TANGIS FATAMORGANA
Oleh: Awalia Bawani
Mendung disertai semilir angin menambah kesan khidmat dalam kegiatan orientasi yang dilaksanakan oleh murid baru di SMA Aruna. Terlihat semua murid mengikuti masa orientasi dengan riang gembira. Tentu saja, siapa yang tidak bahagia telah di terima di SMA Aruna yang diimpikan hampir semua pelajar yang ada di kota itu. Bahkan ada juga pelajar dari kota lain yang ingin sekolah di sana. Lily adalah salah satu murid berprestasi yang di terima di SMA Aruna. Seorang gadis mungil yang memiliki paras menawan.
Setelah orientasi telah usai. Lily menjalani hari-harinya di sekolah dengan produktif dan selalu memancarkan aura positif kepada orang di sekitarnya. Seminggu sudah dia berada di SMA Aruna. Saat itu, dia sudah aktif dalam ekstrakurikuler jurnalistik. Lily mendapatkan tugas untuk menulis artikel. Dia mengerjakan artikelnya tersebut dengan sepenuh hati dan sangat teliti. Demi mendapatkan hasil yang memuaskan dan maksimal, sampai waktu sudah menunjukkan pulang pun dia tetap setia berada di depan laptop kesayangannya untuk mengerjakan tugasnya itu. Lily memilih untuk mengerjakan tugasnya itu di ruang kelasnya. Ruang kelas X MIPA 3, tepat berada di depan pohon besar seberang halaman sekolahnya.
Di tengah konsentrasi Lily pada layar komputernya, terdengar sayup-sayup rintihan orang meminta tolong. Jantung lily berdegup kencang. Dia tahu, tak ada seorang pun yang masih berada di sekolah, hanya dirinya saja yang tersisa. Anehnya lagi, suara itu tidak berasal dari kejauhan, tapi persis seperti dibisikkan langsung ke telinga Lily. Ah, dia mencoba tak menghiraukan.
"Tolong...tolong aku, manis," oh tidak, suara itu semakin jelas. Bulu kuduk Lily kompak berdiri, keringat bercucuran dari dahinya.
Kini, jam menunjukkan pukul 4 sore, namun pekerjaan di depannya tak kunjung usai. Berpacu dengan waktu, Lily segera mematikan layar laptopnya, dan segera bergegas keluar dengan menggendong tas ransel merah mudanya.
Setelah berhasil keluar dari kelas, lega sekali hati Lily. Dan kini, menyusuri lorong tua sendirian memang bukan keinginannya, namun dia harus bergegas melangkahkan kakinya agar segera sampai di gerbang utama. Wajar saja, bangunan sekolahnya merupakan bangunan dari zaman Belanda, yang membuat suasana semakin mencekam. Tak terasa, setelah melewati lorong yang panjang, sampai juga Lily di depan gerbang utama. Lily ingin segera pulang. DRRTTTT, ponsel Lily berbunyi. Ada pesan masuk dari ayahnya yang membuat matanya terbelalak. Apalagi ini? Belum lama dia lega karena terbebas dari gangguan di kelas, dan sekarang dia harus menunggu di sana sampai ayahnya selesai bekerja yang entah sampai kapan. Ingin rasanya segera memesan ojek online, tapi sejak di kelas, handphone nya sudah sekarat, pesan ayahnya merupakan pesan terakhir yang masuk di handphone nya dan sekarang handphone itu sudah benar benar mati.
Dengan pasrah, Lily menyandarkan tubuhnya pada kursi panjang yang ada di depan sekolahnya. Tak lama kemudian terdengar suara orang meminta tolong dengan begitu keras, berbeda dengan suara yang di dengarnya sewaktu di kelas tadi. Suara itu diiringi dengan dobrakan kencang dari pintu kelas yang berada di seberang lorong. Jauh memang, tapi suara itu dapat di dengar oleh Lily. Terlintas di pikiran Lily, mungkin saja ada anak yang diusili temannya hingga terkunci di dalam kelas. Tanpa pikir panjang dia segera berlari menuju sumber suara. Semakin Lily mendekat, suara yang timbul semakin samar-samar. Kini, teriakan minta tolong yang tadi Lily dengar berubah menjadi tangisan yang menyayat hati, yang akan membuat iba siapa saja yang mendengarnya. Lily tersadar, suara itu bukan suara perempuan, melainkan suara laki-laki. Saat Lily berada tepat di depan pintu, tiba tiba suara itu lenyap bagai di telan bumi.
