005

header ads

Perahu yang Berlabuh di Kabut

Cerpen : Heri Haliling

Ilustrasi : Biagtwanti Dewi Priyani 

Editor : Erna Wiyono

Berlayar Sendiri - Ilustrasi Biagtwanti Dewi Priyani

            Sebenarnya darah Mesuji mengalir bukan sebagai pelarian. Sekalipun berhadapan 10 sampai 20 orang dari petugas keamanan perusahaan batu bara itu tak bakal lekang sejengkal pun langkahnya untuk mundur. Dia pria cadas bertubuh legam oleh didikan langit dan lautan. Matanya nyalang menyengat bagai surya pertengahan hari. Namun mata Umi Kalsum, istrinya teduh purnama itu sarat kasih. Lembut tangannya sungguh candu kesejukan. Orang yang mau mengalah demi arti kebersamaan berjiwa samudera, itu salah satu nasihat Umi Kalsum.

            Sebulan sudah Mesuji dan istrinya terkapung-kapung di laut menghindari buruan petugas perusahaan. Memang, selain seorang nelayan Mesuji juga bekerja sebagai pengepul batu bara yang jatuh dari kapal tongkang. Batu bara yang mengambang itu lantas menepi. Apa yang salah dari perbuatan memungutnya? Bukankah Tuhan alirkan rezeki itu melalui laut larut ke pesisir? Tapi maruk manusia telah naik sampai ubun-ubun. Bermain pasal dan tuduhan, dirinya harus didakwa dan sekarang terpaksa buron ke lautan tanpa persiapan matang.

            Mesuji melepas bajunya. Tubuhnya yang tirus berlekuk tulang itu kian menampilkan keyakinan untuk bertahan. Dia membungkuk untuk memasang kaus kaki. Buyutnya bilang kaus kaki membantu saat berenang dengan membutakan mata pemangsa. Binatang karnivora semacam hiu mendeteksi buruan bukan hanya dari endusan darah tapi juga cahaya tapak kaki.

            Di belakang, Umi Kalsum yang tak kalah compang camping dengan dress hijau motif bunga itu memberikan kacamata selam dan parang.

            "Maafkan aku karena membawamu dalam masalahku" kata Mesuji tertunduk saat mengambil kacamatanya.

            Umi Kalsum ikut menunduk dan meneleng ke arah wajah suaminya.

            "Hei suamiku, manakala akad pertama kali kau ucap dulu, roh dan jasadku adalah mahar kebaktian untukmu."

            Seulas senyum mengembang di sudut bibir Mesuji yang kering terpapar dehidrasi parah. Jiregan air di dapur perahu telah kosong. Tersisa hanya alat penetral asin semacam galon yang berlapis sabut kelapa, pasir, dan batu. Harus menunggu paling tidak satu jam hanya untuk meraih 2 ml air tawar.

            "Aku akan ke bawah perahu. Semoga ada ikan yang terperangkap jaring atau paling tidak bisa ku tangkapkan kerang yang hinggap di sana."

            Umi Kalsum mengangguk. Mesuji meremat tangan istrinya sebelum terjun ke laut.

**

            Ombak malam bulan Februari bertekanan ringan menggelitiki perahu. Desau angin kibaskan kesunyian semesta di bawah langit padang bulan. Gugusan bintang sebagai petunjuk daratan mereka tatap dari anjungan. Sementara itu, lanskap laut tenang bercahaya plankton terkuas layaknya lilin kecil peraduan. Sepasang tangan lembut itu melingkar erat di perut Mesuji.

            "Jika kau ditangkap mereka, entah bagaimana lagi aku hidup?" kata Umi Kalsum memeluk suaminya dari belakang. Ia dan suaminya sangat sadar tentang kemandirian mereka di sini. Keluarga semua jauh tinggal di Sulawesi. Hanya darah moyang yang mengisi tekad mereka untuk hidup merantau di pesisir Kota Baru, Kalimantan Selatan. Sedikit sesal mengurai dari embusan napas Umi Kalsum "Mungkin jika bukan karena kista ini telah lama engkau melihat teriakan dan keriangan bocah, suamiku."

            Mesuji yang sama memandang purnama mengalihkan tatapan ke wajah istrinya.

            "Tak bagus menggugat takdir. Kita sekarang bersama, itulah yang terpenting."

            "Tapi seandainya.."

