Dimuat koran Sinar Indonesia Baru, 18 Februari 2024.
Cerpen Walidha Tanjung (Fileski)
Hujan rintik membasahi setiap helai daun yang terpapar terik dan debu. Seperti doa-doa yang membasuh jiwa manusia, mensucikannya dari noda-noda kehidupan. Di kedai ini, aku bertemankan secangkir kopi, menghangatkan ujung sore yang gerimis. Sudah pukul setengah lima. Gerimis belum juga reda, aku masih termenung menunggu ia datang. Ia yang mengisi hari-hariku yang sepi dengan diskusi. Ia yang selalu tampak bersemangat dan ceria meski jalan hidup tak selalu landai adanya.
Ia anakku, bernama Fara, satu-satunya yang lahir dari rahimku. Perempuan tangguh yang tumbuh dari derasnya badai dan terjalnya alur hidup. Ia harus kehilangan ayahnya ketika usia yang masih awal belajar berhitung dan membaca. Yang seharusnya di usia itu ia merasakan hangat kebersamaan dengan ayahnya, diajari menggambar ikan, melukis lautan, atau mengarsir sketsa kapal-kapal pertahanan. Karena sebuah tugas negara, ayahnya harus pergi untuk selamanya. Sebuah istilah yang mereka katakan untuk kapal selam yang dinyatakan On Eternal Patrol atau berlayar untuk selama-lamanya.
Kepergian ayahnya tak akan membuatku menyerah untuk membesarkannya seorang diri. Bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit kota ini, cukup menghidupi. Kota yang cukup nyaman, tenang, membuat siapapun akan rindu untuk kembali. Bukan sekedar indahnya budaya, lebih dari sekedar itu, kota ini ibarat pusara energi yang membuat kami kuat untuk terus berjuang. Dengan mengunjungi setiap sudut kota ini, membuat semangat hidup kembali menyala lagi. Banyak tempat-tempat menarik yang dulu sering kami kunjungi bertiga. Termasuk kedai kopi ini, sejak dulu khas aroma dan cita rasanya tak pernah berubah.
Fara saat ini masih kuliah S2 manajemen di kampus paling ternama di Jogja. Biarpun banyaknya tugas kuliah, ia masih bisa membagi waktu dengan kegiatannya yang padat. Sudah aku beritahu untuk fokus kuliah saja. Seperti almarhum ayahnya, ia keras kepala kalau sudah punya tekad. Alasannya kuliah bukan cuma cari nilai, tapi kuliah adalah waktu emas untuk mencari pengalaman dan relasi seluas-luasnya.
Tanpa diduga, ada saja idenya. Dengan hasil kerja kerasnya mengikuti berbagai projek dengan dosennya, ternyata ia sudah menabung dan mendapatkan tiket untuk kami pergi ibadah ke tanah suci. Sebuah ide yang tak pernah terpikirkan di kepalaku sebelumnya. Siapa sangka, seorang janda sepertiku bisa diberangkatkan oleh anak perempuannya menjadi tamu Tuhan yang maha.
Sebetulnya aku merasa belum pantas untuk kesana, namun apa daya Fara sudah mempersiapkan segala keperluannya. Benar kata mereka, panggilan ke tanah suci itu seperti keajaiban tak terduga. Banyak yang mampu secara finansial namun terkendala untuk bisa berangkat kesana. Apa boleh buat, dengan mengambil cuti selama dua minggu, akhirnya kami berangkat juga menjadi tamu Tuhan.
Berangkat dari Yogyakarta, kami berdua menuju kota transit, Singapura. Jujur ini pertama kalinya aku menaiki pesawat. Rasa takjub melihat awan yang begitu dekat dari jendela. Ternyata dunia ini begitu luas. Cuma hatiku saja yang terlalu kecil, sehingga sampai kini tak pernah ada lelaki lain yang mampu menggantikan keberadaan ayahnya Fara di lubuk hatiku terdalam. Belum pernahnya aku menaiki pesawat, lumayan pusing terasa di kepala. Hingga semenjak bertolak dari Singapura, aku tidur di pesawat sampai setibanya di kota suci itu.
Rasa takjub tak terhingga ketika pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah suci. Dengan diantarkan oleh pemandu, kami menuju hotel untuk beristirahat, dan baru kemudian mulai aktifitas dengan menunggu info arahan tim pemandu.
***
Banyak hal yang tak aku ceritakan di sini, tentunya setiap orang yang datang ke sini pasti mengalami keajaiban sesuai nasibnya masing-masing. Tentunya rukun ibadah di rumah Tuhan, tak akan aku bahas di sini. Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami, mungkin ini suatu sudut pandang yang sangat berbeda dengan orang-orang kebanyakan.
Pengalaman di tanah suci benar-benar mengubah pandanganku tentang dunia. Dahulu, aku mengira semua orang yang datang ke sini pastilah semuanya adalah orang baik, terutama karena mereka tengah mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Namun, kenyataannya tidak seperti yang aku kira. Di tengah keramaian dalam rumah Tuhan, ada juga orang yang bertindak kasar untuk kepentingan pribadi, bahkan sampai harus dengan cara mendorong dan mencaci.
