Balada Madkusin
Madkusin -seorang lansia tuna netra- hanya bisa berbaring di ranjang sebuah ruangan besar. Mencoba memaknai penggal demi penggal kisah hidupnya selama ini. Adakah sesuatu yang memang datang hanya untuk menguji? Ataukah semuanya sudah tertulis rapi dalam takdir Tuhan yang Maha Suci. Entahlah, semuanya seakan hadir dan menghilang dengan cara yang tak mudah dimengerti.
***
“Abah, Razak mau daftar kuliah di Semarang,”
“Sekolah itu ndak harus jauh. Di sini juga banyak tempat kuliah yang bagus kan?”
“Tapi bah, jurusan yang Razak incar hanya ada di Universitas di kota Semarang, di sini ndak ada.”
“Ndak usah banyak tingkah kamu!”
“Kuliah saja di sini! Atau kamu mau biayain kuliahmu sendiri?” lanjutnya sambil menghitung beberapa lembar rupiah yang ada di laci meja warungnya.
Anak sulung Madkusin itu pun tergeming di antara temaram pernyataan ayahnya. Ada yang mendesir tanpa kendali di sepanjang jalur nadi tubuhnya, namun ia biarkan mengalir begitu saja. Karena ia tahu ujung dari setiap gerak mengalir seperti itu akan bermuara di bagian mana.
Kali itu ia merasa seperti kayu yang dipahat lalu dijadikan pajangan di pojok ruang berdinding dingin. Bukan layaknya pajangan yang dikelilingi ingar bingar berpasang mata untuk menikmati kemolekan pahatannya. Lebih dari itu, ia telah lama sadar dan paham tentang kodrat kayu pahat yang disematkan padanya dalam kehidupan nyata.
“Umi tau sendiri kan watak suami Umi bagaimana?” ucap Razak suatu ketika.
“Umi akan coba bujuk Abah sekali lagi,”
“Ah, percuma saja! Umi masih ingat ketika Kang Kusnen mengeluh sakit dan memohon pada abah untuk memberikannya cuti?”
“Apa yang abah lakukan? Memalukan!” lanjut Razak.
***
Anak bungsu Haji Madkusin itu segera menghampiri ayahnya yang tengah berada di tempat yang tak seharusnya. Masih sangat lengang ketika suara denting jam dinding tiba-tiba mengagetkan dirinya. Setelahnya terdengar suara nyaring burung bermata tajam yang hanya keluar di malam hari untuk mencari makan, dan ternyata suara nyaring itu membuat nyalinya menciut. Tak berselang lama, tokek di dahan pohon mahoni di samping rumah ikut beradu dengan desir angin yang menusuk kulit. Tak berhenti di situ, embikan dan suara gaduh melenguh dari kandang yang berada di seberang halaman Haji Madkusin seolah memberi tahu perihal sesuatu.
“Umi! Kang Rahmat!”
Sekuat tenaga Sundari memapah tubuh Haji Madkusin lalu menyandarkannya di kaki kursi tak jauh dari tempatnya berada. Di sana, Sundari menggoyang-goyangkan tubuh laki-laki itu, mencubit, dan meremas telapak tangannya, berharap mendapat balas meskipun hanya sebatas bunyi napas. Berkali Sundari menuntun Haji Madkusin untuk dapat mengucap istighfar, namun segala usahanya tak bermuara di ujung kata.
Sundari tergeming menyaksikan tubuh ayahnya yang disergap kebekuan. Pikirannya menjelajah alam tak terjamah. Seolah halimun datang menghampiri lalu menyelimuti dirinya dengan deru tak beraturan. Samar terasa bahwa seseorang tengah memanggil nama ayahnya berkali-kali. Bahkan ia pun mendengar tangis dan jeritan yang terasa sangat nyata. Jemarinya menggenggam jemari ayahnya yang masih tak menunjukkan perkembangan apapun.
Di ranjang besar miliknya sendiri, Haji Madkusin terbaring lemah tanpa daya. Seakan semua kekuatan dan kekuasannya menghilang begitu saja. Bergerak pun ia tak kuasa, apalagi berteriak memanggil pekerja-pekerjanya dan mendikte satu demi satu kesalahan kamuflase yang tak dilakukan mereka. Jemari tangannya masih diliput kedinginan ketika istri dan anaknya tak henti memanggil dan meminta ia kembali pada kesadaran.
“Udin! Hari ini si Jalu ndak berangkat lagi? Kenapa dia?” tanya Haji Madkusin suatu ketika.
“Katanya masih ndak enak badan, juragan,”
“Alah! Alesan!”
“Rahmat, kenapa sapi-sapiku kurus begitu?” terlihat gumpalan memerah di permukaan mata Haji Madkusin.
