Aku
seperti ingin berhenti sekolah. Tidak ingin melanjutkan lagi sekolah di SMA
swasta itu. Tapi, amanah bapak menginginkan aku menuntaskan SMA. Padahal
keuangan ibu tidak cukup melunasi SPP sekolah.
Sebulan
sejak bapak tiada, keuangan keluarga sedang tidak baik. Bapak pergi meninggalkan
aku, adik dan ibu.
Hari
ini saat akan berangkat ke sekolah, aku berpamitan pada Ibu, mencium tangannya
seperti biasa.
“Ibu
hanya ada uang 2000, nak,” ucapnya, mengelus pelan rambutku. Aku menatap ibu.
Mengerti benar kondisi ini. Membuat hatiku merintih, ingin menangis ikut
merasakan apa yang ibu derita. Sebisa mungkin harus ku tahan di hadapan ibu.
“Tak
apa bu, uang ini cukup untuk naik angkot hingga pulang,” jawabku tersenyum
hambar. Lalu pergi meninggalkan Ibu yang masih melambaikan tangannya di ujung
jalan gang ini. Aku
menyeka sedikit air yang keluar dari pelupuk mata. Seperti terpukul keras
dengan uang 2000 yang ibu bilang. Sejauh ini ibu masih tetap bekerja menjadi
tukang cuci. Uang yang didapat tidak cukup untuk menghidupi kebutuhan aku dan
adik bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Genap setahun bapak pergi, aku seperti
ingin mengenang kembali. Bapak yang tangguh, yang rela berpeluh keringat demi
kebutuhan hidup keluarga. Sekarang ibulah yang menjadi pengganti bapak. Ibu
yang harus banting tulang untuk menyambung hidup. Sejak saat itu aku semakin
mengerti kerasnya hidup.
Dulu
saat bapak masih hidup, selalu membawakan oleh-oleh untuk aku dan adik. Bapak
bekerja di pabrik, menjelang sore ia akan pulang.
“Assalamualaikum,
bapak pulang.” Suara pintu terdengar terbuka disambut salam dari bapak setiap
pulang kerja.
“Waalaikumsalam,”
sahut aku dan adik berhamburan memeluk bapak. Seperti biasa bapak selalu
menenteng dua kresek di kedua tangannya.
“Ini
untuk kalian,” Katanya menyodorkan kresek itu kepada kami, dan mengecup pelan
dahi kami.
“Hore..”
kata Via. “Bapak
mandi dulu ya,” Ujarnya sambil berjalan menemui ibu. Kita mengangguk. Bapak yang baik itu tidak
akan pernah kembali, tidak akan pernah lagi muncul dibalik pintu membawa
oleh-oleh. Bingkisan itu biasa bapak beli di daerah tempat kerjanya yang memang
menjual aneka kue. Bapak, segalanya banyak berubah sejak kepergianmu.
Mataku
mulai berkaca-kaca mengingat bapak. Terutama mengingat keuangan keluarga yang
semakin menipis. Dan ibu yang semakin kurus. Aku memutuskan membolos sekolah
dan pergi ke makam bapak. Aku menahan tangis yang hampir pecah, dan terus
berlari di tempat kediaman terakhir bapak.
Sedikit
sesenggukan, aku terduduk lemas di pusara bapak. Mengelus pelan batu nisan yang
bertuliskan “ANTON MULYANA”. Air mata mengalir begitu saja di pelupuk mataku.
Tak sanggup lagi menahannya, mengingat hidup begitu keras menimpa keluarga ku.
“Ayu..”
sebuah suara memanggilku pelan. Aku menengadah. Menyipitkan mata sebentar saat
melihat mas Ibnu berdiri di dekatku dengan menenteng sebuah kresek kecil.
“Ini,
kamu tidak bawa apa-apa kan untuk menyiram makam bapakmu.” Lanjutnya
menyodorkan kresek kecil. Aku mengangguk dan mengambil kresek itu.