"Siapa di dalam? apa ada yang terkunci di dalam sana? Tolong katakan sesuatu, aku akan menolongmu," panik Lily. Tak ada jawaban, hanya ada desiran angin yang berhembus begitu kencang. Dia berinisiatif untuk melihat keadaan di dalam kelas lewat kaca jendela. BRAAKK. Seketika dari balik kaca muncul tangan pucat dengan setengah mata berada tepat di depan wajah Lily. Tubuh Lily langsung jatuh membeku, wajahnya kini berubah pucat seperti tangan yang dia lihat tadi. Tak berselang lama, dengan keadaan yang masih tak keruan, Lily mendengar suara air mengalir. Saat mencari sumber suara, Lily menengok ada darah segar yang mengalir dari dalam kelas melalui bawah pintu yang terkunci rapat. Bersamaan dengan itu, pintu kamar mandi seberang yang berada di dekat kelas Lily terbanting, padahal tak ada seorang pun yang berada di kamar mandi. Dan Lily telah menyadari bahwa semua yang dialaminya sudah tidak beres. Dari mulai tangisan, darah, bantingan pintu, dia yakin itu semua berasal dari dimensi lain. Tak perlu waktu lama, dia langsung berlari meninggalkan kelas itu untuk keluar dari sekolah. Di tengah larinya itu, sepersekian detik ekor matanya menangkap sesosok perempuan berambut panjang menggantung dengan terbalik di pohon besar yang ada di halaman sekolahnya. Lidahnya menjulur panjang sambil menangis dan kemudian tertawa seram. Wajah sosok itu begitu mengerikan. Makhluk itu terus bergantian menangis dan tertawa sampai dia berkata,
"Kenapa kamu tidak menolongku, manis? Padahal aku sangat menantikan kedatanganmu," dilanjutkan dengan tawanya yang melengking.
Lagi-lagi suara yang didengarnya adalah suara laki-laki, bukan suara perempuan, meskipun yang dilihatnya adalah perempuan mengerikan berambut panjang. Terbirit-birit lah Lily menuju keluar gerbang. Saat berlari keluar gerbang, tiba-tiba ada sorot kendaraan yang menuju pada dirinya, Lily berteriak histeris sampai akhirnya dia tersentak bangun. Lily ketiduran di bangku depan sekolahnya. Ayahnya sedari tadi sudah membunyikan klakson mobilnya, namun putrinya tak kunjung bangun juga.
Esoknya, saat Lily duduk di bangkunya dan menunggu bel masuk berbunyi, pikirannya tak lepas dari mimpi yang mendatangi tidurnya kemarin. Beberapa menit kemudian, bel sekolah menyadarkan dirinya dari lamunannya itu. Dia berusaha untuk mengalihkan pikirannya dan menganggap bahwa mimpi itu hanyalah mimpi biasa.
Hari ini adalah hari Minggu. Namun, besok Lily akan menghadapi ujian. Jadi, dia tidak bisa untuk sekadar melepas penat dengan pergi keluar bersama temannya, dia harus belajar agar ujiannya berjalan lancar dan mendapatkan nilai yang maksimal seperti biasanya. Ditengah persiapannya untuk belajar, dia panik karena buku catatan fisikanya tidak ada. Dan saat itu juga dia teringat bahwa bukunya masih tertinggal di laci mejanya. Dengan segera dia menghubungi penjaga sekolah untuk meminta tolong agar beliau membukakan pintu kelasnya, pak Martin namanya. Pak Martin mengatakan bahwa dia sekarang sedang di luar kota, dan akan sampai di rumah pada sore hari. Akhirnya mereka membuat janji untuk datang ke sekolah tepat sebelum azan Magrib, meskipun seharusnya buku itu digunakan untuk belajar Lily sekarang. Lily tidak keberatan, walaupun sore, dia tetap bisa belajar dengan buku itu malam harinya.
