehe....”
Kembali kami duduk di kursi kayu bawah pohon sawo. Sebenarnya tidak sopan bertamu terlalu pagi, semoga pakdhe maklum karena ini darurat. Kedatangan mendadak kali ini hanya ingin bertanya tanggal lahir Sekar. Pakdhe selaku orang Jawa pasti paham hal ini untuk kelancaran acara lamaranku ke Sekar nantinya. Tak sabar untuk segera melamar resmi mengajak kedua orang tuaku.
Setelah dapat tanggal kelahiran Sekar Kinasih aku segera meluncur ke kampung. Tanggal kelahiran merupakan hal wajib bagi keluargaku untuk menghitung weton tentang baik buruknya sebuah pernikahan. Seperti halnya hitungan jilu, pernikahan anak nomer satu dan tiga yang juga dianggap kurang baik.
Sesampai di rumah kampung ada mobil terparkir di halaman. Kupinggirkan motorku di samping kiri mobil plat luar kota tersebut. Di ruang tamu terdengar obrolan diselingi tawa renyah, sepertinya ada tamunya bapak ibu yang sudah akrab. Kubasuh tangan di kran di bawah jendela lalu kubelokkan kaki menuju pintu samping yang tembus dapur, namun baru beberapa langkah bapak berteriak senang sembari keluar ke teras,
“Wah panjang umur, ini anaknya pulang....”
“Sini Le, ada teman masa kecilmu masih ingat tidak?” ibu pun menyusul keluar menyambut dan merangkulku. Setelah sungkem sama bapak ibu, aku masuk bersalaman dengan para tamu sambil mengingat siapa teman masa kecilku. Ada sepasang bapak ibu sepantaran orang tuaku, dan di pojok duduk perempuan berambut panjang sebahu tertawa merekah ke arahku.
“Gilar ya, makin keren aja.” kata bapak itu, lamat-lamat aku ingat wajahnya tapi lupa namanya.
“Iya ya..., sekarang seger, putih makin berisi ,dulu kurus hitam pula hahaha...., ” lanjut ibu sepertinya istri bapak itu.
Aku hanya senyum dan mencoba mengingat identitas mereka,
“Lupa ya sama aku, dulu kita sering mandi bareng di sungai pinggir desa,” kata perempuan muda itu sambil memukul lenganku. Agak risi juga kala dia mendekat dan duduk di sampingku, sok akrab.
Kuraih air mineral di meja depanku, kuteguk setengahnya untuk mengurangi grogi.
“Ini Pratiwi putri Pak Singgih, dia teman masa kecilmu kala bapak tugas di Jember. Dulu kamu berdua sangat lengket tak mau dipisahkan, beli mainan pun harus dua pokoknya hehe....” ujar ibu membuka kembali ingatanku.
Pratiwi masih seperti dulu sangat agresif. Berulang kali aku menghindar dari sentuhannya yang sangat menggoda, cantik juga sih. Tapi maaf di hatiku sudah ada Sekar yang telah memenuhi seluruh rongga dadaku.
Keluarga Pak Singgih pulang sekitar jam dua siang, lega juga terbebas dari Pratiwi yang selalu nempel seperti masa kecil dulu. Sifatnya yang manja tidak hilang malah makin menjadi. Dulu aku sangat nyaman berdua dengannya karena dia kuanggap adik bukan yang lain. Sekarang sudah dewasa sebaiknya tetap menjaga jarak apalagi aku berstatus duda.
Bapak ibu istirahat di kamarnya, aku pun masuk ke kamar lamaku. Kurebahkan tubuh sembari memandangi langit-langit. Walau kantuk sudah kurasakan sejak tadi tapi tetap tak bisa mengantarkanku lelap. Pikiran melayang ke banyak peristiwa yang telah terjadi di kamar ini. Ruangan yang menjadi saksi duka bahagia bersama almarhum istriku, di sini cintaku menghembuskan nafas terakhir, dadaku sesak. Kubaca Al-fatihah untuknya sebelum jiwaku mengangkasa menjemput mimpi.
*****
Sehabis Isya ibu memanggil, sudah ada bapak juga ruang tengah. Kurasa saat ini waktu yang tepat untuk mengutarakan maksud hati melamar Sekar. Ibu menyusul duduk di kananku sambil memijit tengkukku. Seperti biasa aku selalu manja dan minta dipijit, maklum anak laki satu-satunya, kedua kakakku perempuan semua. Setelah basa-basi tanya kabarku, bapak mengambil nafas panjang.
“Gilar, gimana pendapatmu tentang Pratiwi tadi?” tanya bapak menatapku.
“Yang saya ingat cuma sifat manjanya, masih menganggap saya kakaknya mungkin hehe ....” jawabku sambil meringis menikmati pijitan ibu.
“Hem, sebenarnya beberapa hari yang lalu ibu dan bapak sudah silaturrahmi ke rumah Pak Singgih di Jember, penjajagan kepada Pratiwi.”
Jantung bertalu agak cepat, cermat kudengarkan setiap kata yang keluar dari bibir bapak karena firasatku tidak enak. Tetap diam dan tidak berani menyela ketika bapak melanjutkan bicara,
“ Bapak dan ibu sudah cocok dengan Pratiwi, ternyata dia juga bersedia menggantikan posisi almarhumah istrimu.”
Perlahan kurebahkan kepala yang mendadak pening beserta segala beban ke pangkuan ibu.
*****
Madiun, 25 Oktober 2022
# teks Jatuh Hati adalah lirik dan lagu karya Fileski.
Dyah Kurniawati lahir dan bermukim di Madiun. Menggilai fiksi sejak berseragam putih merah. Lulusan Pend. Bahasa dan Sastra Jawa ini mencoba selingkuh ke sastra Indonesia, tapi tak kuasa lepas dari hangat pelukan sastra Jawa. Menulis geguritan, cerkak, esai, cerita lucu juga menulis puisi dan cerpen. Bisa disapa di https://www.facebook.com/dyah.kurniawati.948.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313