Dalam rangka HAK ASASI MANUSIA | deadline 10 Desember 2022.
PUISI WAHYU TOVENG
SENYAWA RAHASIA
Aku diam-diam mencintaimu, sangat diam-diam. Apalah dunia bila getar ini dikoar-kobarkan. Meja, kursi dan cangkir-cangkir bakal terbalik, tiarap mengutuk sehelai paragraf rahasia. Hujan di sana katamu, meski panas terik di sini. Kita jodoh pada dua sisi mata uang bukan? Persamaan itu teranyam pada zat, bersenyawa meski berbeda rupa reaksi. Aku cemburu, kau pun juga, tetapi puisi itu tertulis sebagai rumah, di luar sana hanya fatamorgana yang entah. Kita terlalu betah menyimpan rapat kisah, membiarkan temaram cahaya menyamarkan degup tanpa banyak aksara.
Utara Jakarta, 24 Oktober 2022
RUTINITAS RINDU
Aku egois katamu. Ah, aku hanya ingin memangkas belukar tanaman liar di beranda rumah ini kok. Dulu kita sampai di sini begitu lapang dan bersih. Kita lahirkan secarik ikrar dalam puisi lalu memperbanyaknya untuk ditempel di seluruh dinding. Sedap dipandang saat rindu menggelegak di ujung larik sinar matahari ataupun ketika malam merajuk rasa kantuk. Lalu kita saling mengucap salam agar mimpi bertaut.
Tahukah, aku terpingkal-pingkal di sini, membaca dirimu yang uring-uringan di sana. Bukan rindu dengan tali kekang bila cinta ini selalu membuatmu dihujani kata larangan. Bukan itu. Tetapi kata protesmu harus kudengar pula, biar banyak versi dirimu kusimpan di kepalaku. Supaya tidak hanya manis madu legit keju yang terasa pecah dan renyah di lidah. Asam kecut pedas itu juga meledakkan gairah.
Ah, aku egois memang. Karena rutinitasku hanyalah menyayangimu setiap hari.
Utara Jakarta, 24 Oktober 2022
PESAN PUITIK
Lewat jalur yang mana lagi kini getar itu berikhtiar. Cawan-cawan telah terisi penuh dan butuh terhirup sesegera mungkin. Jam menunjukkan angka yang sama seperti kemarin, tetapi dirimu belum muncul sebagai pesan. Aku menunggumu membuka tirai menggelontorkan sapa kepada duniaku yang ini. Aku cukup mengerti dirimu menempuh perjalanan panjang penuh resiko pada duniamu di sana. Aku sabar menanti biar jiwa bertukar kabar atau helaian puisi. Bukankah tepian kota memang penuh bukit. Di kota ini kata-kata bersemayam bersama deru mesin dan debu jalan, banyak pula tertata rapi pada katalog gedung dan urat beton. Di bukit sana dirimu memetiknya dari bulir embun dan pucuk dedaunan. Kita menyeduh kata-kata itu pada cawan waktu. Menghirup aroma hidup yang misteri dari genang rindu di dalamnya. Lalu dialog mengalir penuh gemuruh di relung batin.
Duhai, hadirlah perlahan lewat secarik pesan. Tak usah tergesa, biar takdir yang terjalani saat ini diliputi rasa tenang. Sebab tempat berbaring itu terpaut jarak pun masih berbeda ruang. Biarlah langit menjahitkan atap untuk getar di tubuh puisi. Entah sampai kapan.
Utara Jakarta, 25 Oktober 2022
Biodata:
Wahyu Toveng, kelahiran Jakarta 1977 Alumni dari Akademi Teknologi Grafika Indonesia. Seorang penikmat sastra, puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi puisi bersama. Pernah berperan sebagai Brojo dalam lakon berjudul PERTJA bersama Pandu Teater untuk Festival Teater Jakarta Pusat 2021.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313