Sekitar jam 5, Lily sudah sampai di sekolah. Pintu kelasnya sudah bisa dibuka, tapi dia tidak melihat keberadaan pak Martin. Entahlah, dia tak begitu mempedulikannya, mungkin saja pak Martin keluar sebentar untuk membeli sesuatu, yang terpenting buku catatannya bisa dia ambil. Sesaat setelah dia menutup pintu, dia melihat ada sesosok laki-laki seumurannya mengintip dari dinding pembatas kamar mandi di samping kelasnya. Wajah laki-laki itu pucat sekali. Tatapannya datar, wajahnya menunjukkan kesedihan yang teramat dalam. Kemudian, laki-laki itu seakan menarik kepalanya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Lily tidak merasa takut sedikitpun, dia malah masuk untuk mencari tahu siapa laki-laki tadi. Dan saat Lily memeriksa masuk, semua pintu kamar mandi terbuka, dan tidak ada siapa pun di dalamnya. Dalam kebingungannya, tiba-tiba kran dari wastafel depan kamar mandi menyala, dia pikir ada orang di depan dan dia langsung bergegas untuk melihatnya. Ternyata dia menemukan dirinya dalam kesendirian, tak ada siapapun. Tanpa mematikan kran itu terlebih dahulu, Lily berpikir bagaimana kran ini bisa terbuka dengan sendirinya, atau mungkin saja kran itu bocor. Saat akan mencoba menutupnya, tiba-tiba air yang keluar berubah warna menjadi pekat, karena penerangan yang sangat minim akibat keadaan sudah mulai gelap, jadi warna air itu tidak terlalu jelas. Namun, semakin dia perhatikan, ternyata yang keluar bukanlah air melainkan darah. Secepatnya Lily mematikan kran tersebut dan bergegas menuju motornya untuk pulang.
Saat Lily melewati ruang guru, dia mendengar suara orang berteriak dari dalam ruangan.
"Jangan bully Kinan, jangan bully Kinan," kalimat itu yang Lily dengarkan berulang kali.
Dan Lily kembali mendengar rintihan orang meminta tolong. Saat Lily ingin melihat siapa yang ada di dalam ruang guru, alangkah kagetnya, Lily melihat sesosok laki-laki dengan pawakan yang mengerikan merangkak sambil menggaruk-garuk lantai menuju dirinya. Bukan hanya satu, sosok itu berada mengelilingi Lily dan seperti ingin menerkamnya. Saat itu juga Lily tak sadarkan diri. Ketika Lily terbangun, pak Martin yang ada di sampingnya bertanya tentang apa yang baru saja dialami Lily. Dia juga meminta maaf karena sudah membuatnya menunggu. Kaget tak keruan Lily dibuatnya. Kalau memang pak Martin baru datang, lalu siapa yang sudah membuka pintu kelas dan apa yang sudah dialami oleh dirinya barusan.
Dengan rasa penasaran yang sudah memuncak. Lily menanyakan sesosok laki-laki yang telah mengganggunya akhir-akhir ini. Dia menanyakan hal itu kepada penjaga sekolah, karena beliau telah bekerja di sekolah ini berpuluh-puluh tahun.
"Maaf sebelumnya Pak, apa Bapak pernah mendengar suara tangisan atau orang yang meminta tolong di sekolah ini?"
Mendengar pertanyaan itu, penjaga sekolah menghela napas berat.
"Mbak sudah diganggu anak itu sejak kapan?" penjaga sekolah melontarkan pertanyaan yang membuat Lily heran, padahal dia belum menyebutkan sosok laki-laki itu.
"Anak itu, Pak? Siapa anak yang Bapak maksud?" tanya Lily tak sabar.
