https://pixabay.com/id/photos/menunggu-jam-tangan-pria-janji-temu |
Menjadi pegawai negeri bukanlah impian Sastro selepas kuliah. Ia hanya ingin memiliki toko kelontong yang tiap hari dapat pemasukan. Ia tak mau menjadi orang gajian yang hanya menerima uang setiap awal bulan. Ia ingin setiap hari mendapat pemasukan alias tiap hari memegang uang pendapatan.
Bukan
hanya itu, bagi Sastro menjadi pegawai negeri adalah pekerjaan yang memalukan
di mata para tetangganya. banyak warga desanya menganggap bahwa pegawai negeri
biasanya malas-malasan dan tukang catut anggaran negara. Dan lagi, jika
berurusan dengan masyarakat selalu saja berbelit-belit dengan berbagai macam alasan.
Inilah alasan yang menguatkan Sastro tidak memilih pegawai negeri sebagai
cita-citanya.
Saat
pedaftaran CPNS waktu itu, ia hanya ingin membuktikan pada kawan-kawannya bahwa
untuk menjadi pegawai negeri semua orang bisa tanpa harus menyogok atau lewat
orang dalam. Ia masih yakin jika semua pegawai negeri hasil sogokan maka negeri
ini sudah pasti rusak sejak dulu. Itulah alasan ia pada akhirnya mendaftar menjadi
pegawai negeri.
Sudah
lebih dari lima belas tahun Sastro menjadi pegawai negeri. Namun gaya hidup
Sastro masih seperti dulu. Sering cangkruk
di warung kopi dengan hanya berkaos oblong
dan memakai sarung saja. Ia jarang terlihat necis kecuali saat bekerja karena ia harus memakai seragam. Hanya
saat sedang berseragam khaki itulah Sastro terlihat rapi dan necis.
“Sas,
semua teman seangkatanmu sudah pada punya rumah, bahkan mobil. Kamu kapan?”
itulah pertanyaan ibunya yang selama ini membuatnya gundah karena belum bisa
membuat ibunya bangga. Ia masih tinggal di rumah kontrakan dengan keluarganya. Ibunya
ingin Sastro tampil mewah, maklum sebagai wanita kampung, kemewahan sering dianggap sebagai ukuran sebuah kesuksesan.
Ia
memang akan terlihat sedih jika ibunya menanyakan perihal apa yang sudah ia
punya selama menjadi seorang pegawai
negeri. Ibunya memang seperti orang kampung kebanyakan, mereka menganggap
menjadi pegawai negeri adalah profesi
yang bergaji besar dan banyak uang. Anggapan bahwa pegawai negeri adalah
profesi yang bisa membikin kaya memang ada dasarnya. Kebanyakan pegawai punya
rumah dan tak jarang sering gonta-ganti mobil. Meskipun masih banyak juga yang
hidupnya pas-pasan.
Ya,
memang ketika Gus Dur jadi presiden, gaji pegawai negeri dinaikkan lebih dari
seratus persen. Yang dulunya gajinya hanya ratusan ribu rupiah mendadak jadi
bernilai jutaan rupiah. Namun itu hanya berlangsung tidak lama karena seminggu
kemudian harga barang-barang ikut naik dan gaji yang bernilai jutaaan itu pun bernilai sama seperti
semula.
Sebelum
harga-harga ikut naik, para pegawai
negeri itu merasa seperti tak bakal
kehabisan uang. Mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan bisa menyisihkan
gajinya sebagian untuk anggaran
bersenang-senang. Ketika gaya hidup yang sudah menjadi terbiasa
berfoya-foya itu tak bisa diubah lagi
tiba-tiba harga-harga ikut naik yang pada akhirnya membuat mereka kedodoran.
