Cerpen : Heri Haliling
Ilustrasi : Biagtwanti Dewi Priyani
Editor : Erna Wiyono
![]() |
Berlayar Sendiri - Ilustrasi Biagtwanti Dewi Priyani |
Sebenarnya
darah Mesuji mengalir bukan sebagai pelarian. Sekalipun berhadapan 10 sampai 20
orang dari petugas keamanan perusahaan batu bara itu tak bakal lekang sejengkal
pun langkahnya untuk mundur. Dia pria cadas bertubuh legam oleh didikan langit
dan lautan. Matanya nyalang menyengat bagai surya pertengahan hari. Namun mata
Umi Kalsum, istrinya teduh purnama itu sarat kasih. Lembut tangannya sungguh
candu kesejukan. Orang yang mau mengalah demi arti kebersamaan berjiwa
samudera, itu salah satu nasihat Umi Kalsum.
Sebulan
sudah Mesuji dan istrinya terkapung-kapung di laut menghindari buruan petugas
perusahaan. Memang, selain seorang nelayan Mesuji juga bekerja sebagai pengepul
batu bara yang jatuh dari kapal tongkang. Batu bara yang mengambang itu lantas
menepi. Apa yang salah dari perbuatan memungutnya? Bukankah Tuhan alirkan
rezeki itu melalui laut larut ke pesisir? Tapi maruk manusia telah naik sampai
ubun-ubun. Bermain pasal dan tuduhan, dirinya harus didakwa dan sekarang
terpaksa buron ke lautan tanpa persiapan matang.
Mesuji
melepas bajunya. Tubuhnya yang tirus berlekuk tulang itu kian menampilkan
keyakinan untuk bertahan. Dia membungkuk untuk memasang kaus kaki. Buyutnya bilang kaus kaki
membantu saat berenang dengan membutakan mata pemangsa. Binatang karnivora
semacam hiu mendeteksi buruan bukan hanya dari endusan darah tapi juga cahaya
tapak kaki.
Di
belakang, Umi Kalsum yang tak kalah compang camping dengan dress hijau motif
bunga itu memberikan kacamata selam dan parang.
"Maafkan
aku karena membawamu dalam masalahku" kata Mesuji tertunduk saat mengambil
kacamatanya.
Umi
Kalsum ikut menunduk dan meneleng ke arah wajah suaminya.
"Hei
suamiku, manakala akad pertama kali kau ucap dulu, roh dan jasadku adalah mahar
kebaktian untukmu."
Seulas
senyum mengembang di sudut bibir Mesuji yang kering terpapar dehidrasi parah.
Jiregan air di dapur perahu
telah kosong. Tersisa hanya alat penetral asin semacam galon yang berlapis
sabut kelapa, pasir, dan batu. Harus menunggu paling tidak satu jam hanya untuk
meraih 2 ml
air tawar.
"Aku
akan ke bawah perahu. Semoga ada ikan yang terperangkap jaring atau paling
tidak bisa ku tangkapkan kerang yang hinggap di sana."
Umi
Kalsum mengangguk. Mesuji meremat tangan istrinya sebelum terjun ke laut.
**
Ombak
malam bulan Februari bertekanan ringan menggelitiki perahu. Desau angin
kibaskan kesunyian semesta di bawah langit padang bulan. Gugusan bintang
sebagai petunjuk daratan mereka tatap dari anjungan. Sementara itu, lanskap
laut tenang bercahaya plankton terkuas layaknya lilin kecil peraduan. Sepasang
tangan lembut itu melingkar erat di perut Mesuji.
"Jika
kau ditangkap mereka, entah bagaimana lagi aku hidup?" kata Umi Kalsum
memeluk suaminya dari belakang. Ia dan suaminya sangat sadar tentang
kemandirian mereka di sini. Keluarga semua jauh tinggal di Sulawesi. Hanya
darah moyang yang mengisi tekad mereka untuk hidup merantau di pesisir Kota
Baru, Kalimantan Selatan. Sedikit sesal mengurai dari embusan napas Umi Kalsum
"Mungkin jika bukan karena kista ini telah lama engkau melihat teriakan
dan keriangan bocah, suamiku."
Mesuji
yang sama memandang purnama mengalihkan tatapan ke wajah istrinya.
"Tak
bagus menggugat takdir. Kita sekarang bersama, itulah yang terpenting."
"Tapi
seandainya.."
"Husttt!!?"
