SELEPAS MEMBACA SUREL
oleh
Anjrah Lelono Broto
Ilustrasi: pixabay.com |
Seto masih diam mematung
di depan laptopnya. Berulang ia membaca surel dari sebuah klinik ternama di
London tersebut. Enggan rasanya untuk mempercayai isinya. Tapi isi surel secara
nyata mendeskripsikan bahwa dirinya positif terjangkit virus Corina.
Dua bulan lalu,
selepas dari tugas jurnalistik di perbatasan Laos. Seto merasakan adanya
perubahan pada tubuhnya. Ia merasa cepat lelah. Berat badannya turun drastis.
Buang air besar dengan frekuensi tinggi, meski tidak diikuti mulas perut.
Apa yang terjadi
di tubuhnya sebenarnya tidak terlalu mengganggu aktifitas keseharian Seto. Ia
masih mampu hunting foto peristiwa
hingga ke daerah-daerah. Ia juga masih betah berjam-jam di depan laptop untuk
memilih dan mengedit hasil jepretan paling ciamik
untuk media massa tempatnya mengais rejeki. Sekali waktu dirinya masih hadir di
beberapa kelas yang dihelat komunitas-komunitas fotografi. Namun, ketika sebulan
kemudian ia mendapati darah segar memenuhi lubang toilet ketika dirinya buang
air besar membuat Seto mulai dihempas rasa was-was.
Dua malam
berikutnya, ketika tengah memberikan kelas fotografi, Seto tiba-tiba bersin
keras sekali. Darah segar lantas berhamburan dari hidungnya. Beberapa perempuan
di antara Audience pun menjerit histeris.
Hingga kelas pun dibubarkan sebelum waktunya.
“Kakak pernah ke
Filiphina, Thailand, Laos, atau Vietnam?” tanya seorang panitia di koridor
ruangan.
“Laos,” bisik
Seto di antara bergulung tisu merah di tangannya.
“Jangan-jangan,
Kakak kena Corina,” kalimat-kalimat memanjang tiba-tiba mengular dari bibir
anak muda berkacamata minus. Dua temannya menganggukkan kepala. Dia lantas
menyebut tentang sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sebuah
virus yang persebarannya melalui makanan atau minuman, sebuah virus yang masuk
dalam lima besar penyebab kematian tertinggi dunia terutama di wilayah Asia
Tenggara. “Indonesia belum punya laboratorium yang dapat mendeteksi virus itu,
Kak! Darah Kakak harus diperiksa! Itu virus mematikan, Kakak!” lalu ia mundur selangkah dan beranjak
menjauh dengan wajah pasi. Lakuan yang sama pun dilakukan dua temannya.
Seorang sahabat
dunia maya dan sesama penggemar dunia fotografi menyarankannya sesegera mungkin
mengirimkan sampel darahnya ke sebuah laboratorim di kotanya. Menurutnya,
laboratorium tersebut merupakan langganan keluarga Buckingham hingga dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Menurutnya, sesegera mungkin mengirimkan sampel
darah adalah puncak prioritas bagi Seto sekarang ini.
“Kirim saja ke
alamatku, Friend. Biar aku yang
membawanya ke klinik. Boleh dibilang sekarang, aku setengah volunteer penanggulangan virus Corina di
London. Tapi jangan lupa, kau sendiri yang harus mengisi formnya via e-mail!”
“Berat rasanya
jika aku harus membayar dengan poundsterling,
Mac!” selorohnya via chatting.
Selepas emoticon tertawa, chat balasannya berisi penjelasan tentang
tidak adanya pungutan sepeser pun terhadap pemeriksaan sampel darah yang
disinyalir positif virus Corina. Ini bentuk tanggungjawab moral British Raya
pada kesehatan dunia, terutama di negara-negara berkembang, imbuhnya. “God save the queen,” ketik Seto
membalas.
Surel balasan
yang sekarang seakan menatapnya dengan penuh rasa kasihan adalah bagian dari
reaksi berantai rentetan peristiwa dua bulan ini. Seto merasa betul memang
layak untuk dikasihani mengingat bagian akhir dari surel tersebut menerangkan
bahwa belum ada jenis obat tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan mampu
membinasakan virus Corina, hingga sisa umur Seto pun divonis tinggal 11 x 24
jam dari tanggal pengiriman surel.
Meski terlihat
dahinya beberapa kali mengkerut dan tempo irama nafasnya mengalami penurunan,
tetapi Seto masih tampak tegar. Tak ada air mata jatuh di pipi fotografer yang
setia melajang hingga usia hampir kepala empat tersebut.
Hanya satu hal
yang membuatnya sedikit gelisah; “Aku bukan nabi. Aku juga bukan orang suci.
