Kapan Harus Berhenti (Menghabiskan Sisa Air Mata)
| Ahmad Sulton Ghozali.
I
untuk kali pertama, kau meminta sebaliknya
tiada lagi seharusnya
dan seandainya
saat ini akhirnya tiba
dan kau lebih memilih melakukannya dengan prosesi
selayaknya hukuman yang harus disaksikan
oleh setiap pasang mata
menguras setiap bulir yang sengaja disimpan
sebab aku layak menerimanya
II
namun mengapa kau enggan
menghabiskan sisa-sisa air matanya?
setelah menghunjam hati ini
dengan ujung-ujung kalimat yang paling ditakutkan
bagi mereka yang telah berani mencintai
maka jangan sisakan, tidak segenang pun
bukan mustahil ketika takkan
sanggup memenuhi dahagamu
lantas kau mengambil penglihatan
seolah masa depan bukan lagi untukku
mengapa kau masih enggan menghabiskan
sisa-sisa air mata di payau ini
ketika kemarau menyulitkan seluruh mimpi?
entah apa di sana, namun kita terlampau bosan
tidak senyumanmu, pelukanmu,
atau segala tujuan surgawi
yang pernah kau beri sebelumnya
padahal kita baru saja memperdebatkan
siapa yang akan melafalkan setiap kata di puisi ini
III
berilah beberapa saat untuk mengingatnya
selagi menawar rasa sakit, kiranya
luka enggan bertemu dengan air mata
maka kenangan akan melakukannya
bagaimana dengan sewaktu mengitari jalanan ibukota
ketika tiada lagi yang diizinkan untuk melintasinya?
bagaimana dengan rencana mengunjungi kedai kopi
yang namanya sudah terlampau jenuh di telinga?
kau hanya tidak tahu kapan harus berhenti, jawabmu
sederhana.
2022
Ahmad Sulton Ghozali. Sering menulis untuk mengisi waktu luang dan hati yang berlubang. Beberapa hasilnya adalah kumpulan puisi Merancang Mesin Waktu (Berpuisi Publishing, 2022) dan Berdamai dengan Air Mata (Jejak Publisher, 2021). Turut menyunting Sajak-sajak Kopi (Teras Budaya Jakarta, 2022). Kabar terbaru di media sosial @anginraga dan situs web anginraga.medium.com.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313