MERDEKA DARI KORUPSI
Oleh: Anjrah Lelono Broto
Kegembiraan anak-anak menyambut kemerdekaan (dok. detik.com) |
Meminjam istilah Bung Karno, sejatinya, bangsa kita sedang menghadapi neo-imperialisme dan neo-kolonialisme hasil muslihat para koruptor. Pergantian era Orde Baru ke Orde Reformasi ternyata menjadi peluang empuk bagi segelintir warga bangsa ini untuk mengembangkan kebanalan korupsinya. Republik ini seakan tak bisa lepas dari bayangan kebangkrutan, karena hampir seluruh kekayaan alam dan kekayaan yang dihimpun dari dana pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD, juga pinjaman luar negeri, menjadi mangsa koruptor. Korupsi menjadi pemandangan lazim di sumbu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dari pusat hingga ke daerah.
Di sinilah, kita seyogyanya saiyeg saeka praya (bersama mewujudkan) spirit nasionalisme yang berlandas pada kesadaran publik akan perlunya mencintai negerinya yang sedang terseok-seok oleh neo-impreialisme dan neo-kolonialisme yang bernama korupsi. Seperti kata Ernest Renan (1823-1892) dalam bukunya “Qu’est-ce qu’une Nation?” (1996:41-55), bahwa timbulnya nasionalisme didasarkan pada perasaan menderita bersama (having suffered together) sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan (genuine glory).
Dengan penuh kesadaran,
korupsi mestinya kita tempatkan menjadi salah satu sumber penderitaan bersama
bangsa ini. Karena korupsilah, bangsa ini tak juga lepas dari dari status "negara berkembang", hingga tak juga mampu mencukupi kebutuhan sandang,
pangan, papan, dan pekerjaan yang layak bagi warganya secara merata. Jangan biarkan
“pemberantasan korupsi” hanya menjadi slogan, judul proyek anggaran, dan atau topik-topik
diskusi semata. Akan tetapi, diterima begitu saja menjadi budaya.
Penulis pun sangat
berterima ketika seorang Mochtar Lubis dalam orasi budayanya ”Manusia Indonesia: Sebuah
Pertanggungjawaban” (06/04/77), mengatakan: “Mental manusia Indonesia
cenderung hipokrisi yang ciri utama suka berpura-pura, lain di muka, lain pula
di belakang, lain di kata lain pula di hati. Pendeknya manusia Indonesia adalah
manusia yang hobi berbohong dan menggadaikan keyakinan sebenarnya.”
Berterimakah kita dengan
pernyataan Mochtar Lubis ini? Bersediakah kita tidak merdeka dari belenggu
neo-imperialisme da neo-kolonialisme bernama korupsi? Jika tidak, dalam
momentum HUT Kemerdekaan RI ke-78 ini, selayaknya kita bersama meneriakan pekik: “Merdeka dari
Korupsi!!!”
Anjrah Lelono
Broto, aktif menulis esai,
cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku
antologi bersama Buku karyanya
adalah Esem Ligan Randha Jombang (2010), Emak, Sayak, Lan Hem
Kothak-Kothak (2015),
Nampan Pencakan (2017), Permintaan Hujan Jingga (2019), Kontra Diksi Laporan Terkini (2020), dan
Garwaku Udan lan Anakku Mendung (2022). Terundang
dalam agenda Kongres
Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan
Indonesia III (2020). Karya
naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih
nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon
DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA),
dan Komite Sastra Dewan Kesenian Mojokerto (DKKM). Kontak FB: anjrahlelonobroto, dan WA: 085854274197.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024