Mengapa Tuhan memberitahu kapan dan bagaimana kematianku?”
Kegelisahan
sepintal itu pun lantas terajut pada solilokui. Benak Seto pun digegas untuk
terbang ke masa lalu. Apa dirinya sudah melakukan hal-hal baik pada tahun-tahun
kehidupannya? Dosa apa saja yang dulu dan atau hingga sekarang masih
dilakukannya? Berapa dan siapa saja orang-orang yang telah dikecewakannya?
Berapa dan siapa saja yang masih berharap betul pada dirinya? Juga pada
karya-karyanya?
Pada dua per
tiga rajutan solilokui, tiba-tiba Seto melihat wajahnya di pantulan layar
laptop. Kerutan di sudut matanya ingatkan bahwa ia memang telah dimakan
mentah-mentah oleh usia. Semburat putih di rambutnya juga lantas memberi
peringatan bahwa ada banyak keinginannya yang belum terwujud. Sementara, kini
Seto telah tahu bahwa umurnya dalam hitungan jari.
“Apa yang bisa
seorang Seto lakukan dalam kurang dari 11 x 24 jam ke depan?” sebuah pertanyaan
melengking serupa jeritan menggaung dari palung terdalam benak manusia ini.
Ia lantas
menutup aplikasi surel. Beberapa aplikasi edit foto menyusul. Tinggal aplikasi Mp3 Player yang memperdengarkan
lagu-lagu evergreen. Foto dirinya
bersama seorang perempuan terpampang di layar laptop. Panjang nafas terhela
kemudian. Ah, Tetty.
Seto masih
memelihara ingatannya tentang sosok Tetty. Dulu mereka sempat memiliki
bertimbun angan-angan bersama. Dari membuat kafe tempat ngumpulnya pelaku dan
penggemar fotografi. Kafe yang diberi nama ‘Totty’, akronim dari nama mereka
berdua. Mungkin anak mereka juga akan diberi nama ‘Totty’, entah memakai
Francesco apa tidak.
Pada setiap
sabtu dan minggu, kafe itu bakal diisi performance
Tetty sendiri. Perempuan itu dianugerahi suara surga, merdu, dan soul-nya penuh di tiap buar
nada-nadanya. Apalagi ketika menyanyikan lagu-lagu lawas. Tetty juga piawai
bernyanyi langgam keroncong. Seto paling suka ketika Tetty menyanyikan lagu Bunga Anggrek.
Seto mengingat betul
perjalanan cintanya. Seutas perjalanan cinta yang dipaksa kandas bak lakon Siti
Nurbaya. Hanya saja tidak ada batang hidung Datuk Maringgih yang demikian
bernafsu pada diri Tetty. Kandasnya hubungan mereka justru karena kakek Tetty
pernah punya hubungan gelap dengan nenek Seto. Hubungan terlarang yang membuat
kedua orang tua mereka merasa sebagai saudara sekandung. Sehingga rencana
perkawinan mereka pun urung.
“Bapak takut ada
gen keluarga kami di darah,
Nak Seto,” kata-kata itu meluncur deras dari bibir orang tua Tetty kala itu. Ia
ingat betul, dirinya sontak berdiri sembari mengajak semuanya melakukan tes
DNA. Namun, ajakannya justru dianggap keluarga Tetty sebagai usaha membuka luka
lama. Sebuah alasan yang menurut Seto sangat dipaksakan ada. Herannya, orang
tua Seto sendiri mengamini begitu saja.
“Mengapa
orang-orang tua itu lebih peduli pada luka lama tanpa sudi melihat bahwa telah
lahir luka baru?” kutuk Seto sejak saat itu hingga kini.
“Aku harus
membunuh mereka! Aku harus menuntaskan sakit hati ini! Demi tutupi luka lama
mereka merasa memiliki saudara sekandung baru, sementara hati anak-anaknya
berserak dalam kepingan-kepingan. Sial!! Terkutuk kalian!!!” serapah mengalir
deras dari bibir.
Mendadak serasa
bulat sebuah hasrat di kepala Seto. Apalagi yang harus ditakuti? Toh, beberapa
hari lagi ia akan mati. Dibukanya kopor di rak terbawah almarinya. Sepucuk airsoft gun tergenggam erat kemudian.
Bayangan tubuh-tubuh mereka yang tersungkur usai satu-dua tembakan berkelebat.
Disusul jeritan demi jeritan dari anggota keluarga lainnya. Peduli amat! Mereka
juga tidak melakukan apa-apa ketika vonis pemutusan utas percintaannya dengan
Tetty dijatuhkan.
