Cerpen Fileski
[Pernah dimuat Jawa Pos, Radar Madiun 28 Desember 2023]
Di bawah pohon trembesi yang rindang. Udara sejuk, suasana sekolah mulai sepi. Para siswa tidak masuk sekolah karena hari ini adalah hari penerimaan rapor kenaikan kelas. Usai melayani para wali murid yang menanyakan tentang anak-anaknya. Cukup menguras kandungan air dalam tubuhnya, tenggorokan kering. Bersandar di bangku taman sekolah, sambil meneguk segelas es teh. Semilir angin yang memetik dedaunan kering, semakin menambah syahdu waktu siang yang santai.
Namanya Khairul, seorang guru pengajar mata pelajaran Sejarah. Layaknya seorang filsuf, di sela-sela waktu luang selalu ia habiskan dengan merenung. Sebagai seorang guru sejarah, ia pun tak yakin dengan kebenaran sejarah. Dalam pikirannya, sejarah itu diciptakan oleh pemenang. Apabila pemenangnya berbeda, maka akan berbeda pula jalan ceritanya.
Imajinasinya itu yang membuat ia jadi orang yang kreatif, selalu banyak ide, bahkan ada yang bilang, seharusnya ia jadi guru seni, bukan guru sejarah. Orang sejarah kok tidak percaya sejarah. Buku-buku pelajaran koleksi perpustakaan, selalu ia bawa dalam tasnya setiap kali ia mengajar. Namun tak pernah ia buka sebagai bahan pembelajaran. Ia lebih nyaman mengajar dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan. Mengajak siswanya untuk berfikir. Berdiskusi dan bahkan debat sampai tak terasa jam pelajaran berlalu. Ia lebih nyaman mengajar dengan cara itu.
Berbagai sejarah, mulai dari sejarah nasional hingga internasional, renaissance, yunani, romawi, mesopotamia, dan segala sejarah peradaban dunia, sudah ia pahami di luar kepala. Tak heran jika ia sering diundang di berbagai acara, sebagai pembicara. Siapa yang tak kenal dengan Khairul Huda, seorang guru luar biasa, nyentrik, dan lebih terkesan seorang budayawan daripada seorang pengajar mata pelajaran.
Guru hari ini tak seperti dulu. Guru hari ini dituntut untuk rajin mengerjakan aplikasi. Digitalisasi di dunia pendidikan, semenjak pandemi, telah banyak mengubah wajah sistem pendidikan di negeri ini. Ditambah lagi punya menteri yang sukses dengan bisnis berbasis aplikasi. Seolah keberhasilan suksesnya seorang guru hari ini diukur dari seberapa banyak tugas yang bisa diselesaikan dari mengerjakan aplikasi. Guru yang tak manut sistem yang begini, semacam Khairul, tentu tak masuk hitungan guru berprestasi, ya karena malas membuka aplikasi.
Jika diamati, cara mengajar Khairul sudah mencapai esensi pembelajaran yang berdiferensiasi. Siswa dengan berbagai karakter dan beragam minat, bisa ia tata sedemikian rupa sehingga bisa memahami pelajaran yang ia berikan, dengan cara belajarnya masing-masing. Membuat siswa bisa berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi, dan komunikatif, menjadi hal yang tak pernah ia lupakan. Karena dengan 4C itu, menjadikan kelas terasa seru.
Bukan tantangan kehidupan namanya jika tak ada pro dan kontra. Ada seorang temannya, guru biologi bernama bu Afida. Orangnya pendiam, hanya bicara seperlunya. Kalau sama murid ia sangat saklek. Ketika ulangan bersama, ada kedapatan muridnya mencontek, langsung ia coret di tempat itu juga. Melihat itu, Khairul yang seorang guru berbasis humaniora, menganggap hal demikian sangat berlebihan. Kenapa tidak diambil saja lembar jawabannya, daripada dicoret ditempat. Bisa jadi anak itu akan depresi, dan seumur hidupnya merasa dipermalukan, bahkan akan trauma dengan pelajaran itu, berdampak menurunkan motivasi belajarnya.
Memang setiap guru punya berbagai cara untuk mendidik siswanya, sesuai pengalamannya ketika ia menjadi siswa. Semua punya tujuan mulia, untuk mendidik para siswanya agar menjadi orang yang berguna di masa depannya.
Bu Afida yang banyak diam secara sosial, tapi sangat aktif dalam mengerjakan aplikasi. Sepulang mengajar, ia habiskan waktunya untuk mempelajari berbagai tugas yang ada di aplikasi. Sehingga telah banyak sertifikat yang didapatkan. Bisa dikatakan ia sebagai guru teladan, karena telah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai tantangan, dari aplikasi pembelajaran yang direkomendasikan kementerian pendidikan.
Benarkah bu Afida adalah guru teladan? begitukah seorang guru masa depan, yang sibuk mengerjakan aplikasi, hingga lupa realitas kehidupan. Aksi nyata yang ia buat berupa karangan yang diposting dalam unggahan, sambil menunggu balasan untuk mendapat sertifikat penghargaan. Benarkah semua guru harus demikian, yang asik sendiri dengan laptop di tangan, lupa di luar sana ada realitas yang penuh tantangan, menghadapi kenyataan, berbagai kesulitan yang harus dipecahkan dalam kehidupan. Tak cukup hanya puas dapat penghargaan dari hasil berkas laporan-laporan. Tak heran kalau suaminya ngajak pegatan, tempo lalu suaminya datang menghadap kepala sekolah untuk mengajukan gugatan. Perceraian tak terhindarkan, dengan alasan suaminya tak pernah mendapat sentuhan. Sebab bu Afida selalu sibuk kegiatan, baik di rumah dan di sekolahan. Tak ada waktu untuk sang lelaki kesayangan.