            "Husttt!!?" Mesuji menutup mulut istrinya dengan satu jari. Batinnya pun tahu kemana tujuan perkataan itu. Memang telah mereka lalui 5 tahun pernikahan dan belum mendapat momongan disebabkan dua indung telur Umi Kalsum yang diangkat. Tak dapat dipungkiri itulah ujian besar untuk mereka. Namun demikian, sebagai suami yang merasakan dekapan malaikat, cukup malu bagi Mesuji untuk menyalahkan nasib. Dia lantas berdiri "Aku tak ingin engkau kalah dan tenggelam karena ini, istriku. Aku ke buritan dulu mengambil minuman dan kerang rebus. Ingat, engkau permataku sekarang. Larung semua gelisah pikirmu. Kau dan aku saja, biarkan hening laut jadi saksi arti lunas dalam menjalani hubungan suci ini."

            Mesuji membiarkan Umi Kalsum dalam ketiadaannya sebab dia percaya istrinya mampu pulih. Masuk menuju buritan, kondisi di tempat itu tak bisa dikatakan baik. Bau bangkai ikan, cumi, dan udang menguar dari sudut ruang. Setengah atap perahu telah terbawa badai bulan Januari. Begitu juga dinding kiri yang poranda karena sapuan gelombang. Petromax teronggok rusak di sudut dengan kaca pecah dan lampu yang robek. Gumpalan terpal terbungkus acak menutup barang. Terpal itupun tak kalah keluarkan bau busuk. Mesuji bahkan menutup hidungnya. Ia amati lagi, lemari kecil berisikan baju juga ikut hanyut terbawa arus laut. Tempat itu kini adalah tungku masak.  Sebuah kuali berisikan kerang tangkapan siang tadi ia ciduk. Segelas air laut yang disuling Mesuji bawa ke anjungan.

            "Aku rasa keadaan kita tak akan bertahan lama istriku. Kita harus segera temukan daratan atau kapal persinggahan. Kau harus di tempat yang layak. Ini sudah di ujung batas" tukas Mesuji sambil menyerahkan sepiring kerang dan air putih.

            "Ku doakan agar kapal atau daratan yang kita labuhi nanti tak ada bagian dari mereka."

            Mesuji memandang Umi Kalsum yang kuyu. Dia tarik lengan istrinya dan menciuminya mesra.

            "Dengarkan aku. Bukan saatnya kita memilih. Tapi engkau harus diurus. Badai minggu lalu benar-benar merusak buritan. Kita tak bisa lama begini. Sekuat apapun, engkau harus segera memperoleh perawatan."

            Umi Kalsum menyibak tangan Mesuji.

            "Aku baik-baik saja. Kau jangan cemaskan aku. Aku masih mampu jadi pendampingmu. Kondisi ini bukan apa-apa daripada melihatmu meninggalkanku."

            Mesuji memeluk istrinya.

            "Dress hijau ini basah Umi Kalsum. Badanmu pun dingin begini. Mengapa kau tak menggantinya?"

            Umi Kalsum menggeliat manja. Kepalanya sengaja Umi Kalsum tempelkan ke dada Mesuji.

            "Dress ini pemberianmu. Aku merasa tenang jika mengenakannya."

            Mesuji terus membujuk tapi sebisa apa dia memberikan keyakinan kepada perempuan yang sudah menyematkan pembenaran. Dirinya lalu mengubah pembicaraan.

            "Percaya padaku, doamu akan dijabah Tuhan. Aku akan tetap bersamamu. Itu adalah hadiah dari Tuhan untuk keteguhan kita."

            "Aku tak ragu untuk itu."

            Udara malam yang menua memuaikan kabut. Dingin menelusup sendi dan itu terjadi bermalam-malam. Sebuah selimut yang dilapisi terpal membalut keduanya. Umi Kalsum tidur terduduk dalam dekapan suaminya. Mesuji semakin gusar tentang hal ini. Mesin telah berhari-hari lalu mati tanpa solar. Perahu terapung-apung tiada jodoh pada daratan. Benarkah kekuatan cinta mampu melawan alam dan keadaannya? Jika semua didasarkan keyakinan tanpa jalan perbuatan, terasa sungguh lancang untuknya meminta sebuah pengharapan.

            Mesuji mendehem tahan batuknya. Udara larut ini sungguh mengikat dan membekukan. Mesuji sadar, lama kelamaan tubuh keduanya bakal rapuh. Ia tatap wajah Umi Kalsum. Paras lembut itu seharusnya tak ikut membopong salah dan dosanya. Tidak ada jalan lain, bagaimanapun perahu ini harus segera temukan sandaran.

            Tak mau membuang waktu, manakala pulas dingin membuai Umi Kalsum dalam tameng mimpi indahnya, Mesuji secara pelan beranjak ke buritan lagi. Apa yang bisa dipakai sekarang? Ia cari-cari. Tidak, bukan terpal yang bau itu. Dirinya mencoba membuka pintu tempat mesin di lambung perahu.  Ada terpal lain di sana. Tinggal mencari tiang pancang, pikirnya. Mesuji akan merakit layar malam ini.