"Sekolah ini menyimpan sejarah yang kelam. Seorang siswa tewas mengenaskan di gudang akibat ulah teman-teman yang tidak menyukainya. Anak itu bernama Kinan." Jelas penjaga sekolah.
Seketika, Lily teringat dengan nama anak laki-laki itu. Saat di ruang guru, makhluk itu menyebut nama itu.
"Oiya Pak, tadi saya mendengar teriakan 'jangan bully Kinan, jangan bully Kinan' apakah anak itu selalu di bully oleh temannya?" introgasi Lily.
"Kinan, anak malang yang selalu menjadi tawanan teman-temannya. Entah apa salah anak itu, hingga temannya tega melakukan hal-hal buruk sampai hal yang begitu keji. Kinan adalah anak yang mengalami obesitas. Menurut temannya Kinan bukanlah seperti laki-laki pada umumnya karena memiliki kulit putih dan wajah manis bak perempuan. Dia sering di ejek dan dijahili oleh teman temannya. Sampai pada suatu hari, dia dijebak untuk masuk ke dalam gudang, dan tiba-tiba pintu terkunci dari luar. Tentu saja, itu adalah perbuatan temannya yang tak pantas disebut sebagai teman. Di dalam sana, oh nak Kinan, dia berusaha untuk keluar melalui jendela, jendela itu sangat tinggi, walau begitu dia tidak putus asa untuk berusaha. Namun naas, meja dan kursi yang sudah disusun untuk dinaikinya tak kuat menahan beban Kinan. Alhasil, Kinan bertahan dengan tangan yang sudah memegangi ventilasi, sampai akhirnya Kinan sudah tidak kuat dan terjatuh tepat mengenai bongkahan kayu tajam yang menusuk lehernya. Kinan tewas di tempat. Kini gudang itu sudah dibongkar, dan dialihfungsikan menjadi kebun," tak terasa air mata pak Martin telah membasahi pipinya sejak awal beliau bercerita.
Lily pun tak kuasa menahan tangis. Sungguh malang nasib yang dialami oleh Kinan. Seorang anak yang tidak bersalah, tewas secara mengenaskan akibat ulah temannya sendiri. Sungguh, pemikiran macam apa yang mendarah daging di negeri ini. Apa salahnya dengan orang yang memiliki penyakit obesitas, mereka juga tidak menginginkan itu. Dan paras yang katanya menyerupai perempuan, toh, itu adalah ciptaan Tuhan, dengan kita mengejek orang tersebut, sama saja kita mengejek apa yang telah Tuhan ciptakan. Berkecamuk sudah batin Lily.
Sejak saat itu, Lily aktif untuk menyuarakan tentang bahaya bullying di sekolahnya. Lily menghimbau kepada teman-temannya untuk menghindari bullying, karena dampak bullying sangatlah besar bagi korban. Mental korban bullying dapat terguncang dan menyebabkan korban mengalami depresi. Lily juga menghimbau kepada teman-temannya untuk selalu menghargai sesama. Kekurangan bukanlah suatu hal yang harus ditertawakan atau bahkan diolok-olok. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Alangkah baiknya, jikalau kita hidup dengan rukun dan damai, kita terima segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki orang lain. Toh, tidak ada kerugian yang ditimbulkan bagi kita atas kekurangan orang lain tersebut.
Setelah semua usaha yang telah dilakukan Lily, dia tidak pernah melihat sosok laki-laki itu muncul, dan tidak pernah terulang kembali kejadian-kejadian aneh yang pernah dialami Lily. Kini warga SMA Aruna hidup dengan damai.
Madiun, 2022
Awalia Bawani, siswi kelahiran Madiun. Seorang amatiran yang mencoba menyelami dunia fiksi. Merajut kata demi kata hingga membentuk jalinan cinta bagi tiap pembaca. Hatinya terlanjur jatuh pada deretan kata yang berpadu-padan. Kecintaannya pada lembaran-lembaran karya tulis yang membawa dirinya untuk terjun menggoreskan tinta-tinta kasih.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024