Mas
Ibnu ikut duduk dan berdoa di pusara bapak. Aku jadi tak enak hati. Akhirnya
aku tidak berlama-lama di makam bapak setelah selesai menabur bunga dan berdoa.
Aku berdiri mengajak mas Ibnu meninggalkan makam itu.
“Kamu
kenapa tidak datang ke sekolah?” tanyanya saat kami jalan beriringan menuju
jalan raya. Aku hanya menggeleng.
“Kamu
butuh apa? Mungkin mas bisa sedikit membantu?” mas Ibnu ini kakak kelasku waktu
di SMA. Sebenarnya kita saling mengenal saat tahu dia tinggal di gang sebelah
rumahku. Saat itu hampir tiap pagi mas Ibnu mengajak berangkat bareng ke
sekolah. Aku mau saja ikut dia, sedikit ngirit ongkos ke sekolah. Sekarang dia
sudah lulus.
“Aku
butuh kerja paruh waktu mas, bantu ibu,” Ucapku. Keinginanku bulat ingin
bekerja sekarang. Untuk ibu, untuk meringankan bebannya. Aku harus ikut andil
memenuhi kebutuhan ibu dan adik sekarang. Kalau biasanya aku masih
bermain-main, aku harus kerja sekarang. Aku menunggu jawaban mas Ibnu. Berharap
banyak ia bisa membantu.
Hening.
“Sekarang
kamu harus pergi ke sekolah, mas yang antar. Dua hari lagi temui mas di kedai
depan SMA sepulang sekolah.” Pintanya, aku tercengang mendengarnya lalu
mengangguk pelan.
Setiba
didepan gerbang sekolah, mas ibnu membukakan helm yang ku kenakan. Kedua tangannya
menyentuh bahuku, matanya menatapku tajam. Seperti tatapan seorang kakak kepada
adiknya, ada kekhawatiran disana.
Sorot
mata itu mengingatkan ku kepada sepasang netra milik Bapak yang khawatir kepada
ku saat terlambat pulang ke rumah. Aku memejamkan mata dan menunduk, tidak
ingin membuat genangan di hadapan mas Ibnu.
“Bolos
itu tidak menyelesaikan masalah. Doakan Bapak, jangan selalu menangisinya.
Bapak juga ingin lihat kamu bahagia.” Mas ibnu mengangkat wajahku yang
menunduk. Aku balas menatapnya.
“Masuk
sana, mas mau berangkat kerja.” Pintanya.
“Terimakasih
tumpangannya, mas.” Dia tersenyum. Aku menunggu hingga motornya melaju
meninggalkan halaman sekolah ini. Ada
secercah harapan. Aku melenggang masuk ke kelas dengan senyum yang sedikit di
tahan. ***
“Kamu
bisa kerja di Boston’Cafe mulai jam 15.00 hingga pukul 21.00. temui saja kak
Mey.” Begitu kiranya pesan yang disampaikan mas Ibnu. Dia berpamitan setelah
aku menyelesaikan acara makan siangku sendiri. Ya, sendiri. Karena mas Ibnu
hanya memesan segelas jus mangga, dan mentraktirku makan siang.
“Makan
siangnya harus habis, baru kamu boleh menemui kak Mey nanti.” Pintanya. Aku
mengangguk sambil melanjutkan mengunyah makanan yang sudah memenuhi mulutku.
Sedang mas Ibnu sibuk memainkan benda pipih itu sambil sesekali tersenyum saat
jemarinya memainkan benda itu.
Sekarang
aku hanya bisa melihat kepergian mas Ibnu dengan mata yang sedikit nanar.
Melihat dia tersenyum dengan seorang gadis yang sudah tak asing lagi. Tiara,
anak kelas IPA 2 itu pun tersenyum menghampiri mas Ibnu. Aku mengalihkan
pandangan. Seharusnya tak perlu senyeri ini melihatnya.
