Aled merebahkan diri di atas kasur. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Tetapi ia tidak gembira.
Bagaimana bisa bahagia? Berkali tulisannya belum juga menembus benteng redaksi media offline maupun online.
Lomba menulis yang diikutinya menyuguhkan kenyataan pahit yang sama. Ia harus bersaing dengan para senior, penulis berbakat lain yang sedemikian banyak demi meraih rupiah.
Uang itu untuk hidup, bukan hidup untuk uang. Sebait quote menghentak, mengingatkannya.
Tapi ... bagaimana ia akan bisa tenang ketika tuntutan kebutuhan hidup mendesak sementara menulis –yang diharap bisa menjadi sumber mata pencaharian— belum juga menampakkan hasil seperti yang diharapkan?
Aled memiringkan badan ke kanan. Duburnya nyeri. Ambeiennya kumat. “Pasti karena stres mengejar deadline lomba menulis,” pikirnya.
Langit mendung. Dari jendela, Aled bisa melihat tari dedaunan. Rasa mengantuk mulai datang.
“Bangun, Mbak. Hei, Mbak, cepat bangun.” Sebuah suara yang dikenal namun lama tidak terdengar itu membuatnya membuka mata.
“Bapak?! Kenapa baru datang sekarang? Aku kangen. Tapi, aku mengantuk, nih. Pantatku juga sakit.” Aled menyipit memandang sosok yang telah membangunkannya. Senyum manis menghias wajah Pak Kelik.
“Kowe kuwi kebanyakan duduk, Nduk (Kamu itu terlalu banyak duduk, Nduk). Ayo, ikut panen salak.”
Lelaki sepuh itu dengan semangat mengajak. Aled mengucek mata. Salak? Sejak kapan Bapak punya kebun salak?
“Kamu kebanyakan di kamar dan dekem (berdiam) di rumah saja kayak ayam sedang mengeram. Makane sekarang Bapak ajak jalan-jalan,” kata Pak Kelik. Gadis itu menguap.
“Jalan-jalan? Males, ah, Pak.” Kembali mulut Aled terbuka, menguap.
“Kowe ki, jian, males tenan (Kamu ini, beneran, malas sekali). Kene genggem tangan Bapak wae (Sini genggam tangan Bapak saja).” Pak Kelik mengulurkan tangan.
Setengah sadar, Aled menyambut uluran tangan itu. Sepersekian detik ia merasa seperti tertidur kemudian mendapati pipinya ditepuk.
“Jian, bocah iki, hobi, kok, turu tidur. Tangi, Nduk, wis tekan iki (Dasar, bocah ini, hobi, kok tidur. Bangun, Nduk, sudah sampai ini).”
Aled membuka mata. Seketika ia heran, di mana ia sekarang? Kenapa kamarnya berubah?
“Kowe iki, lelet memang, Mbak, Mbak. Ayo, cepetan tangi (Kamu ini, lambat memang, Mbak. Ayo, cepat bangun).” Pak Kelik menyuruh dengan nada lebih tegas.
Kali ini si bapak sudah berdiri di pintu sebuah rumah, dengan amben di ruang tamu, tempat Aled terbaring lesu.
“Monggo, Pak Kelik.” Suara seorang bapak terdengar.
“Monggo, Mbah Kromo, niki nggih badhe teng kebon (Iya, Mbah Kromo, ini juga akan ke kebun).”
Pak Kelik cekatan mengambil bakul wadah yang terbuat dari anyaman bambu juga lembaran bambu yang dianyam dalam bakul serta arit untuk mengambil salak dari pohon.
Rumah tempat Aled berada itu kecil dan sederhana. Meski begitu, halaman yang ada di depannya, tampak menyegarkan dan menyejukkan mata. Ada berbagai tanaman obat, bunga beraneka jenis dan tanaman hias lain berjejer rapi selain pohon salak yang ditanam di tepi-tepi halaman.
Setelah beberapa saat bersiap, Aled mengiringi langkah sang bapak pergi ke kebun salak. Ia juga membawa bakul dan lainnya di pelukan.