“Kurus gimana Bah? Mereka sehat dan gemuk-gemuk kok,”
“Sehat? Gemuk? Ndak becus kamu!”
“Umi, mana si Razak, anakmu!”
“Sedang memberi makan kambing di kandang belakang rumah Bah,” jawab istri Madkusin.
“Ada apa si Bah?” lanjutnya.
“Keterlaluan dia! Dia udah ngambil beberapa telur di warung, apa dia sengaja mau bikin aku bangkrut?”
“Umi yang minta Razak untuk …”
“Razak!” sambil terus memanggil nama anaknya, Haji Madkusin pun pergi meninggalkan istrinya yang tengah menggeleng melihat kelakuan suaminya itu.
***
“Madkusin!” suara berat itu memanggil namaku kesekian kalinya.
“Siapa kamu? Mau apa kamu datang kemari?”
Pekikan itu menghampiriku lagi. Angin yang semula berembus pelan berubah menggertak bahkan menggoyahkan langkahku. Aku hampir tersungkur ke dalam lubang yang berada di sebelah tubuhku. Langkah demi langkah mulai goyah tak beraturan. Aku seperti burung yang tak mampu mengepak lagi. Tlah hilang semua dayaku di hadapan sosok bayangan menghitam itu.
Kini sekujur tubuhku berlumur keringat dingin sebesar bulir-bulir jagung. Aku terjebak dalam suasana dan tempat yang sama sekali belum pernah kujamah. Seumur hidup aku baru melihat tempat ini. Berkali aku mencoba memutar ingatanku, menerka tempat apa dan dimana aku berada sekarang ini namun ingatanku terlalu tumpul untuk melakukan hal itu.
Tiba-tiba saja tubuhku melesat ke dalam halimun yang pekat. Pandangan mataku kabur perlahan, tak dapat menerka apapun yang ada di hadapanku sekarang. Bau amis dan nyinyir seketika menusuk ujung hidungku. Samar terlihat olehku titik semburat dari kejauhan, menepis jalanan yang hendak kutempuh perlahan. Seseorang memanggilku kembali tanpa jeda. Kali ini suaranya hampir memecah gendang telingaku.
“Kau pantas dibawa kesini, Madkusin!” lanjutnya.
“Tempat apa ini? kenapa aku dibawa kemari? Apa salahku?”
“Hahaha…”
Di tengah kebingungan dan kepanikanku, muncul gelembung-gelembung cair beterbangan di sekelilingku. Aku berusaha menghalaunya namun bukannya menghilang justru gelembung yang jumlahnya tak terhitung itu semakin memperbanyak diri. Seolah mereka berkembang biak tak terkendali. Bau amis dan nyinyir itu kembali menyeruak.
Dari arah kanan aku melihat kedatangan seseorang. Aku berusaha menjangkaunya namun sia-sia belaka. Berkali-kali aku memanggilnya namun dia tak menoleh sedikitpun bahkan dia pergi menjauh dan meninggalkanku seorang diri.
Aku memberanikan diri menyusuri tempat ini, tanpa kawan. Langit pekat diliputi kilat cahaya segaris. Guruh pun bersahutan, meruntuhkan gendang telingaku. Secara tiba-tiba suara gemericik air mengibas di telingaku. Lambat laun kibasan gemericik air seolah menjadi anomali. Kulanjutkan langkah meskipun tergegap. Namun, aku tak dapat beranjak lagi ketika datang laksa air menerjang tempatku berada.
“Toloong! Tolong aku!”
Aku berusaha menghindari terjangan air yang berbondong itu. Suara gemuruh serta kilatan cahaya di atas kepalaku pun memacu laju kaki meskipun dayaku tlah habis dihunjam serentetan peristiwa yang kualami. Napasku tersengal, dadaku sesak tak keruan. Keringat dingin tak hentinya mengucur dari pori-pori kulitku. Ratusan kali aku bangkit dari jatuh dan terjerembab dalam lubang yang tiba-tiba menganga menelan tubuhku. Ratusan kali pula aku tersentak oleh suara berat yang menyadarkanku.
Aku merasakan sesuatu yang hangat meremas jemariku. Pun sepertinya kurasakan titik-titik bertempias di wajahku tanpa jeda. Samar terdengar olehku isak yang tak tertahan. Semakin nyaring kudengar, semakin teriris jiwa ini merasakan. Aku mencoba membuka mataku namun semuanya gelita. Duniaku kini gelita, temaram, dan pekat. Hanya itu penggalan yang kuingat, sampai tiba seseorang mendekapku perlahan dan membisikkan amanat.
“Astaghfirullah hal ‘adzim”
Ujung Gelita
3 Juli 2022
Rini Mei rmei2789@gmail.com
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024