Sejak
diantar ke sekolah kemarin ada rasa mulai mengagumi. Apalagi meminta bertemu di
kedai deket sekolah, jelas aku membayangkan bisa ngobrol banyak, bercanda, dan
ketawa bareng mas Ibnu. Memang sudah lama mengenal, tapi sebatas numpang
transport ke sekolah. Ucap terimakasih lalu pergi ninggalin mas Ibnu yang
melajukan motornya ke tempat parkir. Ngobrol banyak jarang, karena tercipta
kecanggungan disana. Sirna sudah khayalan melihat mas Ibnu tertawa dihadapanku.
Tapi
entah sejak mas Ibnu meminta bertemu, aku banyak memikirkan tentangnya. Meskipun
aku tahu, pertemuan itu pasti membicarakan bantuan yang sempat ku tanyakan
tempo hari di area pemakaman.
***
Sebulan
bekerja, aku sudah bisa menyicil pembayaran SPP yang nunggak sejak kepergian
Bapak. Lumayan banyak, meskipun begitu setidaknya bisa membantu penghasilan
keluarga. Dan tidak terlalu memberatkan ibu.
Aku
bahkan tidak mengikuti bimbingan tambahan untuk siswa kelas 12. Bukan karena
ada biaya tambahan, tapi karena bimbingannya dimulai bersamaan dengan jam
kerjaku. Persoalan ini selesai dengan menyalin hasil belajar Mila teman
sebangku ku, malamnya selepas kerja aku bisa mempelajari ulang.
Semua
guru ngotot mewajibkan siswanya mengikuti bimbingan ini, tapi bagaimanapun aku
tidak ingin mengecawakan Ibu. Ada banyak harapan di mata ibu yang mulai
berkaca-kaca dulu setelah menceritakan bahwa aku diterima kerja di Cafenya kak
Mey.
“Maafin
ibu, nak. Maafkan kalau ibu menyusahkan mu,” Ucap Ibu dengan terisak.
Aku
menggenggam tangan Ibu, “Nggak, bu. Ini demi kita semua. Setelah lulus Dea
janji akan membahagiakan Ibu dan Deasy.” Ibu meraih tubuhku, menyelesaikan
isaknya dipelukanku.
Sejak hari itu aku rajin
bekerja, kadang lembur sampai jam 10 kalau ada hari libur. Kak Mey memang
menyarakan aku pulang jam 9 malam. Tapi Cafe tutup jam 12 malam, itu karena mas
Ibnu yang meminta agar aku pulang jam 21.00.
Perihal
mas Ibnu, dia sering berkunjung ke Cafe seminggu sekali. Kadang juga membawa
Tiara, aku masih saja cemburu melihatnya. Dan aku tahu harus sadar diri,
bagaimanapun juga mas Ibnu hanya menganggap ku adik. Begitu katanya yang ku
dengar saat mas Ibnu berbicara dengan kak Mey di kunjunganya ke cafe ini.
***
“Ibu,
mau menikah lagi, nak. Ibu ingin ada yang bertanggung jawab terhadap hidup
kita.”
Wangi
aroma bunga kenanga yang bapak tanam di halaman depan rumah menyergap hidungku.
Kembali teringat kematian Bapak, aroma bunganya menyentuh lembut permukaan
ingatan saat Bapak masih hidup dulu. Anganku melayang saat tahu akan ada ayah
baru pengganti Bapak.
Ada
rindu kembali, seperti wewangian bunga kenanga yang berhasil menembus inchi
dari ingatan buruk tentang bapak. Apa itu sebabnya saat akhir-akhir ini tak ku
temukan sorot kepedihan yang mendalam di mata ibu. Seharusnya aku senang, ibu tak
harus menderita lagi.
“Dengan
siapa, bu?”