**

            Pagi saat matahari putih masih terarsir awan. Surya belum mampu naik pada pertengahan kepala. Sementara halimun masih mengapung di udara, bunyi klakson besar menarik perhatian keduanya yang masih lelap.

            Terkejut! Namun mereka berdua segera sadar.

            "Kita selamat! Istriku!" tatap Mesuji girang sambil merangkul istrinya. Ekspresi Umi Kalsum pun ikut senang. Keduanya meloncat-loncat melambaikan tangan. Layar rupaya membuahkan hasil malam tadi. Meski tak sadar, nyatanya perahu mereka melarung ikuti angin. Pikir Mesuji, pasti sekarang perahu ini sampai pada koordinat lintasan.

            Benar tebakannya, sebuah kapal pesiar laut Jawa melihat mereka. Perlahan tapi pasti kapal besar itu mendekat. Satu sekoci tampak diturunkan untuk menjemput sejoli yang terlunta-lunta di sana.

            Di atas perahu, Mesuji yang gembira karena kapal itu bukan yang memburunya mengibas-kibaskan baju agar tampak rapi meskipun faktanya berkebalikan. Umi Kalsum berlari ke buritan untuk membawa barang yang masih bisa dipakai.

            "Syukurlah kalian datang! Tuhan terima kasih kuasamu. Kau masih berkasih untuk selamatkan kami" teriak Mesuji.

            Seorang ABK berbaju putih terlatih langsung naik ke perahu Mesuji. Dua ABK yang berada di sekoci segera meraih tangan kurus Mesuji dan ABK yang satunya menjemput Umi Kalsum. Aneka pertanyaan berbau kebingungan dan sebab musabab mencecar Mesuji di atas sekoci. Dengan meminum botol berisikan kopi hangat,  seusahanya dia menjawab meski tubuhnya sungguh tampak lemas.

            Tak lama ABK di atas perahu berjalan cepat sambil menekan perut lalu memberikan kode kepada dua rekannya yang berada di sekoci.

            Mesuji yang tak mengerti hanya bisa tersentak manakala dengan cepat tubuhnya telah dipiting ke lantai.

            "Kurang ajar! Apa yang kau lakukan di atas perahumu hah!!!!" hardik satu ABK dengan menginjak punggung Mesuji.

            Lelaki itu bingung tak tahu. Meronta dengan gerak dan pertanyaan. Tapi kuncian itu sungguh kuat. Apalagi dari dua orang terlatih berperut kenyang. Merasa semuanya percuma, Mesuji kemudian memohon sambil menangis agar Umi Kalsum, istrinya segera dievakuasi ke atas sekoci. Mendengar permohonannya yang aneh, satu ABK di atas perahu menjadi kian berang.

            "Amankan pria bedebah di sana! Aku temukan mayat perempuan mengenakan dress hijau telah membusuk lama dengan luka benturan. Jasad perempuan malang itu tertutup terpal! Setengah tangannya bahkan ada dalam kuali! Gila!"

__________SELESAI_________


Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat diberbagai media cetak dan online seperti di koran digital Balipolitika, Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, Radar Utara, Radar NTT, Kaltim Post, Negeri Kertas.com, Ngewiyak.com, Cakra Dunia.com, Kompasiana.com, dan Retizen Republika. Untuk berdiskusi dengan Heri Haliling pembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, email heri.surahman17@gmail.com atau nomor WA 083104239389.

(*)

Biagtwanti Dewi Priyani, lahir di Yogyakarta pada 20 Agustus 1970, adalah seorang guru Seni Rupa di SMAN 1 Kabupaten Tangerang. Kiprahnya di dunia seni rupa dimulai sejak lulus kuliah, termasuk menjadi ilustrator buku cerita anak-anak untuk Adicita Karya Nusa di Yogyakarta pada tahun 1996. Karyanya yang awal banyak bertemakan bunga, namun kini ia lebih sering melukis pemandangan pantai dan pelabuhan ikan, terinspirasi oleh lingkungan tempat tinggalnya yang dekat dengan pantai. Ia aktif mengikuti berbagai pameran seni di Solo, Yogyakarta, Madura, sekitar Tangerang, dan Jakarta sejak tahun 2014 hingga sekarang. Selain itu, Biagtwanti juga aktif berkarya mural di berbagai tempat seperti kafe dan sekolah dari tahun 2014 hingga 2022.

(*)

 

Kolaborasi Literasi dan Visual antara satu penulis dari Komunitas Negeri Kertas dan Perupa dari Komunitas Cat Air Indonesia Chapter Jabodetabeka. Penulis Heri Haliling memvisualkan lukisan cat air dari satu karya perupa milik Biagtwanti Dewi Priyani ke dalam bentuk karya tulis Cerpen (Cerita Pendek).


Jakarta, 27 Februari 2025.

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar