Bunga Gugur saat Senja
Oleh:
Miftahul Jannah
Bumi rindu memeluknya,
mendekapnya dalam buaian kesakitan
Langit menaungi jiwa yang layu,
awangan sendu memayungi tandu
Semilir angin hiruk-pikuk menanti
Rembulan pun merayu
Rebahlah di pelukan Tuhan-mu
Bumi rindu mengapit jiwamu
Wahai sang bunga
Engkau gugur di kala senja
Tak pelak kau mengira itu adalah sangkala
Pun lelaplah hingga fajar tiba
Sebentar lagi
Musim gugur membuat bunga terbujur
Kelopaknya mekar bak saga selepas Asar
Lalu jatuh diterpa badai besar
Pada hari sang bunga gugur
Aroma anyir berselimut merah
Hamparannya bak permadani Persia yang
melegenda
Kala azan berkumandang, selesai sudah
perjuangan
Dunia sangatlah indah
Menunggu hari berlaju
Menunggu ajalnya dalam ingar-
bingar waktu
Ketika musim gugur berlalu,
meninggalkan
warna di ujung sepatu
Pun bunga gugur tersiksa
Menunggu keadilan bagi sang jiwa lara
Jika keadilan menampakkan taringnya,
suara siapa yang terperangkap di sangkar
emas itu
Tuhanku! Masih adakah surga saat fajar
berganti
Jiwa sang bunga kesakitan, menunggu pintu
surga
terbuka
Bunga gugur mencari tempat untuk pulang
Samudera luas bukan tempat untuk
bertandang
Sang bunga akhirnya menangis darah,
sungguh tak berguna menangisi susu
tumpah
Sudah cukup kekejian!
Tuhan! Obornya telah padam, indra bunga
telah pecah, jiwanya tercerai-berai
Tanah ini bukan lagi milik kita
Mereka lalu berkata:
"Saatnya pulang! Telah sampai pada
pemberhentian!"
Dermaga indah adalah bersama-Nya di
keabadian
Landeng, 15 Oktober 2023
Anak Menangis
Oleh:
Miftahul Jannah
Dentuman membelah bumi di Timur,
menyisakan mayat-mayat terbujur
Rumah tempat berlindung sirna, anak-anak
terkubur
di bawah lumpur
Mereka bertanya-tanya, apakah ini hidup
manusia?
Lantas mengapa kami dibantai bak rumput
semak
Sejauh mata memandang, aku melihat
hamparan neraka
bumi
Anak-anak berlarian mengecat dinding bata
Mengubah dinding berselimut merah, aku
kelimpungan
sejenak
Dari mana cat merah ini berasal?
Bapa menggendong anak, bayi kecil nan
mungil kaku
Ibu membelah perutnya, memaksa benih
melihat indahnya
dunia
Ketika sang benih dipaksa tumbuh, tanpa
air, tanpa cahaya
Secepat ia tumbuh, secepat ia layu, lalu
mati!
Saat benih mati, Tuhan menabur lebih
banyak benih-benih baru
Tumbuh semerbak, menjulang tinggi ke
angkasa
Sampai hari ini, pengecut itu memotong
cabang, akar, hingga ranting-ranting
Tanpa ampun! Membakar dan terus
membakar!
Bahkan benih yang hendak melihat dunia,
tak luput dari jarahan
Amarahku menabrak langit, melihat benih-
benih menangis
Mereka kesakitan, mereka terluka,
tubuhnya terkoyak
Wahai pemimipin! Sudah cukup!
Kapan pembantaian ini berakhir?
Lhoksukon, 9 November 2023
Tanah Tuhan
Oleh: Miftahul Jannah
Langkahnya bagaikan riak yang menyebar
di perairan tenang
Kau bersimpuh di tanah Tuhan menanti ajal
datang
Ada yang rela terbentang di bawah bumi
Tuhan
Ada juga yang meraung-raung hingga pecah
gendangnya
Meratap kepada Tuhan agar tidak
menodongnya hingga ke inti bumi
Sungguh Engkau tahu apa yang tidak kutahu
Engkau melihat apa yang tidak bisa kulihat
Lalu, mengapa tangan itu sangat panjang?
Menjangkau membelah angkasa
Merampas yang bukan hak
Dan mengatakan dengan lantang secara
mutlak
Tak ada satu jiwa pun melalak, atau kalian
mati ditembak
Selepas kekejian nyata, kau terbelalak.
Benih milik siapa ini?
Kau tumbuh dari tanah hingga kembali
tanah
Tak pernah ada yang tahu, umurnya hanya
sepanjang bici kacang tanah.
Sungguh disayangkan!
Gadis-gadis merindukan tanah Tuhan.
Hingga membuat si laknat bertanya-tanya
Anak kecil, kau tak takut dipenggal?
Sungguh keburukan yang merusak!
Sepanjang masa, tanah Tuhan dibasahi
hujan merah
Wahai negeri yang tanahnya dijarah
Darahnya diperas bak sapi perah
Aku melihatmu menangis pasrah
Pada akhirnya, mereka terkesima lalu
berucap
Kalian tidak diterima di tanah Tuhan ini
Tanah suci
Tanah yang dinanti
Milik kami!
Lhoksukon, 9 November 2023
Stasiun Terakhir
Oleh:
Miftahul Jannah
Menenun asa di batas kota ini, peluh
berderai menggelitik wajah
Pemberhentian terakhir mengharu biru,
telah sampai
waktunya
Penumpang berdesakan di pintu stasiun
kereta
Deretan kereta satu tujuan berhenti di
stasiun yang
sama
Ada yang naik tanpa tangan, turun
bertubuh lengkap
Ada yang tanpa kaki, kini melompat dalam
sekejap
Ada yang bertubuh hancur, kini turun dari
kereta dengan semringah
Wajahnya berseri-seri
Wanginya bak minyak kasturi
Kepulangannya disambut pemilik bumi
Dinanti sang bidadari
Anak-anak berlarian kesana kemari.
Ah, betapa membuat iri!
Lhoksukon, 9 November 2023
Miftahul Jannah merupakan alumni dari
IAIN Lhokseumawe yang saat sedang
menempuh pendidikan PPG Prajabatan di
UBBG Banda Aceh. Gilhan merupakan nama
pena yang penulis gunakan ketika menulis
fiksi. Novel yang sudah pernah penulis
terbitkan yaitu "Asih" dan berbagai antologi
lainnya.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313