NEGERIKERTAS.COM-Dalam beberapa dekade terakhir, gerakan emansipasi perempuan telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses yang lebih luas terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kepemimpinan di berbagai sektor. Namun, di tengah pencapaian ini, muncul perdebatan mengenai bagaimana sistem kapitalisme memanfaatkan perjuangan perempuan untuk kepentingannya sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah apakah keberhasilan perempuan dalam dunia bisnis dan pasar benar-benar mencerminkan emansipasi yang sejati, atau justru merupakan bentuk eksploitasi baru yang terselubung?
Kapitalisme dan Perempuan: Antara Kemandirian dan Komodifikasi
Kapitalisme, sebagai sistem ekonomi yang berorientasi pada akumulasi keuntungan, senantiasa mencari cara untuk meningkatkan produktivitas dan memperluas pasar. Dalam konteks ini, perempuan tidak hanya berperan sebagai tenaga kerja, tetapi juga sebagai konsumen yang menjadi target utama dalam berbagai strategi pemasaran. Produk-produk yang dikemas dengan narasi "pemberdayaan" atau "cinta diri" sering kali lebih berorientasi pada peningkatan profit perusahaan daripada upaya nyata dalam mendorong kesetaraan gender.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam dunia kerja tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan atau kebebasan ekonomi. Banyak perempuan masih bekerja dalam sektor industri yang menawarkan upah rendah, seperti tekstil dan manufaktur, dengan kondisi kerja yang eksploitatif. Mereka kerap menghadapi jam kerja yang panjang, upah yang tidak layak, serta minimnya perlindungan sosial. Bahkan dalam sektor profesional sekalipun, kesenjangan upah berbasis gender masih menjadi isu yang belum terselesaikan, di mana perempuan sering kali mendapatkan remunerasi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki meskipun memiliki kualifikasi dan kompetensi yang setara.
Perempuan dalam Dinamika Pasar: Kemenangan atau Ilusi?
Di satu sisi, keberhasilan perempuan dalam menduduki posisi kepemimpinan di dunia bisnis dapat dipandang sebagai bukti bahwa mereka mampu bersaing dan berkontribusi dalam ekonomi global. Beberapa perusahaan yang dipimpin oleh perempuan bahkan telah mencapai kesuksesan besar dan menjadi aktor utama dalam industri tertentu. Namun, pertanyaannya adalah apakah pencapaian ini dapat diakses secara merata oleh seluruh perempuan, atau hanya terbatas pada kelompok dengan privilese tertentu?
Fenomena "girlboss", yang sempat populer dalam beberapa tahun terakhir, menggambarkan bagaimana kapitalisme mengadopsi narasi feminisme untuk kepentingan ekonominya sendiri. Perempuan didorong untuk bekerja lebih keras, mengorbankan keseimbangan hidup, serta menginternalisasi standar keberhasilan yang ditentukan oleh sistem kapitalis. Akibatnya, banyak perempuan mengalami tekanan psikologis yang tinggi serta burnout akibat tuntutan produktivitas yang terus meningkat.
Eksploitasi Baru dalam Kemasan Modern
Salah satu karakteristik utama kapitalisme adalah kemampuannya untuk mengadaptasi dan mengkomodifikasi gerakan sosial menjadi bagian dari mekanisme pasar. Perjuangan perempuan untuk memperoleh hak dan kesetaraan sering kali diubah menjadi strategi pemasaran yang menguntungkan industri tertentu. Kampanye iklan yang menampilkan citra perempuan kuat dan mandiri tidak selalu mencerminkan kondisi riil di tempat kerja, di mana banyak perempuan masih menghadapi ketidakadilan struktural.
Lebih lanjut, munculnya ekonomi digital dan gig economy telah membuka peluang baru bagi perempuan dalam bentuk pekerjaan fleksibel, seperti freelancer, influencer, dan pekerja lepas. Meskipun menawarkan kebebasan dalam mengatur waktu dan pekerjaan, bentuk ekonomi ini juga membawa tantangan tersendiri, termasuk ketidakpastian pendapatan, minimnya perlindungan tenaga kerja, serta tekanan untuk terus produktif tanpa jaminan kesejahteraan.
Emansipasi perempuan tidak seharusnya diukur hanya dari pencapaian individu dalam menguasai pasar atau menduduki jabatan tinggi dalam struktur korporasi. Sebaliknya, perjuangan ini harus berfokus pada perubahan sistemik yang dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh perempuan, termasuk mereka yang bekerja di sektor informal dan industri berbasis upah rendah.
Agar emansipasi perempuan tidak sekadar menjadi alat bagi kapitalisme, gerakan feminisme perlu tetap kritis terhadap cara sistem ekonomi memperlakukan perempuan dalam konteks tenaga kerja dan konsumsi. Kesetaraan yang hakiki bukan hanya tentang kesempatan untuk berpartisipasi dalam ekonomi pasar, tetapi juga mencakup penciptaan lingkungan kerja yang adil, akses terhadap perlindungan sosial, serta kebebasan dari eksploitasi dalam berbagai bentuknya.
Sumber :
*Ahmad Rizal saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN MALANG)
Editor :
Erna Wiyono - Visual Artist, Writer, Journalist, Visual Arts Educator, Creative Director, Indonesia Dancer.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280