Gadis itu menguap lagi. Ia tersenyum malu melihat Pak Kelik menatap dengan sorot mata mencela.
Tidak berapa lama, Aled mulai menikmati perjalanan mereka. Begitu keluar dari rumah ber-amben tadi, mereka disambut jalan kecil dengan naungan pohon salak di kanan dan kiri.
Beberapa kali mereka berpapasan dengan orang-orang yang juga membawa bakul. Lelaki, perempuan, tua, muda, semua terlihat ramah, saling tersenyum dan menyapa.
Entah dari mana dan apa yang menjadi penyebabnya, tiba-tiba perasaan damai menyelimuti hati Aled.
“Ada kisah, salah satu pemuda desa ini pergi ke kota untuk mencari kerja yang menurutnya lebih baik. Ia pikir, bertanam salak tidak akan mencukupi. Pergilah ia keluar kota.” Pak Kelik mulai bercerita di sela memanen salak.
Aled tidak sempat bertanya itu kebun siapa dan mengapa mereka harus berada di sana. Ia repot membantu bapaknya menyerbuk bunga salak, mengambil buah dan memasukkannya ke bakul.
“Setelah beberapa lama di kota, ia baru sadar bahwa dari kecil sampai dewasa, salaklah yang telah menghidupinya. Anggapannya dulu yang sempat meremehkan peran salak, salah. Setelahnya, desa wisata ini mengada.” Sembari menutupi bunga yang sudah diserbuk dengan daun salak, Pak Kelik melanjutkan cerita.
“Kamu lihat orang-orang yang berjumpa dengan kita tadi?” tanya lelaki sepuh itu. Aled mengangguk.
“Mereka terlihat begitu damai karena telah yakin, tidak mungkin Allah zalim pada hamba-hamba-Nya. Ia yang menciptakan kita, Ia pula yang menjamin rezeki, kebutuhan hidup kita sehari-hari. Ini keyakinan yang penting dimiliki. Seorang hamba yang yakin rezekinya sudah ditanggung oleh tuannya, bagaimana ia akan cemas dan gelisah?” Tatapan mata intens Bapak membuat Aled jengah.
“Bekerja adalah soal lain. Ia hanya salah satu cara menjemput rezeki yang telah Allah beri. Apakah seorang ibu rumah tangga, anak-anak batita, harus bekerja agar mendapat rezeki?” Aled menggeleng.
“Berbuat baik dan memberi manfaatlah sesungguhnya yang harus menjadi niat dari setiap pekerjaan yang kita lakukan. Fokuslah melakukan yang terbaik setelahnya.” Pak Kelik mengusap keringat yang mulai membasahi dahi.
“Kenapa Bapak menjelaskan panjang dan lebar? Biasanya hanya diam, membuatku kelimpungan sendiri mencari jawaban.” Aled bertanya heran. Lelaki yang murah senyum itu menghela napas dalam-dalam.
“Penulis kisah ini maunya begitu. Ia memaksa karakterku, membuatnya berperilaku seperti dirinya yang suka ceramah itu.” Satu gerumbul salak dilempar begitu saja oleh Pak Kelik, masuk tepat ke dalam bakul.
Aled, tersenyum manis penuh kemenangan. Ia telah berhasil membuat lelaki pendiam itu berbicara panjang lebar. Salah satu mimpinya terwujud.
“Bangun, bangun! Mbak, bangun!” suara Ibu tiba-tiba menyentak kesadaran dan membangunkan Aled.
Di dekatnya layar laptop masih terbuka, mati namun tidak terbungkus tas bermotif batik seperti biasa. Beberapa buku, kertas dan pensil terserak menambah ketidakrapian tempat tidur merangkap tempat kerja Aled, sang penulis pemula.
Foto oleh Isabella Mendes: https://www.pexels.com/id-id/foto/cahaya-pria-merah-gelap-5389628/
Bionarasi:
Naledokin, a stupid writer dari Yogya, seorang naif yang bermimpi menjadikan menulis sebagai profesi
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313