Meskipun aku tak paham bahasanya. Beragam warna kulit dan bahasa, orang dari seluruh penjuru dunia berkumpul di tempat ini. Berebut tempat untuk mencapai ambisinya, meraih tujuannya dengan segala cara, untuk jadi manusia yang merasa paling dekat dengan sang pencipta. Rumah Tuhan benar-benar menjadi gambaran realitas kehidupan dunia. Bagaikan mozaik film perjalanan kehidupan yang penuh dengan liku perebutan kedudukan. Tuhan menunjukkan polah tingkah berbagai jenis manusia secara langsung di depan mata kepalaku sendiri, di rumahnya yang suci.
Di depan Rumah Tuhan, aku benar-benar mengalami perenungan. Benar-benar tempat suci yang penuh hikmah. Di antara kerumunan orang-orang yang berusaha keras sekuat tenaga untuk mendekat sampai ke titik pusat Rumah Tuhan, ternyata aku melihat tak semua orang merasa harus berdesak-desakan untuk sampai di area pusat itu. Hingga ada satu hal yang membuatku terkesan, aku melihat orang-orang yang tenang, khusyuk berdoa dari kejauhan, tak ikut berdesak-desakan di pusat kumparan. Ternyata Tuhan ada di mana-mana, tak hanya di area pusat itu saja. Aku yakin Tuhan tak berpihak pada mereka yang merasa menang berdesak-desakan, berpihak yang berbadan besar, atau yang bertenaga kuat, dan yang merasa menang menyingkirkan orang lain untuk mencium batu dari surga itu.
Sungguh maha besar Tuhan, yang menerima berbagai macam orang untuk datang ke rumah-Nya. Di sini aku diperlihatkan berbagai sisi gelap manusia. Ada yang berperilaku kasar, berkata kasar, bersikap tidak manusiawi dengan menyenggol orang lain hingga terjatuh. Inilah gambaran nyata tentang dunia, di mana Tuhan menerima siapapun dengan tangan terbuka, namun sayang tidak sedikit manusia yang terlena, melupakan esensi kemanusiaannya dalam berjuang untuk menggapai ridho-Nya.
Pun aku coba duduk agak menjauh dari pusat kumparan, bersujud aku dengan sepenuh hati, walau berjarak cukup jauh pun aku masih sangat merasakan kehadirat-Nya, aku masih merasakan ketenangan yang luar biasa. Tanpa harus berdesak desakan di pusat kumparan. Rasanya tenang, khusyuk, damainya seperti sedang menikmati secangkir kopi di kedai kopi. Bila aku ceritakan hal ini ke orang lain, mungkin aku akan ditertawakan, atau bahkan dihujat karena dianggap orang tidak normal. Ya, karena mereka tidak bisa merasakan kedamaian yang aku rasakan, kedamaian tanpa harus berdesak-desakan berebut tempat dengan banyak orang.
Aku juga melihat dengan mataku sendiri, masih ada orang-orang baik yang peduli kemanusiaann di tengah hiruk pikuknya kondisi yang saling berdesakan. Ketika ada seseorang yang terjatuh karena berdesakan, ada yang spontan menolong. Rasanya miris kalau melihat manusia sering melupakan nilai-nilai kemanusiaan ketika sedang fokus dalam peribadatan, tak peduli pada musibah yang terjadi pada orang lain di sekitarnya.
***
Di kedai kopi ini, aku kembali pada rutinitas sehari-hari, sepulang dari tanah suci, aku belajar menerima segala yang telah dianugerahkan-Nya, sebagai rahmat-Nya. Termasuk dalam perjalanan hidupku yang saat ini, aku telah berada pada titik berserah diri sepenuhnya pada yang Maha. Sebagaimana ada istilah Jawa yang mengatakan, ‘nrimo ing pandum’, aku belajar untuk menerima segala keadaan dengan lapang dada. Karena semua hal yang terjadi dalam hidupku pasti atas izin-Nya.
Pengalaman bersama anakku di tanah suci membuka mataku tentang pentingnya tolong-menolong dan kepedulian di tengah kerasnya dunia. Meskipun banyak cerita yang tidak bisa kubahas secara gamblang, namun pengalaman spiritual itu tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupanku.
Maka dari itu, jika ada yang bertanya tentang rindu akan tanah suci, kuncinya adalah mencari keridhoan yang Maha kuasa. Karena segala sesuatu yang aku alami ini, baik suka maupun duka, hanya menjadi sebuah pemberian yang harus diterima dengan lapang dada.
Dalam kesederhanaan itu, aku menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Dan meskipun pengalaman spiritual seringkali sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, namun bagi yang merasakannya, ia mengerti bahwa di rumah Tuhan, manusia menemukan dirinya yang sejati. Yang terbiasa berperilaku kasar, di sana akan memperlihatkan sifatnya yang kasar. Yang terbiasa dengan sabar, di sana akan dipertemukan dengan banyak kemudahan-kemudahan.
Itu dia dari kejauhan, anakku Fara. Datang dengan senyumnya yang selalu ceria, meski rintik hujan membasahi pundak dan atas rambutnya. Berjalan penuh semangat bertenaga, ia menuju tempat yang sudah biasa kami duduki, di kedai ini. Tuhan begitu dekat, Tuhan ada di setiap tempat. Kami menemukan kedamaian, aku melihat bayang suamiku yang tersenyum di secangkir kopi, ketentraman ini seakan ada rumah Tuhan dalam secangkir kopi ini. (*)
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024