Sastro
termasuk yang beruntung, meski harga-harga naik di kemudian hari karena ia tak
terbiasa bergaya hidup mewah. Hal ini
karena ia menyadari tak bisa berpenampilan seperti orang kaya. Cara
berpakaiannya pun sering tidak sesuai mode terkini dan dalam hal kebutuhan
perut pun ia sudah cukup puas dengan warung sederhana dengan menu seperti
masakan ibunya sehari-hari.
Kadang-kadang
sastro sering menertawakan dirinya sendiri di depan cermin. Sambil menyesuaikan
seragam khakinya, ia sering bicara sendiri dalam hati. Ah seragam ini
sepertinya membuat orang lain silau. Memang, ketika sedang berseragam, ia
terlihat parlente dan seperti orang yang mempunyai banyak uang. Padahal ia hanya pegawai negeri biasa yang
melakukan pekerjaan biasa-biasa saja.
“Ketika
sedang berseragam begini banyak orang yang tertipu dengan penampilanku, Bu,”
ujarnya pada istrinya yang sedang mendapati dirinya ketika sedang bercermin
pada suatu pagi yang agak lembab karena gerimis turun semalaman.
Istri
yang telah menemaninya selama sepuluh tahun itu pun hanya tersenyum tipis.
Mukanya merah. Mungkin ia memaklumi ucapan suaminya. Hidup yang dijalaninya
selama ini seperti ancik-ancik eri, karena antara cukup dan kekurangan selalu
mengintai tiap hari. Meski demikian, Ita
pun merasa nyaman selama ini Sastro selalu mempunyai jalan keluar di luar
dugaan setiap kali rumah tangganya ada kesulitan.
Dalam
perjalanan ke kantornya sambil mengendarai motor bututnya, Sastro teringat kepada Dodi, teman seangkatannya, yang sehari-hari
menggunakan mobil ketika ke kantor. Gayanya cukup keren dengan perawakan yang
memang sangat gagah dan berwajah bagai artis sinetron. Dodi ini teman seangkatannya
ketika masuk sebagai pegawai negeri sipil, yang kebetulan ditempatkan di dinas
yang banyak mengelola anggaran negara dengan jumlah yang besar. Ia pun sering
memegang proyek pemerintah yang ada di tempatnya bekerja.
Sastro
sering heran dengan gaya hidup Dodi yang baginya terlalu boros karena gajinya
sama dengannya. Gaji yang hanya cukup untuk makan dan membayar uang rumah
kontrakan. Itu pun akan cukup sebulan jika salah satu anggota keluarganya tidak
sakit. Rumah Dodi ada di lingkungan perumahan mewah dan kendaraannya pun tiap
tahun selalu berganti modelnya.
Dodi
berbeda dengan Azis, meski mereka berdua satu kantor dan golongannya sama ,namun
Aziz lebih beruntung karena diambil sebagai menantu tuan tanah di desanya. Azis
banyak disokong oleh mertuanya karena istrinya adalah anak tunggal. Rumah dan
mobil yang ia pergunakan sekarang ini adalah hasil pemberian mertuanya.
Kalaupun terlihat boros, Azis masih punya cadangan harta yaitu tanah yang
diwarisi dari mertuanya.
Meski
sering berurusan dengan aparat hukum, Dodi selalu selamat dari tuduhan-tuduhan
yang ditujukan kepadanya. Berkali-kali dugaan korupsi selalu mengarah kepada
proyek yang ditanganinya. Entah karena kecurigaan karena gaya hidupnya yang
terlihat mewah atau memang proyeknya bermasalah, hampir tiap tahun Dodi mesti
keluar masuk ruang kejaksaan.
Bagi
Sastro kedua temannya ini adalah contoh yang menjadi cerminan dalam bersikap
dan bekerja. Sastro tak bisa meniru keduanya karena baginya itu sudah nasib
mereka. Kehidupan orang lain memang tak seperti yang kita sangka. Cara kerja
mungkin bisa sama tapi rejeki orang berbeda-beda, begitulah salah satu nasehat
ustadz, yang ia dapatkan di salah satu
khotbah jumat yang ia ikuti.
