Puisi: Firmansyah Evangelia*
Negeri Sebatangkara
Di negeriku, laut-laut menangis
Resah suara-suara menggerutu di
bebukitan tunggal
Mengabadikan kekam harap, di
sepanjang khayal mimpi kekal
Di negeriku, tembakau-tembakau
berdoa, dzikir-dzikir rumput menggelora di ruang sunyi
Menghunus jantung hening, pada
kedalaman tahajjud daun-daun yang bersujud
Di negeriku, matahari memancar begitu
buram, lembab tanah-tanah gersang
Diiris-iris derita dadaku,
keniscayaan menghabiskan rentang musim dipenghujung mata
Hingga nyalang cemaspun runtuh, habis
dikuras ruas-ruas pandangku saban hari
Di negeriku, sungai-sungai berhenti
mengalir, bangunan-bangunan pongan tinggal debu
Hingga tabah yang di hentak, tetap senantiasa
kusucikan dalam diri
Di negeriku, cahaya-cahaya ranggas
lepas silau, pupus segalanya sirna pada diam getirku
Tampa ada sisa-sisa bangkit yang
ingin ku julangkan pada langit-langit harap sepanjang jalan
Mts.putri, 2020
Sajak Penutup
Dengan berakhirnya luka ini
Maka berakhir pulalah serangkai resah
diantara kita
Sebagai aku yang bahagia
Mengucapkan banyak terima kasih
kepada Tuhan dan teman-teman
Mts.putri, 2020
Panggilan Subuh
Suara-suara ayat suci mulai menggema
di penjuru rumah Tuhan
Deras merdunya mendarat di batinku
Menyucikan sesak dada dari debu-debu
suudzan yang ku piara di kedalaman sunyi
Hingga perlahan nyalang jiwaku,
kembali merdeka pada sungai nil keyakinan
Barangkali, panjang subuh adalah
harapku
Memuliakan rentang tahajjud dengan
dzikir-dzikir cukup larut
Sebab, pejam khusyu’ bagiku
Ialah jalan sabar paling tunggal
menjumpai Tuhan
Maka, dengan hati lapang dada
Aku pasrah pada segenap kegelisahan
yang kerap meronta pada setiap detak jantungku.
Annuqayah, 2020
Ziarah
Diatas kesaksian ganas matahari
Aku melangkah dengan bismillah
Walau sejatinya, besi penat
kian membelenggu sekujur tubuh
Mengalirkan keringat cukup
deras mengalir
Bahkan, busur kantuk tetap
kuterjemahkan sebagai khusyu’
Sebab, menuju maqbarahmu
Adalah harap panjangku saban
hari
Barangkali, ngajiku amsal air
Bening, sebening doamu, kiai
Tahlilku ibarat batu
Bisu, tetapi keras dan tangguh
Setangguh istiqamahmu, kiai
Doaku sebagaimana malam
Penuh dengan tahajjud-tahajjud
suci
Gelap berkaisar suram
Tetapi mustajab
Semustajab doamu,kiai
Beranjakku pasrah penuh tabah
Melangitkan rahasia pada
daun-daun yang pulas tertidur di ranting-ranting
Mengharapkan kekabulan
Pada segenap pengap
dzikir-dzikir
Yang tak henti-henti berdetak
di kedalaman batinku
Annuqayah,2020
Sketsa Wayang-Wayang Batu
Amsal
wayang-wayang batu, kelam meredam retak kebisuan tangguh angkuh di tanganku
Mengekalkan
tangis matahari, resah bintang-bintang menelusup ke jantungku
Menghunus nadi-nadiku
yang berdenyut, mengubur masalalu di negeri-negeri tengkorak gelantungan,
barangkali, mayat-mayat luka tinggal menyisakan serak-serak tulang di dadaku.
Wooy! Asap
menyan kembali gentayangan di ufuk-ufuk langit, biru mataku memerah menakar
cakrawala, memenjara tanggal panjang pendarahan pada geram mimpi-mimpi karam jahannam
di otakku. Lantas, apalagi yang harus ku sakralkan pada jantung malam, bilamana
sesak bukit pancaroba mengelupas di dalamnaya, mencipta biografi-biografi
kwartil sepi, pada genap ruang-ruang almanak, juga pasrah megarungi kuyup hujan,
disepanjang nafas kotaku yang merentang.