Ah, Tetty pasti
juga menangis. Perempuan itu mudah sekali menangis. Tapi, perempuan itu juga
mudah sekali melupakan semua yang ada di antara mereka. Tetty mudah sekali
menerima kehendak orang tuanya, bahkan kemudian beranak pinak dengan laki-laki
yang disodorkan bapaknya. Pun begitu, Seto tak mampu melihat -apalagi membuat-
Tetty menangis.
Selarik bayangan
membersit di benaknya kemudian; “Tetty juga harus mati. Bukankah Orang mati tak
bisa menangis?”
Cekatan tangan
Seto memasukkan butir-butir peluru ke magazen senjatanya. Tak berselang lama
dua kotak peluru airsoft gun telah
berpindah ke dalam beberapa magazen. Lantas, cekatan pula kedua tangan Seto
membongkar pistol glock miliknya.
Senjata itu sudah lama tak digunakan. Ia tak ingin senjatanya macet di tengah
aksi balas dendamnya. Lama absen dari agenda latihan bersama di klub tak
menghilangkan keterampilan tangan Seto.
Seto tiba-tiba
menghentikan gerakan-gerakan tangannya. “Mengapa aku bodoh sekali?!” Kepalanya
ditepuk-tepuk. Bagaimana dirinya lupa betapa airsoft gun hanya bisa membunuh orang jika benar-benar diarahkan
pada titik mematikan dari jarak dekat. Ditendangnya meja di depannya keras-keras.
Bagian-bagian pistol, sisa butiran peluru, dan beberapa magazen terberai ke
segala arah.
Ia lalu berdiri
dan melangkah kembali ke meja kerjanya. Tangan Seto menarik laci meja. Sebuah
kotak sebesar kamus Jhon Echols lantas digenggamnya. Diletakannya kotak
berwarna coklat tua itu di atas meja, sebuah pistol revolver mengkilap diusap-usapnya pelan. “Kalau dengan ini, dor sekali,
mati!” gumamnya di antara tawa kecil yang terdengar aneh.
Mata Seto
mendadak nanar ke sana kemari. Seakan ia mencari sesuatu. Sial! Ia ingat,
dirinya tak memiliki peluru untuk revolver
ini. Ia berteriak sekencang-kencangnya. Dipukul-pukulnya apa saja yang berdiri
di sekitarnya. Ditendangnya apa pun itu yang terjangkau tungkainya. Kamar
apartemen itu lalu berganti wajah, serupa kapal pecah, tanpa jangkar dan tanpa
layar.
Sepi kemudian
melangkah gontai hingga malam disusul pagi.
Suara perut yang
menuntut diisi bangunkan Seto dari lelap. Terhuyung ia melangkah ke dapur.
Beberapa tegukan air dari kulkas mendinginkan semuanya. Berangsur namun pasti,
kesadaran Seto utuh kembali. Ia lalu mengingat kembali tentang Laos, virus,
darah, surel, kandasnya cinta, dan keinginan membunuh. Ternyata 11 x 24 jam
usianya telah berkurang sehari.
Aroma omelet
yang memenuhi dapur menghadirkan kenangan akan rumah, orang tua, dan masa kecil
Seto. Hampir setiap pagi mendiang ibunya selalu menyediakan omelet untuk
sarapan pagi. Meski lalu harus berbagi dengan ketiga saudaranya, kala itu Seto
masih begitu bangga sebab teman-teman sekolahnya belum tentu mengkonsumsi telur
ayam hanya pada acara hajatan kerabat atau tetangga dekat.
Bergegas langkah
Seto menuju meja kerjanya. Ponsel android
yang menjadi targetnya. Pagi adalah waktu baik untuk menyapa bapaknya, ketiga
saudaranya, juga keponakan-keponakan. Juga waktu baik untuk pamit serta meminta
maaf. Sedemikian simpul di kepalanya.
“Kau tidur
nyenyak semalam, Friend? Apa kau
membaca surel dari klinik? Aku telah keliru mengirimkan sampel darahmu. I’m really sorry. Hari ini, aku baru
berangkat mengirimkan sampel darahmu ke klinik,” Seto membaca berkali-kali chatt dari Mac yang baru masuk setengah
jam lalu. Ia ingin sekali memaki sahabat bulenya itu. Ternyata target
pembunuhannya mungkin harus berganti pada fotografer di jantung British Raya
itu.
*****
Mojokerto, 2020-2023
Anjrah Lelono Broto, aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama Buku karyanya adalah Esem Ligan Randha Jombang (2010), Emak, Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak (2015), Nampan Pencakan (2017), Permintaan Hujan Jingga (2019), Kontra Diksi Laporan Terkini (2020), dan Garwaku Udan lan Anakku Mendung (2022). Terundang dalam agenda Kongres Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia III (2020). Karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA), dan Komite Sastra Dewan Kesenian Mojokerto (DKKM). FB: anjrahlelonobroto.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024