Ada lagi guru lain yang bernama pak Putra. Seorang asesor, yang dulunya banyak dikenal karena karya inovatifnya. Kini ia sering membimbing anak-anak yang suka menulis karya ilmiah. Totalitasnya dalam karya ilmiah memang sangat luar biasa. Ia merasa sebagai orang yang bertanggung jawab jika siswa-siswi di sekolah ini tidak punya karakter berfikir ilmiah. Berbagai lomba yang diikuti siswa, sering dimenangkan berkat bimbingannya.
Sering menang dapat juara, membuat pak Putra menjadi jumawa. Seolah capaian keberhasilan seorang guru adalah ketika menang lomba. Yang tidak pernah membimbing siswa hingga sampai menang lomba, dianggap guru yang tidak digdaya. Padahal tugas guru bukan hanya membuat siswa menang lomba, ada banyak tugas mulia di pundaknya. Membuat siswa berkarakter dan berbudi pekerti luhur, justru itu yang terpenting dari semuanya. Percuma bisa mencetak siswa yang brilian, tapi ujungnya menyusahkan. Jadi koruptor misalnya.
Yang terakhir, pak Ridwan penjaga perpustakaan. Sekolah ini belum mempunyai pustakawan. Sehingga ilmu dalam menata buku dan ruangan masih belum sesuai harapan. Namun apa yang dilakukan pak Ridwan sangat membantu para siswa dan guru yang membaca di perpustakaan. Ruangan bersih, suasana tenang, dan selalu rajin menutup pintu jika ada siswa yang kelupaan, agar dinginnya AC tetap menyejukkan ruangan.
Tak segan pak Ridwan menegur siswa yang hanya datang ke perpustakaan untuk sekedar bikin keributan. Karena mereka datang hanya untuk mendinginkan badan. Bukan untuk mencari buku bacaan. Ada satu keistimewaan pak Ridwan, yang tidak banyak orang tau. Wajar jika banyak yang tidak tahu, karena memang ia orang yang pendiam. Tidak bisa kubayangkan jika ia tipe orang yang banyak bicara, pasti perpustakaan hanya jadi tempat bergosip ria. Satu bakatnya yang sempat membuatku terkejut ketika pertama kali tau. Ia bisa bicara dengan semut. Heran kan, aku sampai sekarang masih heran. Ia lebih cocok punya nama Sulaiman, bukan Ridwan.
JIka dibandingkan dengan pak Khairul Huda, pak Putra dan bu Afrida. Seakan pak Ridwan tak ada apa apanya dan tak akan kelihatan. Siapa yang bakal tau dia, hanya seorang penjaga perpustakaan yang lokasinya di ujung belakang. Tak pernah terlihat di acara seminar atau maju ke podium menerima penghargaan. Tapi andaikan sekolah ini tidak ada pak Ridwan, mungkin akan hancur berantakan. Mungkin pendapatku terlalu berlebihan, tapi ini bukan sekedar gurauan.
Dulu sewaktu aku masih duduk di bangku kelas 10. Pernah sekolah ini diserbu pasukan semut. Mungkin ribuah, eh ratusan ribu, atau mungkin jutaan. Saking banyaknya semut, memakan apa saja yang bisa dimakan. Pun taringnya bukan seperti semut biasa, kekuatannya bisa merobek bungkus plastik. Sehingga ketika malam tiba, terdengar suara berisik dan paginya jajanan di kantin bisa ludes tak tersisa.
Pondasi bangunan sekolah juga sempat dibuat roboh oleh pasukan semut itu. Para semut itu membuat koloni di dalam tanah, dan menggalinya untuk rumah. Membuat ada rongga di bawahnya dan bangunan di atasnya menjadi kehilangan penyangga. Hanya karena semut, semua panik, porak poranda.
Untunglah ada pak Ridwan, yang bisa berbicara dengan pasukan semut. Setelah bernegosiasi dengan ratu semut, ada satu kesepakatan. Para semut tidak akan lagi merusak bangunan dan menjarah makanan, dengan syarat.
Pertama, ratu semut minta agar orang-orang yang datang di perpustakaan hanya untuk membaca, tanpa bicara, apa lagi asik bergosip ria. Kedua tidak ada lagi yang lempar batu sembunyi tangan, menyalahkan atau melemparkan kesalahannya ke orang lain. Ketiga, tidak ada fitnah untuk menjatuhkan sesama rekan, bersaing secara sportif, iklim kerja yang jujur dan tanpa sikut-sikutan untuk mendapatkan jabatan. Keempat, tidak ada yang merasa paling hebat atas sebuah pencapaian, semua berkontribusi untuk kemajuan dengan berbagai potensi keberagaman, guru bekerja untuk kemanusiaan, bukan robot yang tersistem untuk mendidik siswa jadi robot-robot budak zaman. Apa Gunanya jadi manusia jika kehilangan kemanusiaan. Manusia dengan segala ragam pemikiran dan kebolehan, semua sama dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah banyaknya kebaikan yang telah dilakukan, menjadi catatan amal perbuatan. Sedangkan kesombongan hanya jadi musibah yang menjerumuskan ke dalam kubang kenistaan.
Begitulah pesan dari Ratu Semut, telah disampaikan pak Ridwan kepada Kepala sekolah. Semenjak itu para koloni semut tak pernah lagi bikin ulah. (*)
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024