Mesuji menutup mulut istrinya dengan satu jari. Batinnya pun tahu kemana tujuan
perkataan itu. Memang telah mereka lalui 5 tahun pernikahan dan belum mendapat
momongan disebabkan dua indung telur Umi Kalsum yang diangkat. Tak dapat dipungkiri
itulah ujian besar untuk mereka. Namun demikian, sebagai suami yang merasakan
dekapan malaikat, cukup malu bagi Mesuji untuk menyalahkan nasib. Dia lantas
berdiri "Aku tak ingin engkau kalah dan tenggelam karena ini, istriku. Aku
ke buritan dulu mengambil minuman dan kerang rebus. Ingat, engkau permataku
sekarang. Larung semua gelisah pikirmu. Kau dan aku saja, biarkan hening laut
jadi saksi arti lunas dalam menjalani hubungan suci ini."
Mesuji
membiarkan Umi Kalsum dalam ketiadaannya sebab dia percaya istrinya mampu
pulih. Masuk menuju buritan, kondisi di tempat itu tak bisa dikatakan baik. Bau
bangkai ikan, cumi, dan udang menguar dari sudut ruang. Setengah atap perahu telah terbawa badai
bulan Januari. Begitu juga dinding kiri yang poranda karena sapuan gelombang.
Petromax teronggok rusak di sudut dengan kaca pecah dan lampu yang robek.
Gumpalan terpal terbungkus acak menutup barang. Terpal itupun tak kalah
keluarkan bau busuk. Mesuji bahkan menutup hidungnya. Ia amati lagi, lemari
kecil berisikan baju juga ikut hanyut terbawa arus laut. Tempat itu kini adalah
tungku masak. Sebuah kuali berisikan
kerang tangkapan siang tadi ia ciduk. Segelas air laut yang disuling Mesuji
bawa ke anjungan.
"Aku
rasa keadaan kita tak akan bertahan lama istriku. Kita harus segera temukan
daratan atau kapal persinggahan. Kau harus di tempat yang layak. Ini sudah di
ujung batas" tukas Mesuji sambil menyerahkan sepiring kerang dan air
putih.
"Ku
doakan agar kapal atau daratan yang kita labuhi nanti tak ada bagian dari
mereka."
Mesuji
memandang Umi Kalsum yang kuyu. Dia tarik lengan istrinya dan menciuminya
mesra.
"Dengarkan
aku. Bukan saatnya kita memilih. Tapi engkau harus diurus. Badai minggu lalu
benar-benar merusak buritan. Kita tak bisa lama begini. Sekuat apapun, engkau
harus segera memperoleh perawatan."
Umi
Kalsum menyibak tangan Mesuji.
"Aku
baik-baik saja. Kau jangan cemaskan aku. Aku masih mampu jadi pendampingmu.
Kondisi ini bukan apa-apa daripada melihatmu meninggalkanku."
Mesuji
memeluk istrinya.
"Dress
hijau ini basah Umi Kalsum. Badanmu pun dingin begini. Mengapa kau tak
menggantinya?"
Umi
Kalsum menggeliat manja. Kepalanya
sengaja Umi Kalsum tempelkan ke dada Mesuji.
"Dress
ini pemberianmu. Aku merasa tenang jika mengenakannya."
Mesuji
terus membujuk tapi sebisa apa dia memberikan keyakinan kepada perempuan yang
sudah menyematkan pembenaran. Dirinya lalu mengubah pembicaraan.
"Percaya
padaku, doamu akan dijabah Tuhan. Aku akan tetap bersamamu. Itu adalah hadiah
dari Tuhan untuk keteguhan kita."
"Aku
tak ragu untuk itu."
Udara
malam yang menua memuaikan kabut. Dingin menelusup sendi dan itu terjadi
bermalam-malam. Sebuah selimut yang dilapisi terpal membalut keduanya. Umi
Kalsum tidur terduduk dalam dekapan suaminya. Mesuji semakin gusar tentang hal
ini. Mesin telah berhari-hari lalu mati tanpa solar. Perahu terapung-apung
tiada jodoh pada daratan. Benarkah kekuatan cinta mampu melawan alam dan
keadaannya? Jika semua didasarkan keyakinan tanpa jalan perbuatan, terasa
sungguh lancang untuknya meminta sebuah pengharapan.
Mesuji
mendehem tahan batuknya. Udara larut ini sungguh mengikat dan membekukan.
Mesuji sadar, lama kelamaan tubuh keduanya bakal rapuh. Ia tatap wajah Umi
Kalsum. Paras lembut itu seharusnya tak ikut membopong salah dan dosanya. Tidak
ada jalan lain, bagaimanapun perahu ini harus segera temukan sandaran.
Tak
mau membuang waktu, manakala pulas dingin membuai Umi Kalsum dalam tameng mimpi
indahnya, Mesuji
secara pelan beranjak ke buritan lagi. Apa yang bisa dipakai sekarang? Ia
cari-cari. Tidak, bukan terpal yang bau itu. Dirinya mencoba membuka pintu
tempat mesin di lambung perahu. Ada
terpal lain di sana. Tinggal mencari tiang pancang, pikirnya. Mesuji akan
merakit layar malam ini.
