Cerpen Fileski
Koran Rakyat Sumbar (16/3/2024)
Hari pertama Ramadan. Matahari terik tak mau sedikitpun menurunkan pijarnya. Ia melihat sekumpulan capung di atas pohon kurma. Entahlah, itu pertanda baik atau buruk. Yang pasti, semalam terjadi bombardir di berbagai wilayah. Entah berapa korban yang kehilangan nyawa. Seperti biasanya, nyawa terasa sangat murah di tanah ini. Kematian sudah bukan lagi duka lara, setiap detik, setiap menit, selalu saja ada raga yang roboh, jiwa yang terlepas dari tubuhnya. Kekeringan kali ini tak bisa sedikitpun memberi kesempatan awan hujan untuk sekedar singgah sebentar. Beberapa sumur telah rusak, karena ledakan bom. Tanah pasir bebatuan mengubur sumber-sumber air itu. Tak bisa lagi digunakan untuk menimba air bersih. Ayah Ibunya telah meninggal 3 hari yang lalu, dalam sebuah serangan bom yang tak terhindarkan, peluru besar berisi mesiu itu meluluhlantakan bangunan rumahnya. Dan menimpa kedua orang tuanya.
Amir, kini seorang anak yatim piatu. Bertahan hidup sendirian di padang gersang. Ia sendiri tak tau, akahkan ia bisa bertahan hidup, ataukah akan tewas malam ini dengan dihantam sebuah ledakan. Amir percaya, Ramadan adalah berkah bagi semesta. Meski tak ada makanan untuk santap sahur, tak ada harapan untuk mendapatkan buka puasa. Ia yakin Ramadan adalah keajaiban. Sungguh nikmat tiada terkira bagi kalian yang hidup damai bersama keluarga yang utuh, ibumu yang sedang sibuk menyiapkan buka bersama dengan setumpuk hidangan lezat. Ayahmu yang sedang mengiris daging dan ikan, dan memecah kelapa muda untuk disantap bersama. Kenikmatan makanan memang sangat terasa ketika puncak lapar melanda.
Beberapa hari terakhir sering terjadi badai pasir. Menghancurkan sebagian besar ladang pertanian. Kelaparan tak terhindarkan. Persediaan makanan yang ia punya, sudah sama sekali tak bersisa. Terpaksa ia harus berpindah tempat. Siapa tau di sana ada yang mempunyai makanan. Di tengah teriknya matahari, Amir terus berjalan. Langkahnya tak berdaya, membawa sebuah tongkat untuk menopang sebagian beban tubuhnya. Pasir gurun yang panas, melepuhkan telapak kakinya. Di depan tampak genangan air, yang sesekali membuat langkahnya bersemangat. Padahal itu hanya fatamorgana. Ribuan kilometer ia berjalan, tak ada tanda kehidupan. Yang ada bangunan-bangunan porak poranda yang ditinggalkan penghuninya.
Lamat-lamat ia mendengar suara anak yang berteriak minta tolong. Amir berusaha mencari sumber suara. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia berusaha menyingkirkan reruntuhan kayu dan bangunan yang menimpa seseorang yang minta tolong itu. Suara seorang remaja, perempuan. Semakin dekat, Amir melihatnya. Ia angkat sebuah batu yang menutupinya. Ia menarik tangan anak perempuan itu, agar bisa keluar dari reruntuhan. Ia pun berhasil, dan karena kehabisan tenaga, ia pun pingsan.
Waktu berlalu, matahari sudah berganti malam. Tak terlihat rembulan. Satu Ramadan memang selalu tak terlihat bulan. Kira-kira waktu menunjukkan dini hari, jam waktunya sahur. “Sudah berapa lama dia pingsan?” Tanya seorang lelaki bersorban pada gadis itu.
“Dia menyelamatkan aku dari reruntuhan, tadi sebelum matahari terbenam. Karena kehabisan tenaga, lalu ia pingsan sampai sekarang.” Jawab gadis itu.
Amir mulai siuman. Melihat gadis itu berbincang dengan seorang lelaki dewasa, yang ia pun tak mengenalnya. Lelaki itu melihat gerakan Amir yang sudah siuman. Dan spontan langsung membantunya duduk, memberinya minuman. Kemudian memberikannya makanan, tanpa bertanya apapun. Lelaki itu tahu, Amir belum sadar sepenuhnya karena kehabisan energi hingga pingsan tak berdaya.
Lelaki itu bernama Umar, dan gadis itu bernama Aisha. Sembari menunggu Amir cukup tenaga untuk bisa berbicara, Umar dan Aisha menyantap makanan, bekal makanan yang dibawa Umar dalam perantauan. Sekalian mereka santap sahur dengan makanan seadanya. Meskipun dalam kondisi sulit seperti ini, mereka tetap tak meninggalkan ibadah puasa.
