#PUISI
“DUSUN DAN KAU”
Bentang kampung pegunungan berpadu
Dengan nyanyi petani dan rimbun jerami
yang harum…
Nyiur pematang menari lembut
Bersahut hijau dengan rumput
dan alang-alang…
Begitu dingin dan menggetarkan
Malam disini dalam sisa-sisa kenangan.
Dusun sonder kata gemerlap…
Dusun jauh dari warna kotamu yang riuh…
“KUINGAT-INGAT”
Kuingat-ingat
Sore yang padam pada pucuk damar
Di tepi kali yang sunyi, Kusimpan beku senyummu
Dingin matamu, Kukenang putih seperti mori
Di pipimu berhenti waktu
Kuning langsat itu bermekaran renungan
Tentang satu janji berbatas maut…
Kuingat-ingat
Petang yang pisah sepahit getah pakis
Kuingat-ingat hangat nafasmu
Kuingat-ingat gesa bibirmu
Kuingat-ingat lagi
Kuingat-ingat lagi, Dik…
“RAMADHAN”
Candu itu,
Hidup rimbun pada ranting-ranting meranti
Rukun indahnya tertanam subur
Pada batu-batu dan pusara.
Doa-doa terpanjat
Menyatu Tuhan dalam tinggi bukit…
Candu itu,
Kerinduan hijau kampung halaman
Candu itu,
Basah tanah peladang sehabis penghujan
Candu itu,
Gemulai gunung berbaris hutan jati
“TERSIMPAN SAJAK”
Tersimpan wajahmu
Jantung rembulan, pendar separuh
Tergores hati, memungut diam bisu bahasa
Sepi kota dan acuh cahaya
Melumat gigil di ruang dada
Tersimpan matamu
Wajah langit, pudar bersimpuh
Tertanam pahit, diantara kasih dan duka luka
Harum rumput, kobar api di pediangan
Menggenapi hangat dan kehilangan
Kekalkan cerita musim di tubuhmu
Biar kutulis dalam kertasku
Berjejer huruf
Yang kuharap jadi sajak dan pelukan
“DESAKU”
Seperti kelabu tua kuingat pandangnya…
Separuh har ditinggalkan
Dalam kuning kembang padi.
Tercatat lembut dalam nurani
Anak-anak dusun
Bercumbu sungai sampai petang hari…
Batu-batu beku
Bicara bisu
Berbisik ruang
Dalam ampun desak kota.
Getar namanya
Tertinggal jauh
Dalam sisa-sisa kenangan…
Gundah hatinya
Tertanam jauh
Dalam kelana kampong halaman
“SURAT TERAKHIR”
Kutulis luruh bunga anyelir
dan sepasang surat lugu dalam sajakku
Demam kata
Pujangga muda mencari gerimis
Puisi singgah…
Subur biru benua kusadur dalam langit tipis
Kujaga puisi ini
Sebelum musim salju merapati…
Janji yang menyebar kaku kuhimpun satu-satu dalam namamu
Dalam namamu…
Selat majas melimpah madu
Kicau burung berkejaran
Ditiup cakrawala…
Aku berhenti
Untuk bimbang,kuturuti liat kertas ini
Merapal jantungmu..
Tak lama lagi
Atap rumbia ditukar percakapan
Sawah dan ladang ini ditukar
Getir kehidupan…
Tak lama lagi
Puisi ini akan pulang dengan kerucut terpal
Dan serbuk palma yang harum..
Gores pena berseri tanpa dusta imaji
Kenanglah
Kenanglah
“DI SUATU SUNYI”
Kata mengapung lembut
Di serat bambu
Malam merawatnya,dengan bait gelap
Tanpa suara…
Sebungkus cahaya mengendap
Hanya ada jendela pegunungan
Dengan goa putih
Yang ditumbuhi serat-serat rosela…
Bulan menjahit gagang perdu
Daun digiling
Dengan musim kemuning
Yang luput dari jejak pucat kemarau.
Langkahmu
Mengulur rinai
Menjadikan sajak hujan jadi kekal
Menghijau
Membasahi rumput yang kita hitung satu persatu
Dengan bening kejora di timur laut
Aku akan menjaga
Tidurmu
Mimpimu
Sampai kau kembali
Dengan kunang-kunang yang menabur benih dingin
Dengan batas jarak yang aling melupakan…
Lalu kita
Jadi asing
Saling mendekap
Doa-pun sunyi
Abadi
“KABAR DUKA”
Di pavilium,hujan asin
Kabar duka,Kabar duka…
Suara serak mengapung
Mengepung
Ngiluku untuk dengkurmu
Kudengar ayat suci diucap beberapa-kali
Diujung tikar doa sunyi untuk orang tua kami…
Di trails biru,angin bersiul. Angin mengembun
Benang di ranjang tinggal jadi kafan
Sengau
Sengau di segala sisi…
Di pavilium,Tuhan berdiri
Kabar duka,Kabar duka
Yang tiada
Sudah genap
Berpamitan
“BLORA”
Rembulan tak lama lagi
Satu persatu nama akan menuju tubuhmu
Satu persatu doa akan menuju langitmu
Aku akan pasrah
Pada lembar jerami dan daun-daun rosela…
Aku menunggumu di tempat ini,
Tanpa kota,dan lampu murung seperti nasibmu.
Aku ingin mengingat
Kabar petani yang mati tengah hari
Aku ingin menuju jantungmu
Tanpa merah dacin,dan sisa petang di pohon saman.
Kampungku…
Batu-batu yang menggenang pada daun-daun jati,
Kita akan tidur disini
Di ruang ini
Tanpa duka
Tanpa luka…
“DIK”
Di gerbang perkampungan
Aku berendam dalam hijau matamu
Pada sungai yang asin
Kulihat kabar burung yang telah jadi patung…
Anak-anak gembala
Meraba
Meramal awan.
Di suatu hari yang hujan
Kututup wajahmu yang basah
Kuusap
Kuusap…
Gurun berangkat terjal
Terbaring pulas dalam dada
Lanskap gelagah mengering
Menggenapi musim bunga yang berjatuhan…
Kukenang suaramu
Di bawah nyiur dan deras gerimis di pondok peladangan.
Separuh udara mulai sesak
Kuingat lukamu
Merahmu…
Yang gores bibir
Dan melekat hangat
di pundakku
di pipimu,Dik
EMAIL :
ilhamoktafian@yahoo.com
Instagram :
@ilhamoktafian
Facebook
Ilham Oktafian
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313