Tetapi mengapa,? masihlah kerap kudengar cericit doa-doa burung kutilang
selepas petang di pematang pohon kamboja pekarangan rumahmu, meretas gejolak
jiwa di kedalaman sanubari yang tak henti-hentinya menggerutu,menenggelamkan
lumpur nista, dari nalar diam tunjang senja dipangkuan langit. Sebab,
semestinya kali ini aku masih dungu, untuk sekedar memulangkan dahaga perih di
ruas-ruas rumput yang menangis, memanjangkan cerita-cerita keji berpundak
nyeri,hingga busung dadaku semakin kerontang, memahami jurang tanah-tanah kutuk
dari bias sebaris doa nenek moyang yang mustajab. Maka, dengan kesekian rimbun
manuskrip sujud, pasrah kutanggalkan serumpun kisah pada derai air mata, juga
emosi-emosi laut yang senantiasa terus bergemuruh, kerap memadahkan kurung
bayang – bayang belibis racau yang tenggelam di negeri–negeri rantau.
Kali ini,
rumah- rumah hampa lepas penghuni, membantai garang mangsa liar macan–macan,
suara suara harimau menggelar takut pada panjang lelapku, juga pada kaktus
ritus malam,taring sunyi kembali mengerami gersang kalbuku, menusuk perlahan ,
memanjara debu keluh yang membeku, menghantam ruhku dengan selir dzikir-dzikir
daun muda yang runtuh dari sorga. Sejenak, mantra-mantra anderenat menggema di gubuk–gubuk makam leluhur bebukitan jauh,
hingga mencipta mendung-mendung susup
makin keruh, deras hujan datang
membanjiri laut puji tengadahku diretas purnama,menumbalkan zaman retak
pada kuasa getir-getirku menyimpan sajak. Lalu, aku kembali menenun mimpi-mimpi
yang terlantar di pasir resah, rumus penindasan tak kunjung reda, hingga mataku
berlinang, hilang kesaktian jibril di tubuhku, bahkan susuk rusuk baling-baling
cemas, kian berdiam di kedalaman ceruk-ceruk sanubariku paling dangkal
Astaga!,
Astaga!. Barangkali benar, Tuhan kekal dimana-mana.
Annuqayah,2020
Ode Untuk
Pak. D
-(D.Zawawi Imron)-
Subhanallah, begitu dahsyat dawuhmu
Sungai darah
yang semula keruh di tubuhku
Perlahan
bening atau bahkan jernih malam ini
Sebab, tabah
dan sabar
Adalah jalan
tunggal berjumpa sadar, :katamu
Pak.D,
laut-laut tubuhku menangis
Mengiris
sinis busung dadaku yang meronta
Mengekalkan
busur mata paling adil
Pada segenap
harap langit mengundang awan-awan
Hingga,
jalang hitam tak mamapu lagi merintis pandang
Sebab,
isyarat matamu
Pasrah
menenun puisi-puisi panjangku yang rancu
Juga
menyucikan serak buku-buku
Berabad silam
mengkarat di tubuh-tubuh lemariku yang bongkar
Maka, lelah
kutangkas dengan keras
Sebab,
darah-darah majasku
Masihlah
tenggelam di garis-garis tanganmu yang abadi
Pak.D, tahun
ini
Ceracau
diksi-diksiku hendak mekar dan mengakar
Memagari sunyi
pada ruang-ruang renung paling sepi
Mencekam ringgis tangis
derai-derai bola mataku
Mendiami gurun sahara di
belantara hutan fikir
Lalu, aku kembali sempurna
mengukir kisah-kisah jeram asaku di ruas takdir
Lantas, dengan legam
suara-suara di ujung subuh
Kerap aku taat pada senandung
adzan
Di bukit-bukit tempatku
mengembara
Menyempurnakan rumah puisi
Pada lemabar-lembar ikthiar
Juga rentang bayang-bayangku
yang membara
Pak.D, ikhlaskah kau mengajari
Tentang rahasia melahirkan ruh
sejati pada baris-baris puisi?
Annuqayah,2020
Gerutu Orang-Orang
Kampung
Orang-orang kampung menggerutu
Memahami resah dari kesaksian tangis
ladang-ladang dan tumbuhan
Mengiris kematian serak tulang-tulang
mimpi
Hingga dengan pasrah, ia kembali
menerobos gigil pagi di pangkuan matahari
Sejenak, tajam pacul-pacul menghantam
tanah
Letih mengubur harap perih pada
panjang musim yang makin renta
Mendiami susup khayal bangkit di
jurang otak
Menenggelamkan getar dada
Pada saban kantuk bayang-bayang yang
kian rentang
Maka, adalah tunas sengsara
Kerap kali kupiara di punggung waktu
Sebab, mozaik takdir di kelam diri
Tak kuasa kutangkas di ruas-ruas hari
Annuqayah,2020
Kesyahduan
Ayat-Ayat Pagi
Pagi-pagi, lantunan ayat-ayat suci
menggema begitu syahdu
Mengkaramkan debar dada
Juga menerjemahkan harap panjang di
jantung matahari
Pagi-pagi, orang-orang kembali
merapikan waktu
Berangkat dengan bening ikhlas di
ceruk matanya
Sembari jari tangannya meredam
seberkas upah
Sekedar bekal untuk ceracau perutnya
yang membusung
Hingga dari pancar jiwanya
Mengelupas pula silau ilmu-ilmu dari
tangan Tuhan
Kali ini, adalah sekelumit cemas
masihlah pasrah ku hias
Sebab, cara mengubur penat juga nazar
kantuk di curam mata
Ialah uji berat bagi nanar nafasku
saban hari
Annuqayah,2020
Siasat
Sungai-Sungai Tua
Apa kabar, dunia!