**
Pagi
saat matahari putih masih terarsir awan. Surya belum mampu naik pada
pertengahan kepala. Sementara halimun masih mengapung di udara, bunyi klakson
besar menarik perhatian keduanya yang masih lelap.
Terkejut!
Namun mereka berdua segera sadar.
"Kita
selamat! Istriku!" tatap Mesuji girang sambil merangkul istrinya. Ekspresi
Umi Kalsum pun ikut senang. Keduanya meloncat-loncat melambaikan tangan. Layar
rupaya membuahkan hasil malam tadi. Meski tak sadar, nyatanya perahu mereka
melarung ikuti angin. Pikir Mesuji, pasti sekarang perahu ini sampai pada
koordinat lintasan.
Benar
tebakannya, sebuah kapal pesiar laut Jawa melihat mereka. Perlahan tapi pasti
kapal besar itu mendekat. Satu sekoci tampak diturunkan untuk menjemput sejoli
yang terlunta-lunta di sana.
Di
atas perahu, Mesuji yang gembira karena kapal itu bukan yang memburunya
mengibas-kibaskan baju agar tampak rapi meskipun faktanya berkebalikan. Umi
Kalsum berlari ke buritan untuk membawa barang yang masih bisa dipakai.
"Syukurlah
kalian datang! Tuhan terima kasih kuasamu. Kau masih berkasih untuk selamatkan
kami" teriak Mesuji.
Seorang
ABK berbaju putih terlatih langsung naik ke perahu Mesuji. Dua ABK yang berada
di sekoci segera meraih tangan kurus Mesuji dan ABK yang satunya menjemput Umi
Kalsum. Aneka pertanyaan berbau kebingungan dan sebab musabab mencecar Mesuji
di atas sekoci. Dengan meminum botol berisikan kopi hangat, seusahanya dia menjawab meski tubuhnya
sungguh tampak lemas.
Tak
lama ABK di atas perahu berjalan cepat sambil menekan perut lalu memberikan
kode kepada dua rekannya yang berada di
sekoci.
Mesuji
yang tak mengerti hanya bisa tersentak manakala dengan cepat tubuhnya telah
dipiting ke lantai.
"Kurang
ajar! Apa yang kau lakukan di atas perahumu hah!!!!" hardik satu ABK
dengan menginjak punggung Mesuji.
Lelaki
itu bingung tak tahu. Meronta dengan gerak dan pertanyaan. Tapi kuncian itu
sungguh kuat. Apalagi dari dua orang terlatih berperut kenyang. Merasa semuanya
percuma, Mesuji kemudian memohon sambil menangis agar Umi Kalsum, istrinya
segera dievakuasi ke atas sekoci. Mendengar permohonannya yang aneh, satu ABK
di atas perahu menjadi kian berang.
"Amankan
pria bedebah di sana! Aku temukan mayat perempuan mengenakan dress hijau telah
membusuk lama dengan luka benturan. Jasad perempuan malang itu tertutup terpal!
Setengah tangannya bahkan ada dalam kuali! Gila!"
__________SELESAI_________
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat diberbagai media cetak dan online seperti di koran digital Balipolitika, Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, Radar Utara, Radar NTT, Kaltim Post, Negeri Kertas.com, Ngewiyak.com, Cakra Dunia.com, Kompasiana.com, dan Retizen Republika. Untuk berdiskusi dengan Heri Haliling pembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, email heri.surahman17@gmail.com atau nomor WA 083104239389.
(*)
Biagtwanti Dewi Priyani, lahir di Yogyakarta pada 20 Agustus 1970, adalah seorang guru Seni Rupa di SMAN 1 Kabupaten Tangerang. Kiprahnya di dunia seni rupa dimulai sejak lulus kuliah, termasuk menjadi ilustrator buku cerita anak-anak untuk Adicita Karya Nusa di Yogyakarta pada tahun 1996. Karyanya yang awal banyak bertemakan bunga, namun kini ia lebih sering melukis pemandangan pantai dan pelabuhan ikan, terinspirasi oleh lingkungan tempat tinggalnya yang dekat dengan pantai. Ia aktif mengikuti berbagai pameran seni di Solo, Yogyakarta, Madura, sekitar Tangerang, dan Jakarta sejak tahun 2014 hingga sekarang. Selain itu, Biagtwanti juga aktif berkarya mural di berbagai tempat seperti kafe dan sekolah dari tahun 2014 hingga 2022.
(*)
Kolaborasi Literasi dan Visual antara satu penulis dari Komunitas Negeri Kertas dan Perupa dari Komunitas Cat Air Indonesia Chapter Jabodetabeka. Penulis Heri Haliling memvisualkan lukisan cat air dari satu karya perupa milik Biagtwanti Dewi Priyani ke dalam bentuk karya tulis Cerpen (Cerita Pendek).
Jakarta, 27 Februari 2025.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280