Rasa-rasanya aku sangat senang menulis sebuah cerita pendek dari peristiwa nyata. Terlebih peristiwa itu berawal dari pengalaman yang di mana tokohnya adalah aku sendiri. Sayangnya saat menulis, jari-jemariku belum pandai menari di atas papan ketik. Jadinya cerita itu tidak selesai dalam satu waktu. Cerita terakhir yang kutulis adalah tentang Gandi, ia datang saat aku sedang duduk menikmati secangkir kopi di ruang tamu pada sore hari. Dan cerita itu sampai sekarang belum selesai. Ceritanya itu begini:
"Kau tahu, mereka menginginkan kau tampil di acara mereka, Jo." Gandi langsung menyerahkan beberapa lembar kertas. Lembaran-lembaran kertas itu tidak membuatku penasaran. Aku justru lebih terfokus pada sosok Gandi yang napasnya naik-turun.
Aku tidak mengundangnya datang. Langkahnya yang terburu-buru membuatku selalu paham dengan tabiatnya, yang menyuruh sekarang, harus dilaksanakan sekarang. Kebiasaannya yang suka buru-buru pun, ia lakukan pada saat dirinya membuat puisi. Ia pernah mengikuti lomba puisi secara online yang informasinya didapat dariku. Pada waktu kuberitahukan informasi lomba tersebut, waktu deadline-nya masih seminggu lagi. Namun ia tidak langsung membuatnya. Malahan puisi itu ia buat pas menjelang deadline. Berbeda sekali dengan dirinya yang suka berkumpul dengan kawan-kawannya, kecintaannya terhadap puisi telah membuatnya dengan senang hati mengurung diri. Saat menulis, ia pasti akan menempelkan selembar kertas bertuliskan "jangan mengganggu, saya sedang berpikir" di pintu kamarnya. Agar selama ia menulis tidak ada yang nekat masuk. Bahkan ketika tamunya aku sekalipun, ia takkan menemuiku sampai puisinya selesai.
Gandi adalah salah satu anggota yang aktif di komunitas Perpusjal, komunitas literasi yang rutin melakukan pertemuan tiap malam Minggu di pinggir jalan. Dan sebulan sekali mereka mengadakan panggung kecil untuk sekadar latihan membaca puisi di depan umum. Dan pada hari-hari tertentu mereka akan tampil membaca puisi di sebuah kafe. Gandi juga pernah memamerkannya padaku saat ia tampil di kafe.
"Tampil apa? Mereka siapa yang kau maksud?" tanyaku penasaran.
"Komunitas Perpusjal," jawabnya singkat.
"Sebelum berlanjut, mungkin kita harus minum sesuatu," aku berinisiatif. "Teh atau ...."
"Kopi saja," katanya memotong. Aku setuju. Kopi sangat pas sebagai teman mengobrol.
Tepat setelah selesai kubuat, kutaruh kopi itu di meja. Gandi masih berdiri dengan pandangannya yang terfokus pada kalender yang tertempel di dinding seberangku. Sembari duduk, aku meraih kertas yang ia sodorkan tadi. "Dia yang Jarang Kelihatan", kubaca sebuah judul bercetak tebal yang berada paling atas sendiri. Lalu kulirik pengarangnya, aku sendiri.
"Apa sebabnya aku harus tampil? Aku kan bukan penyair seperti kalian," tanyaku, semakin penasaran.
"Malam Minggu kemarin salah satu dari mereka (anggota perpusjal) melihat karyamu dimuat di media online. Katanya cerpenmu bagus, dan ia ingin melihatmu membacakan cerpen itu di acara mereka," terang Gandi sembari jarinya menunjuk kertas yang kupegang. Saat ia bicara, kulihat sorot matanya penuh keyakinan. Aku tahu dari tatapannya itu, ia serius. Sudah lama ia ingin sekali aku masuk komunitas tersebut. Dengan alasan meramaikan komunitasnya, melestarikan literasi. Ia juga ingin ketika berangkat dan pulang bisa ada yang menemaninya. Dan selain itu, ia juga ingin aku punya aktivitas di luar rumah. Tetapi ajakannya selalu kutolak dengan beralasan sedang melanjutkan menulis cerpen yang belum selesai.
"Tidak mungkin," jawabku. Membuat Gandi menautkan kedua alisnya.
Untuk kesekian kalinya kutolak ajakannya. Karena selain cara menulisku yang kurang cepat, aku juga tergolong orang introver. Seorang introver membutuhkan waktu untuk berani bicara di depan banyak orang.