Umar adalah seorang musafir misterius. Entah dari mana asalnya. Umar hanya bercerita, bahwa dia seorang pengembara yang berkeliling dunia untuk menyebarkan pesan perdamaian. Umar menetap untuk sementara, sembari menunggu kondisi pulihnya Amir. Umar membantu Aisha membangun reruntuhan rumahnya, setidaknya bisa untuk tinggal sementara. Beberapa hari Umar di tempat itu, mengajarkan banyak hal. Salah satunya mengajari Amir dan Aisha tentang pentingnya keikhlasan dalam beribadah dan memperjuangkan kebaikan, meskipun dalam kondisi sulit sekalipun.
“Aku harus melanjutkan perjalanan. Aku yakin kalian berdua bisa mengubah keadaan. Bertahanlah dan berbuat baik semampu yang kamu bisa, Allah pasti akan menolong, dan tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuanmu. Terus perjuangkan kebaikan dalam kondisi sesulit apapun.” Ucap Umar memberikan wejangan terakhir sebelum pergi melanjutkan perantauan.
Ketika bulan Ramadhan memasuki masa pertengahan, bulan tampak bundar bersinar. Namun langit kelabu, asap dimana-mana. Kota itu dilanda kekacauan. Pasokan air mereka habis, dan penduduk mulai kehilangan harapan. Hampir seluruhnya ladang telah hancur. Saluran air banyak yang putus. Lumbung pangan banyak yang sudah terbakar. Namun, Amir dan Aisha, terinspirasi oleh ajaran Umar, sang musafir. Mereka berdua memimpin sebuah gerakan solidaritas di antara penduduk. Mengajak para penduduk untuk saling membantu dan membagi sisa-sisa makanan yang mereka miliki.
Mereka yakin pertolongan Allah pasti akan datang. Meski dalam kondisi tak berdaya, Allah tak akan membiarkan hambanya mati sia-sia. Amir meyakinkan seluruh penduduk agar tidak egois. Harus terus saling berbagi untuk bertahan hidup. Sekalipun kondisi makanan dan air telah menipis, meskipun hanya bisa bertahan di bawah pohon kurma.
Saat terbenamnya matahari, di malam 17 Ramadan, malam turunnya Al Quran, terjadi keajaiban. Hujan turun untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan kekeringan, menyuburkan tanah. Hal ini akan menghidupkan kembali tanaman-tanaman yang layu. Seluruh penduduk bersyukur atas rahmat ini. Memetik hikmah atas kekuatan solidaritas dan keikhlasan dalam melewati ujian penuh kesabaran. Amir pun akhirnya menyadari bahwa cahaya sejati selalu ada di tengah-tengah kegelapan. Malam itu mereka semua bersama-sama merayakan kemenangan spiritual, atas kesabaran dan ketabahan menunggu keajaiban dari Tuhan.
Secara kebetulan, malam itu sudah tak terdengar lagi dentuman serangan bom dari udara. Mungkinkah para malaikat telah menghancurkan gudang amunisi mereka. Entahlah, yang pasti hujan malam ini adalah berkah yang tak diduga. Para penduduk kota di malam ini bisa menikmati makan sahur tanpa ketakutan tertimpa reruntuhan dan serangan. Meskipun sedikit makanan yang dibagi-bagi, rasanya ketenangan dan kedamaian jadi momentum yang tak tergantikan. Setelah sahur bersama, mereka melanjutkan sholat subuh berjamaah di atas lantai masjid yang telah runtuh. Beberapa ada yang sholat sambil meneteskan air mata, teringat istrinya, anaknya, saudaranya, orang tuanya, yang kemarin masih sholat berjamaah, kini sudah tiada meninggalkan mereka untuk selamanya.
Betapa waktu bukanlah milik kita, dan kita tak pernah tau usia kita sampai seberapa lama. Dunia yang sementara ini, akan berakhir dengan kematian yang merupakan jalan satu satunya untuk menuju kehidupan tanpa kematian. Dari ufuk timur, sang surya mengepakkan sayapnya. Dari celah-celah daun kurma, tempat Amir membaringkan badannya, terlihat puluhan benda yang berdatangan seperti sekumpulan capung yang datang menuju arahnya. Ternyata mereka adalah para helikopter yang datang memberikan bantuan. Para penduduk mendongak ke atas, melihat langit cerah membiru. Puluhan helikopter itu menjatuhkan terjun payung yang di bawahnya bergantung kotak-kotak logistik. Semua bersorak bergembira. Amir berdoa, semoga bantuan yang datang ini bisa memperpanjang usia hingga semua penduduk kota ini bisa melihat perdamaian dunia, tanpa ada lagi penindasan dan peperangan. (*)
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024