Hampir satu jam Warso duduk bersila di teras rumah. Bersandarkan pada tiang yang mungkin sudah membekas di punggungnya. Ubin yang didudukinya mungkin terasa hangat saat telapak tangan diusapkan pada permukaan. Rokok filter sudah dia habiskan beberapa batang. Itu berarti sebagian gaji kuli bangunan sudah hangus dibakar.
Warso memperbaiki posisi duduknya karena kesemutan, namun tangannya mengenai tahi ayam di sebelahnya, “Sial!” umpatnya. Ayam-ayam biasanya suka nongkrong-nongkrong di teras, apalagi saat musim hujan, banyak peliharaan tetangga numpang berteduh.
Tak ada air dan sabun di dekatnya untuk cuci tangan. Bahkan rumahnya sendiri tak ada sumur. Dia segera beranjak, langkahnya sedikit meraba pelan dan tergopoh-gopoh karena kakinya kesemutan. Karena tak kuat melihat benda lengket dan bau menempel di telapak tangannya, buru-buru dia meraih daun pisang kering, membersihkannya dengan brutal, lalu mencium sisanya di tangan. Baunya menusuk hidungnya, perutnya mual dan muntah-muntah di bawah pohon pisang hingga matanya berkaca-kaca.
Dari arah jalan setapak, Dimin menenteng ember sambil membawa alat pancingan. Tubuhnya pendek rambutnya belah tengah. Celana pendek dan kaosnya belum ganti sejak kemarin. Sandalnya beda warna. Saat dia nyengir, tiap orang akan tahu bahwa, dia orang yang ramah.
“Mabuk kau ya?” ujarnya.
Warso masih membungkuk merasakan mual. Air liurnya masih menggantung di udara. Mukanya merah, air matanya mengalir di pipinya. Melalui bahu kanannya dia melihat Dimin.
“Mabuk kau?” ujar Dimin lagi.
“Mabuk tahi ayam.” Warso menanggapi sambil menunjukkan telapak tangannya.
Dimin ngakak sambil membuka mulutnya lebar. Gusinya bolong-bolong. Sayur kangkung menyelip di sana sejak kemarin sore. Dia juga tak pernah tahu, napasnya sendiri juga mirip aroma tahi ayam. Dia tertawa tak habis-habis. Sampai terduduk dan menepuki tanah.
“Apa itu lucu?”
“Lihat ke bawah kakimu. Kau juga menginjak tahi ayam, hahahaha….” Tawa Dimin makin menjadi.
Warso kembali muntah-muntah. Telapak kakinya digosok-gosokkan pada pohon pisang. Seekor ayam menatapnya heran. Dengan berjinjit, warso mengambil sandalnya dengan tangan satunya yang tak terkena tahi ayam. Menuju sumur tetangganya sambil mengumpat sendiri. Tawa Dimin perlahan mulai reda.
“Kita jadi mancing, kan?” Dimin bertanya sambil masih terengah-engah. Warso tak menjawabnya. “Aku cari cacing dulu,” katanya lagi.
Sebelum Warso sampai di sumur, dia melihat segerombolan ayam di hadapannya. Tak pikir panjang tangannya menggenggam kerikil di bawah, lalu melemparkannya pada ayam-ayam itu. Semua bubar kelabakan. Tapi Warso kembali tersadar, ada tahi ayam lagi yang tertinggal di telapak tangan, masih hangat.
“Sial! Sial!” umpatnya dua kali.
Lalu buru-buru mencuci tangan dan kakinya menggunakan sabun colek. Setelah semua bersih, telapak tangannya dia dekatkan ke lubang hidung. Aroma lavender sabun colek membuatnya ingin terus menghirupinya. Lalu memakai sandal dan mengencangkan ikat pinggang.
Dia tahu Dimin belum kembali, masih mencari cacing. Sebab cangkulnya tak ada di tempat. Sementara alat pancingnya dia tinggal di dekat teras rumah. Akhirnya Warso menyiapkan alat pancingnya sendiri, dia pilih yang terbaik dan paling panjang. Terbuat dari pelepah pohon salak yang telah dibersihkan. Tak lupa juga ember kecil beserta tutup yang telah dilubangi.
Langit tak terlalu cerah. Matahari hanya mengintip dari balik awan abu-abu. Hawa dingin seperti ini kadang membuatnya sedikit malas. Apalagi untuk seorang pengangguran seperti mereka.
“Mancing di mana kita?” tanya Dimin sambil berjalan membawa cangkul, dia sudah kembali.
“Di sungai biasa. Tapi jangan kau ulangi yang kemarin.”
“Apa?”
“Kau hampir saja berak di celana.”
“Hahaha….” Tawanya meledak lagi.
“Dan aku tak mau lagi melihat benda itu melintas di depanku saat menaruh umpan di air.”
“Hahaha….”
Kuli bangunan adalah pekerjaan yang tak bisa diandalkan tiap waktu. Bisa saja dalam sebulan tak ada yang mempekerjakannya. Maka biasanya Warso bekerja serabutan. Dan lagi-lagi serabutan pun tak setiap hari ada. Sementara Dimin lebih senior dalam status pengangguran. Namun tak terlalu memikirkan apa kata orang. Seringkali dia mengajaknya memancing di sungai yang memisahkan dua sawah. Terkadang ada beberapa pemancing lain juga di sana.
“Kau bawa rokoknya ya.”
