![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcBtk1uxKdL1SVYBkUnT7kGiSaui47eSwFg1cPPR6NRab1z9nRTOEbVNqzH8e5642oS-5dEn-jwPrOkORQnZQpmBm47p09MMq33lGC4UwWqa3GiFkut51YZIfAA4rWXnLnqTENOg3vOzCcbXViGQkP7TxqNp5SN_1OyA7Cnnh99Xmb18JTQ2EGICwVefoh/s320-rw/tan%20pajar.png)
Karya sastra yang hidup adalah karya yang mampu membangun jembatan antara pengalaman personal dan universal, yang menjadikan kata-kata bukan sekadar medium komunikasi, tetapi juga ruang kontemplasi dan ekspresi. "Tolong Beri Judul Sajakku" karya Tan Pajar adalah sebuah lanskap metaforis yang menampung berbagai bentuk pergulatan eksistensial manusia, mulai dari kesunyian, cinta platonik, hingga pencarian makna dalam kehidupan.
Puisi-puisi dalam antologi ini hadir sebagai sebuah konvergensi antara tradisi dan modernitas. Dalam beberapa puisinya, Tan Pajar tampak mengusung kekayaan ekspresi khas lirik Nusantara, seperti yang kita temui dalam sajak Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, atau bahkan Sutardji Calzoum Bachri yang bermain dengan metafora dan repetisi sebagai mantra. "Sajak adalah doa yang tak pernah selesai," kata Sapardi, dan buku ini seakan menjadikannya nyata dengan eksplorasi bahasa yang liar namun tetap berakar.
Sementara itu, secara tematik, puisinya juga menyentuh banyak aspek keberadaan manusia yang bergulat dengan zaman modern. Ada keresahan sosial, ada refleksi personal, ada ketajaman kritik terhadap kehidupan urban yang kian berjarak dari nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, puisinya mengingatkan kita pada pembacaan modern atas sajak-sajak Rainer Maria Rilke atau Pablo Neruda yang mengolah cinta dan kehidupan dengan bahasa yang puitis namun tetap membumi.
Salah satu kekuatan utama dari "Tolong Beri Judul Sajakku" adalah kemampuannya menciptakan keseimbangan antara realisme dan imajinasi. Kita bisa melihat puisi "Orang-Orang Lapar" sebagai contoh bagaimana penulis menggabungkan empati sosial dengan visi puitik:
"Menderitalah mereka yang lapar Menderitalah mereka yang tak sadar Menderitalah mereka yang bodoh Menderitalah kita"
Ada sebuah ketajaman kritik sosial yang mengingatkan kita pada puisi-puisi Wiji Thukul, di mana kata-kata tak hanya menjadi ekspresi pribadi tetapi juga alat perlawanan terhadap absurditas zaman.
Namun, di sisi lain, ada juga puisi-puisi yang sangat personal dan kontemplatif, seperti "Tulis Saja, Tugasmu Hanya Menulis", di mana penyair berbicara tentang hubungan dirinya dengan bahasa:
"Kita tidak sekadar bicara Riwayat kita abadi Cerita kita didengar daun-daun Puisi kita sembunyikan di balik awan"
Metafora yang digunakan menunjukkan bahwa bagi Tan Pajar, puisi bukan sekadar kata-kata di atas kertas, tetapi juga media untuk memahami eksistensi yang lebih luas, semacam "artefak kenangan" yang tak pernah tuntas dimaknai.
Dalam membaca buku ini, kita bisa menangkap jejak pemikiran eksistensialis yang kuat. Beberapa puisinya seperti "Tolong Beri Judul Sajakku (3)" berbicara tentang kerapuhan manusia di tengah arus waktu yang terus berjalan:
"Aku menulis syair, memanggil jutaan hati yang terpanggil Peluklah jiwaku, agar tak resah dalam dingin dunia"
Ini mengingatkan kita pada kegelisahan Albert Camus tentang absurditas hidup, tetapi juga pada penerimaan eksistensial seperti yang ditemukan dalam sajak-sajak Rumi. Tan Pajar menempatkan puisinya sebagai medium pencarian—mencari makna dalam keberadaan yang sering kali absurd, tetapi tetap layak dirayakan.
Jika harus mengkritisi buku ini, barangkali yang bisa disoroti adalah keberanian Tan Pajar dalam menggunakan bahasa yang kadang terlalu telanjang, yang membuat beberapa puisinya kehilangan kehalusan estetis yang sering kita temui dalam puisi-puisi liris. Namun, di sisi lain, ini juga bisa dibaca sebagai sikap penyair yang menolak kemapanan bentuk dan memilih untuk menyampaikan realitas sebagaimana adanya.
Dalam dunia yang semakin mengandalkan citra dan kesan artifisial, keberanian seperti ini perlu dihargai. Sebab, sebagaimana dikatakan Octavio Paz, "puisi bukanlah cermin dunia, tetapi sebuah cara untuk melihat dunia dengan cara yang lebih tajam." Dan inilah yang berhasil dilakukan Tan Pajar dalam "Tolong Beri Judul Sajakku"—mengajak kita membaca dunia dengan lebih jujur, lebih puitis, dan lebih mendalam.
Sebagai sebuah antologi, "Tolong Beri Judul Sajakku" bukan hanya kumpulan sajak, tetapi juga rekaman pemikiran, perasaan, dan pencarian seorang penyair muda yang bergulat dengan realitas. Dengan kekuatan metafora yang kaya, eksplorasi tema yang luas, serta keberanian dalam mengekspresikan kegelisahan zaman, buku ini layak dibaca bukan hanya oleh pecinta puisi, tetapi juga oleh siapa saja yang ingin melihat dunia melalui lensa bahasa yang lebih tajam dan penuh nuansa.
Sebagaimana kata penyair T.S. Eliot, "puisi sejati bukan hanya sesuatu yang kita baca, tetapi sesuatu yang kita alami." Dan membaca buku ini, kita seperti diajak masuk ke dalam perjalanan panjang yang penuh keindahan, keresahan, dan harapan yang tak pernah selesai.
Penulis Resensi:
Fileski Walidha Tanjung, S.Sn
Downoad Ebook [ klik di sini ]
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280