Gagasan Aksara Persatuan
Oleh Anjrah
Lelono Broto
Ilustrasi aksara (sumber foto: www.wallpaperbetter.com) |
“Pemerintah akan melindungi Kebudayaan
Nasional, dan akan membantu berkembangnya Kebudayaan Nasional, tetapi engkau
pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan, dan
melindungi serta memperkembangkan Kebudayaan Nasional,”
(“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Sukarno, 1959)
Pada hari terakhir Kerapatan Besar (Kongres) Pemuda I, 30 April-2 Mei
1926, di Batavia. Nama ”bahasa Indonesia” untuk pertama kali disebut dan
diperdebatkan. Kemudian pada Sumpah Pemuda yang diproklamirkan pada tahun 1928
termaktub poin tentang Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Jika eksistensi bahasa Indonesia dihitung sejak 2 Mei 1926, berarti
usianya telah menginjak angka 88. Lalu, telahkah bahasa Indonesia menjadi
pemersatu bangsa?
Deutsch dalam artikel “The Trend
of European Nationalism: The Language Aspect” (1968) mencatat perkembangan
eksistensi bahasa-bahasa nasional di Eropa pada tahun 950 hanya berjumlah 6,
tahun 1250 menjadi 17, lalu 30 pada abad ke-19. Pada tahun 1937 tercatat 53 dan
terus meningkat hingga beberapa waktu kemudian. Bahasa persatuan menjadi
penting karena menurut Anderson (“Imagined
Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism”, 1991)
bangsa hanya komunitas bayangan yang warganya tidak akan pernah saling kenal,
saling jumpa, dan saling cakap (berkomunikasi, pen) apabila tidak ditemui satu
bahasa yang mampu menyambung gagasan satu sama lain. Mereka tersatukan sebagai
bangsa karena pikiran mereka menghidupi imajinasi tentang kesatuan. Di sinilah
urgensitas peran bahasa persatuan. Bahasa yang ditasbihkan sebagai bahasa
persatuan tidak hanya memiliki peran simbolik, tetapi terlebih secara mental,
yakni membangun kesadaran bersama di benak semua warga bangsa.
Pasca pencanangan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara
sebagaimana yang disampaikan dalam UUD 1945, bahasa Indonesia diajarkan secara
luas sehingga pemakainya berkembang pesat. Terlepas dari kualitas pemakaiannya,
kedudukannya sebagai bahasa persatuan semakin teguh.
Salah satu problem mendasar yang dihadapi bahasa Indonesia terletak pada
sifatnya yang terbuka. Di satu sisi, keterbukaan ini merupakan konsekuensi
logis akibat terbatasnya kosakata bahasa Indonesia. Di tahun 1953, Poerwadarminta
menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, di dalamnya hanya ada 23.000-an
kosakata. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan kamus serupa dengan
tambahan 1.000-an kosakata baru. Lonjakan jumlah kosakata tercatat pada
penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), dari 24.000-an menjadi
62.000-an kosakata. Jadi, sudah ada 590.000-an kosakata berbagai bidang ilmu
dan kata umum berjumlah 78.000-an kosakata.
Menggemuknya jumlah kosakata baru tersebut dilandasi motif sederhana
agar dapat mengikuti perkembangan komunikasi ilmu pengetahuan dan teknologi
dunia internasional.. Penulisan dan atau pengucapannya diselaraskan dengan
kaidah bahasa Indonesia, tetapi sosoknya sebagai kata bahasa asing masih jelas
karena berangkat dengan prinsip naturalisasi. Tak ayal jika Alif Danya Munsyi
(2003) menyatakan, 9 dari 10 kosakata bahasa Indonesia adalah kosakata asing.
Ketika Bahasa Indonesia dikaitkan dengan ragam bahasa daerah di berbagai
belahan geografis wilayah Indonesia, problematika kemarakan masuknya kosakata
asing yang masuk dapam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia diperparah dengan
adanya penggunaan aksara Hangeul
Korea Selatan dalam Bahasa Cia-Cia di Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Penggunaan
aksara Hangeul dalam komunikasi
pengguna Bahasa Cia-Cia di Kecamatan Pasarwajo, Kecamatan Sampolawa,
Kecamatan Batauga, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Lasalimu, dan Kecamatan
Binongko di Kabupaten Buton secara nyata merupakan bentuk campur tangan
pemerintah Korea Selatan dalam mengglobalisasikan salah satu produk
kebudayaannya (Radar Buton, 07/08/2008),
dalam konteks ini adalah aksara nasional yang berlaku di negara tersebut.
Padahal, jauh-jauh hari, menjawab pidato Sukarno, Achmad Narod telah
mengajukan gagasan mencanangkan pembentukan aksara dan angka kesatuan nasional
Indonesia pada 1962 (Historia,
02/10/2014). “Bahasa dan aksara adalah
seperti ruh dan jasad. Bahasa akan menjadi sangat miskin dengan tiada ada
aksara. Bahasa yang tidak beraksara, pada hakikatnya adalah seperti dialek,”
tulis Achmad Narod dalam majalah Penelitian Sedjarah, Juni 1962.
Achmad Narod lantas menjalin beberapa aksara Nusantara untuk menjadi
aksara kesatuan. Antara lain aksara Batak, Lampung, Sumatra, Bali, Sulawesi,
dan Nusa Tenggara.Tambahan lain berasal dari aksara Caka (Sunda, Jawa, dan
Madura) dan Latin.Dari penjalinan itu, dia mendapat 19 aksara. Susunan dan
bunyi aksara kesatuan meliputi “DJA-GA-PA-DA-WA-NG-SA-A-TJA-RA-NJA-TA-MA-NA-KA-LA-BA-HA-JA”.
Aksara Makassar, “Dja” mengawali abjad kesatuan ini. Pengakhirnya berasal
dari aksara Batak, “Ja” menempati posisi penting karena sebagai simbol pengikat
seluruh wilayah Indonesia.
Tapi gagasan Achmad Narod kemudian tersapu waktu tanpa reaksi positif,
baik dari kalangan linguis maupun birokrasi pemerintahan. Gagasan untuk
memperkenal-gunakan aksara kesatuan sebagai pendukung bahasa Indonesia
tenggelam tanpa upaya penelusuran apalagi pemerlanjutan. Kita seyogyanya banyak
belajar dari bangsa-bangsa lain –seperti Jepang, Tiongkok, Korea, Rusia, India,
dll- yang sanggup memelihara bahasa persatuannya dengan dukungan aksara
nasional. Mereka tidak hanya sukses mewariskan bahasa tersebut dari generasi ke
generasi secara internal, bahkan mereka memiliki peluang besar untuk mengglobalisasikan
bahasa mereka ke dunia internasional.
********
Catatan:
Tulisan pernah dimuat di rubrik Opini Harian Lampung Post edisi 18 November 2014
_______________
Anjrah Lelono Broto, aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa karya puisi, cerpen, dan cerkaknya telah dibukukan. Serius sedang membutuhkan bantuan, dan bersuka hati (sekali) jika ada yang sudi transfer. Kontak FB: anjrahlelonobroto, dan WA: 085854274197.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024