“Besok
siang beliau akan kesini, jadi nanti bantu ibu menyiapkan makan siangnya.” Jadi
ibu sudah mengatur sedemikian rupa, hingga harus mempertemukan ku sehari
setelah ibu memberitahuku perihal ayah baru itu.
“Sudah berapa lama ibu mengenalnya?” tanyaku, semoga
jawabannya tidak mengejutkan lagi.
“Lima
bulan yang lalu sejak kepergian bapak saat ibu mencari pelanggan cucian.” Perih
mendengarnya. Ibu berkeliling mencari orang yang membutuhkan jasa cucinya. Lalu
ibu bercerita panjang lebar, dari awal pertemuan dengan lelaki itu. Pada
akhirnya lelaki itu berlangganan mencuci pakaiannya kepada ibu. Dan di sore
hari ibu diminta menjadi tukang masak untuk lelaki yang kesepian itu. Aku tidak
menyangka, hanya bersyukur bahwa Tuhan telah membuka ladang rizki untuk
keluargaku. Hingga saat ibu diminta menjadi pendampingnya.
Tak
ada lagi yang bisa ku katakan, hanya berucap syukur ada lelaki yang mau
bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga ku. Wangi bunga kenanga itu tak terhirup
lagi, menguap bersama dengan pikiranku yang melayang tentang sosok ayah baru.
***
Hari
itu tiba. Setelah semua masakan telah tersaji, ibu menyuruhku mengantar makanan
ke rumah nenek di desa sebelah.
“Sebentar
lagi mungkin mereka datang, ndok.” Aku mengangguk sambil merapikan kotak
makan yang akan ku antar ke rumah nenek.
“Dea
pamit dulu, bu.” Ibu mengantarku sampai depan pintu.
Ketika
kembali ke rumah, aku melihat mobil avanza telah terparkir di halaman. Tapi
yang ku lihat adalah sosok Tiara di teras rumah sedang menelfon. Apa ayah yang
di maksud Ibu adalah ayah Tiara? Ah, tidak mungkin.
Aku
mengetuk pintu, belum selesai aku dibuat terkejut melihat Tiara, sekarang
benar-benar di luar dugaanku. Tapi seseorang itu tidak terkejut sama sekali
melihatku. Ya Tuhan, apalagi ini? “Dea,
ini om Gun Ayah mas Ibnu, dan ini Tiara calon tunangan kakakmu.” Ibu
memperkenalkan mereka satu persatu. Tapi tidak memperkenalkan mas Ibnu. Aku
segera menepis pikiran buruk itu. Bisa saja ibu teramat dekat dengan mas Ibnu. Kakak?
Tapi,
ada yang ngilu rasanya melihat mas Ibnu dan Tiara diperkenalkan sebagai
sepasang yang akan bertunangan.
Tak
ada lagi aroma wangi bumbu opor di meja makan ini, asap yang mengepul perlahan
pergi. Seiring dengan pikiranku yang berlarian melihat mereka begitu akrab di
telinga.
Aku
tersenyum kecut melihat kenyataan ini. Sepertinya aku harus kembali menabur
bunga di pusara almarhum Bapak lamaku.
***
I-Feria Devi lahir di Probolinggo pada tanggal 17 Februari 1997. Saat ini
mahasiswa aktiv di IAIN Jember. Suka menulis karena bermula dari suka membaca.
Lalu dari kegiatan itu juga ingin menciptakan imaginasi sendiri. Karyanya
pernah terbit dalam buku Antologi Hasil
Lomba Dan kini berdomisili di Desa Ngepoh, Kec.Dringu, kab.Probolinggo. Contak
Person: 082311955749 // IG:
@islavia.feria.devi // FB :
Iferiadevi // Email :
devife05@gmail.com
3 Komentar
Uda bagus. Tapi dialog tag perlu diteliti lagi😊
BalasHapusTerimakasih kaka..
BalasHapusDea sosok gadis tangguh keluarga, harus kuat dengan keadaan keluarga dan cinta. 😃
BalasHapusKirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313