Janturan ke Pulau Seberang |
: Dewata-Bali, MMXV |
Puisi: Dzikron Rachmadi
Kuhidu ambu kembang menguar
sari-sari kenang, menuntunku 'tuk
memulangkan rindu pada aroma
dupa di pulau seberang—telatah
di mana kami dahulu bersambang...
1.
Dari Tapal Kuda, surya senja purna
mengemasi rona mega-mega:
segala rasa telah menjelma renjana...
Di Ketapang—di sepanjang sempadan
—sengaja kami menggelar tualang.
Titian kelana seketika memanjang
menyaba Jimbar-Wana, kapal-kapal
membelah selat setelah puas
menyandar dada di dermaga.
Menuju di Gilimanuk, orang-orang
saling melempar derma ke segara,
seiring persada jiwa telanjur mendentur
sedalam kalam samudra pada mereka;
mata-mata pijar bersabung legam pekat
malam di kedalaman lautan: anak-anak
logam pelabuhan. Lantaran tiada nasib
hari baginya 'kan tandang, melainkan
sekadar memburu hidup dari koin-koin
logam yang tenggelam.
2.
Nyalang pandang melanglang tajam
pada telatah Jembrana, manakala mata
membuka tubuh jelita pulau Dewata...
Setiba di Tanah Lot, degub-degub indah
begitu mesra memaguti jantung; terangkai
debar dari debur pasang Dang Kahyangan.
Kemudian, dari benak karang-karang,
kronik sejarah itu kembali terngiang; ihwal
pandita kuna dari telatah Jawa nun aksa
kelana tuju telatah Dewata: Danghyang
Dwijendra—pencari cahaya suci tuju
telatah Beraban—yang menyadurkan
keabadian kisah selendang-ular-karang.
3.
Menjelang petang, mata terhidang oleh
drama bertajuk pertempuran, wiracarita
lama yang diusung menuju panggung
pementasan: Sendratari Ramayana; kisah
Rama merenggut kembali belahan-jiwa:
Sinta; yang terandam dalam cengkeraman
Rahwana. Berikut aksi sang Hanoman,
yang masyhur sebagai tokoh antar-zaman.
Pada hari yang mulai menyajikan gelita
legam, Kuta malam belum lagi terpejam.
Persimpangan kami kemudian bersama
pelancong asing di bahu jalanan,
berlalu-lalang, mendaur ulang keping
demi keping kesunyian malam; selaras
dengan pekik ingar kusir-kusir
memacu laju dokar-dokar.
4.
Di pagi yang wangi, memoar
kembali mengharumi istana prakarsa
trah putri Bali—Putra Sang Fajar—
Istana Tampaksiring-Gianyar. Setinggi
monumen Bajra Sandhi; harapan kami
menjulang mewujud persemaian tanda
patri—gelagat juang para pahlawan
mewaris janji kepada generasi.
Kemudian, perjalanan berangsur
menuai rasa dalam dada, perlahan
rihlah demi rihlah menyusun kenang
dari lambaian janur-janur, umbul-umbul,
penjor-penjor, serta bunga-bunga; yang
menyambut setia pelancong dunia.
Seharum pendar asap-asap dupa; yang
membumbungkan untaian-frasa-doa
memanjati langit-langit tua.
5.
Beranjak sedari pagi menggenangi
jalanan-jalanan desa dan kota,
tibalah sang surya mengalirkan suluh
ke pesisir Pandawa, seirama kami
membaur bersama debur penyisir
pesisir Sanur, yang membawa bentang
pesona cakrawala-buana menuju tepat
ke dalam intim-suam pelukan mata.
Pada rihlah-rihlah yang tengah melangkah;
kunjunglah tiba lembayung berjubah merah.
Searah sang surya yang telah memunguti
rona mega-mega kembali—yang begitu
purna meriasi langit-langit pasi. Seantara
senjakala mulai kuncup: kembali pulas
di pelupuk ufuk...
Betapa rindu di dada telah menyusur-
kelana dari Jawa menuju Dewata,
tercipta kenang begitu mengiang
meski tubuh mengeram di nun kejauhan...
(Jawa, 2021-2023)
BIODATA PENULIS
Dzikron Rachmadi, 'Pengarang dan Pembaca Buku' ini lahir dan berdomisili di Pare, Kabupaten Kediri. Pernah belajar di PAI FTIK IAIN Kediri. Dapat disapa melalui IG: @_dzikroch.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313