“Enak,
ya jadi pegawai negeri gajimu besar dan segala fasilitas ada,” kata Ardi, kawannya
yang seorang tukang kayu. Sastro hanya memberikan jawaban dengan senyuman singkat pada Ardi kawannya itu. Ardi
memang selama ini melihat kehidupan Sastro seperti jarang mengalami
kesulitan dalam hidupnya. Dengan tiga
anak yang masih sekolah, Sastro sepertinya tak pernah mengeluh atau berhutang
kepada tetangganya. Tiap pulang kerja Sastro pun masih ikut duduk- duduk
bersama di musala selepas Isya tanpa terlihat lelah di mata Ardi.
Pernah
suatu ketika Ardi menanyakan berapa gaji yang diperoleh Sastro dalam sebulan. “Gajiku jika dihitung harian,
besarannya sama dengan kebutuhan hidupku dengan cara paling sederhana.”
begitulah jawaban yang sering ia berikan. Banyak di antara temanya yang tidak
percaya. Bagi sastro keingintahuan temannya perihal jumlah gaji ini membuatnya
tidak nyaman. Namun, dengan terpaksa, hal itu dijawabnya agar temannya tahu bahwa kehidupan hanyalah sawang sinawang bagi orang lain.
Kita akan selalu melihat orang lain lebih daripada kita.
Bagi
Sastro cara hidup orang berbeda-beda dan masing-masing punya cara
sendiri-sendiri untuk menjalankan kehidupannya. Tak peduli orang itu pegawai
negeri, tukang kayu, guru atau profesi yang lainnya. Semua punya cara dan
keunikan masing-masing menyiasati persoalan kehidupannya.
Setiap
sore Ardi dan Sastro sering duduk-duduk di joglo milik pak Karto seorang bos
ikan di kampungnya. “Mengapa aku harus berkeluh kesah ke sana-ke mari. Bagiku
itu hanya akan membuat kalian menertawakan kemalanganku,” jawab Sastro ketika
Ardi penasaran dengan kehidupannya yang selalu penuh dengan senyum. Suasana di
joglo sore itu menjadi penuh tawa ketika Sastro memberikan jawaban pada Ardi.
“Masa,
sih pegawai negeri pernah kesulitan dalam hidupnya?” Tanya Karto sambil
menyuguhkan singkong goreng ke tengah mereka.
“Lha,
ini buktinya, Aku pun sudah cukup bahagia dengan singkong goreng ini. Asal
tubuh kita sehat apalagi yang kita keluhkan. Makan enak, tidur enak mau apalagi
coba?”
“Memang
hidup cuma urusan makan dan tidur saja, Sas.” Ardi menambahkan.
Sastro
sepertinya tertohok dengan ucapan Ardi, sambil merenung ia melanjutkan, “Ini
bukan khotbah, ya.. Hidup kita sebenarnya sudah beres, jika badan kita sehat.
Mau apa saja kita bisa mengupayakannya tanpa kesulitan. betul, kan?”
Karto
yang sejak tadi diam ikut menambahkan, “Kamu terlalu menyederhanakan hidup,
Sas. Bukankah orang punya banyak keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya.”
“Nah..ini….
kita harus bisa membedakan keinginan dan kebutuhan dengan saksama agar tak
ruwet dalam menyusuri kehidupan,” Sastro menegaskan.
Sambil
memulai mencicipi singkong goreng suguhan Karto, mereka yang hadir di sana
melanjutkan obrolannya. Bagi teman-temanya, cara berpikir sastro terlalu
sederhana. Mana mungkin jika hidup hanya diukur cuma dengan sehatnya tubuh. Dan
mereka masih tidak bisa menerima dengan alasan itu.
AGUS BUCHORI
Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Bisa dihubungi di agusbuchori@gmail.com
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024