"Ayolah, sekali ini saja," bujuknya sekali lagi. Ia mengambil langkah dan membanting pantatnya di sofa kanan depanku.
"Begini, mengapa aku harus tampil? Dan lagi, bagaimana mungkin mereka menyuruhmu mengajakku yang bahkan mereka tidak mengenalku."
"Itu karena aku mengaku adalah temanmu."
"Seharusnya kau tidak perlu mengaku."
"Tidak mungkin."
"Mengapa tidak mungkin?"
"Karena di biodata narasimu, kau menuliskan bertempat tinggal di desa S. Desaku juga."
Seketika aku menangkupkan kedua tangan ke wajah. Betapa bodohnya diriku yang membuka jati diri supaya orang lain mengenalku lebih, tetapi begitu orang lain tahu siapa diriku, aku malah merasa dihantui penyesalan.
Aku membuka kedua tanganku, mendapati Gandi yang mencodongkan tubuhnya ke meja dan kedua tangannya bertangkupan di depan dada. Senyumannya merekah, giginya yang rapi tampak jelas. Sementara aku masih berpegang teguh pada pendirianku dengan isyarat gelengan kepala.
"Datang ya, nanti malam. Aku jamin kau akan merasakan kesenangan di sana. Seakan-akan kau punya rumah baru."
"Bagaimana bisa aku merasakan kesenangan, pasti di sana aku merasa canggung? Kau tahu sendiri aku ini introver."
"Kalau tidak dicoba mana tahu."
Aku menggeleng lagi. "Aku demam panggung. Kau juga tahu, 'kan, dulu waktu tampil di depan kelas, aku tidak bisa berkata-kata, gemetaran. Seakan-akan mulutku terkunci."
"Maka dari itu aku mengajakmu. Adanya aku di sana, kau tidak akan merasa berada di tempat asing."
"Bukan masalah mengajaknya," aku menatapnya tajam. "Kau mengenalku, begitu pun sebaliknya. Tetapi ini terlalu mendadak."
Lalu keheningan menyelimuti kami. Gandi bangkit dan mendekat ke kalender. Ada tarikan napas pada Gandi. Mungkin ia tersadar.
"Begini saja, kuberi waktu untuk belajar. Untuk acaranya, aku akan meminta pengurus komunitas Perpusjal agar acaranya ditunda minggu depan." Sekali lagi ia berjalan ke arahku. "Tenang saja ini acara latihan, panggungnya sederhana: hanya beralasan tikar di atas rumput, penontonnya kebanyakan komunitas Perpusjal sendiri. Hanya beberapa orang dari luar."
Aku tidak menjawabnya. Kualihkan pandanganku pada secangkir kopi yang tadi sedang kunikmati. Aku meraih gagang cangkir dan kusesap. Sudah dingin.
Gandi ikut menyesap kopinya. "Bagaimana kalau kau pilih sendiri cerpenmu, tidak harus ini. Yang terpenting cerpen itu karanganmu. Mereka hanya menginginkan kau tampil dan menceritakan isinya mengapa kau membuat dengan tema dan peristiwa tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah penyair, selebihnya adalah jurnalis. Mereka ingin belajar darimu. Bagaimana caranya bikin kalimat pembuka serta bagaimana caranya memasukan pesan dalam cerita."
Aku terus bergeming. Sedangkan dia terus membujukku agar datang nanti malam untuk sekadar berkenalan dengan anggota komunitas Perpusjal. Hal terakhir yang ia katakan sebelum pergi adalah agar aku peduli pada mereka, peduli pada generasi literasi, dan membagikan ilmu yang aku punya. Sementara diriku berada dalam keheningan dengan pandanganku yang terus tertuju pada kertas yang Gandi berikan. Aku terus berusaha memantapkan hati untuk berani datang. Pikiranku terus dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana caranya membuka obrolan dengan mereka, berdiri sendiri, menjadikan diri ini dipertontonkan orang-orang, dengan harapan mendapatkan ilmu dariku. Namun, sekeras apa pun aku berpikir, aku belum berhasil mendapatkan jawaban bagaimana mengumpulkan keberanian untuk datang. Dan karena itulah sampai sekarang pun aku tidak berani mengakhiri cerita ini.[]
Muhamad Subchi, berdomisili di Kebumen. Cerpennya pernah dimuat di Saluransebelas.com dan di Ghibahin.id. Selain suka menulis, ia juga suka menggambar. Instagram: @subuh_77, e-mail: subuhsubhi8@gmail.com, WhatsApp: 0895327352992.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313