“Tinggal sebatang.”
“Halah… kita bagi dua lah.” Dimin menyarani.
“Kau saja tak pernah bagi-bagi.”
“Tiga hari yang lalu kau kan habis kerja.”
Hidung Warso kembali mencium aroma tahi ayam. Tapi tak tahu itu di mana. Dia memeriksa telapak tangannya, sudah bersih. Kedua kakinya bersih. Pakaiannya juga bersih.
“Kenapa kau?” Dimin bertanya.
“Masih bau rupanya.”
“Mungkin masih ada yang tersisa di hidungmu.”
“Kau tak menciumnya?”
“Aku sedang pilek, hidungku mampet. Hari ini saja aku bernapas lewat mulut.”
Mereka berjalan melewati jalan setapak, melompati selokan dan akar-akar pohon. Baru sampai ke persawahan. Sandalnya mereka lepas dan diikat dengan tali, lalu dikalungkan ke leher. Tentu akan sulit melewati pematang sawah menggunakan sandal. Seekor katak sawah melompat ke air. Padi yang sudah tinggi menguning juga akan mempersulit untuk melewati pematang, karena banyak yang menunduk menutupi jalan pematang dan harus sambil disibak saat berjalan. Sementara daun-daunnya cukup bisa menggores kulit manusia dan akan terasa gatal-gatal.
Ada juga beberapa petak sawah yang tanaman padinya roboh sebelum siap panen. Meski hujan tadi malam tak terlalu lebat, tapi angin yang bertiup cukup kencang. Tentu petani akan rugi besar. Karena biasanya jika tidak segera dipanen, padi akan membusuk.
Dimin bernyanyi dengan nada sumbang yang keterlaluan sambil menyibak tanaman padi. Sampai pada pematang sawah yang terputus, dia melompat. “Hari yang berat ya,” ujar Dimin tiba-tiba membuka topik baru.
“Mungkin yang Kuasa ingin mengajarkan kita pentingnya bersyukur.” Warso menanggapi.
Sesuatu mungkin telah merasuki hati manusia bernama Dimin, sangat jarang dia membahas masalah yang serius. Pemuda yang lebih suka nasi Raskin daripada nasi dari beras baru hasil panen di kampung. Selera yang aneh namun benar adanya.
“Kalau ada kerjaan, ajaklah aku,” ujar Dimin.
“Kuli itu pekerjaan berat.”
“Nanti kalau kau tak ada kerjaan, kau yang kuajak nanti, Kita mancing lagi!” ujar Dimin. Warso tak menanggapi.
Warso masih mencium aroma tahi ayam. Bahkan sampai di lokasi mancing. Entah itu hanya sisa baunya saja yang masih menetap di hidungnya, atau cuma ingatan pikirannya saja tentang bau itu. dia pun tak tahu.
Masing-masing berada di posisinya. Warso duduk menggunakan sandal jepitnya sebagai alas, sementara Dimin mengambil tiga daun waru yang jatuh di tanah untuk sandaran duduk. Sedikit berjarak satu sama lain. Umpan sudah dipasang dan dicelupkan ke air. Warso sesekali bersiul sambil mengawasi Kumbul yang terapung di air. Jika Kumbul bergerak-gerak itu tandanya umpan ada yang makan.
Baru lima menit, Dimin berteriak kegirangan, ikan Betok meronta-ronta saat pancingan diangkat. Empat menit kemudian Dimin dapat lagi, kali ini cuma Betik, adiknya Betok. Lima menit kemudian Dimin dapat lagi, dia mulai berani meledek Warso. Tak lama kemudian, Warso juga dapat ikan Licing atau ikan Gabus yang masih kecil.
Beberapa kali mereka sempat berpindah posisi. Sementara bau tahi ayam itu sesekali ada dan menghilang, begitu seterusnya. Setelah dua jam lebih, mereka pulang. Langit mulai mendung bahkan gerimis. Dimin kembali bernyanyi dengan nada sumbang yang masih keterlaluan. Jika hasilnya ditimbang, jelas Dimin lebih banyak mendapat ikan.
“Mau kau apakan ikan itu?” tanya Warso.
“Aku jual,” jawab Dimin. “Aku akan tawarkan ke para tetangga,” katanya lagi.
Lalat-lalat hijau berdengungan dalam rombongan. Hidung Warso kembali mencium bau tahi ayam. Mungkin satu-satunya petunjuk untuk mengetahui di mana letak sumber bau itu adalah mengikuti lalat itu akan hinggap. Mula-mula beberapa lalat mengitari Warso, namun tak sempat hinggap. Beberapa terbang di belakang Dimin. Dan di sanalah letak tahi ayam itu. beberapa lalat menggerumut celana bagian belakang Dimin. Mungkin dia tak sengaja menduduki tahi ayam saat menertawai Warso sampai terduduk di tanah, saat Warso muntah-muntah di bawah pohon pisang. Kali ini, Warso menahan tawa mati-matian dan membiarkannya berkeliling menawarkan ikan ke para tetangganya.*
Suyat Aslah, penulis kelahiran Cilacap tahun 1995. Bukunya yang sudah terbit berjudul “Puspa” (Antologi cerpen, 2016) dan Sehelai Jiwa Sepi (Novel, 2018). Beberapa karyanya dimuat di beberapa media dan ada juga yang dipublikasikan dalam blog pribadinya: suyataslah.blogspot.com
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024