Masihkah kau tak
mampu mendiami busur resah di kepalaku?
Jika begitu, bongkarlah keras-keras
almanakku
Retas mesin-mesin lelah di ruas
mataku
Hingga gencar sasar yang memancar
Tak lagi kekar menakar sabar getar
dadaku yang berdebar
Lalu, taring nyeri-nyeri mengelupas
di nanar hati
Emosi-emosi mimpi menancap di jantung
batu
Melukai jiwa, mengkarati rung-ruang
nadi
Memeras tulang-tulang dan darah
Serta menenggelamkan nazar doaku di
penghujung sunyi
Barangkali, baris tangis takkan
pernah berhenti mengenal derai
Bilamana hujan dzikir-dzikirku kian
reda
Suntuk sujudku memecah di panjang
sajadah
Mencipta jalanan sesat, penuh
kerikil-kerikil nestapa
Sebagaimana siasat sungai-sungai tua
yang kerontang
Apa kabar dunia!
Malam ini, renta nafasku busung dari
lamat-lamat nasib yang menjerit di lorong-lorong sepi
Menenun tandas hajat dari berbagai
penjuru negeri berpolusi
Menaggalkan rinai luka
Pada deras lepas majas-majasku yang
tak tuntas
Mengisyaratkan nalar diksi,
memandangi tajam laut puisiku yang menderu
Sebab, rahim takrim kata-kata
Masihlah kerap bermain-main dengan
mayat kerancuan
Apa kabar dunia!
Serak sesak kali ini menggerutu di bebukitan
terjal
Mencekam geram bazar noktah nostalgia
Membelantingkan sehelai niat
Juga meredam kelam zaman sum-sum
pancaroba
Tak khayal, jika kuterjemahkan hidup
Ialah muasal gila yang merdeka
Maka, dengan segenap kwatrin
penantian masa lalu
Aku tabah melintasi hukum-hukum penat
pada diri
Membangkitkan risih renung di
pangkuan purnama
Memahami ceracau burung-burung
menangis di pematang dahan
Lantas, pasrah kususuri kembali
ringgis getirku di rusuk-rusuk langit
Meski kadangkala lentur syukur
Membeludak jadi debu-debu di ronnga
kalbu
Apa kabar dunia!
Ingin ku karamkan saksi malam ini
Pada setiap kuntum daun, tarian
sabda-sabda
Bahkan segalayang muskil bernyawa
Bahwa: kehendak Tuhan
Memahar mataku untuk lupa cara
terpejam
Annuqayah,2020
Istirah Malam
Pada malam, aku mencoba meresapi
gigil sunyi
Meretas angan dari kesiur angin
angin-angin membangunkan kuntum daun yang tertidur
Lalu, lampu-lampu listrik terlihat
berjejer rapi di keluasan mata
Mengisyaratkan kemelut hening
Pada segenap kebisuan bintang-bintang
merangkul malu di penghujung langit
Juga, bahkanperlahan mencipta takar
kabar yang membeludak dalam benak
Hingga, ritus kantukku menyala
Menuntaskan resah dada
Di sepanjang pembaringanku saban waktu
Annuqayah,2020
Ironi Matahari
Pagi ini, ada begitu banyak kabar
Tentang nanar ironi matahari yang
memancar
Juga nyalang riang cericit
burung-burung di ketinggian langit
Memasrahkan resah pada kuntum daun
Hingga dari nalar dadanya
Ada pancar letih yang lebih begitu
rahasia dari kematian
Barangkali, sebab terciptanya
kesaksian lorong-lorong retak
Embun-embun yang masih setia mendiami
gigil rumput
Bahkan, kesiur angin kian berdesir di
ujung udara
Meretas cekung pelangi
Pasrah mencipta cemas panjang begitu
rentang
Lalu, risalah diam mengitari detak
jantungku yang berdebu
Menyucikan noktah tangis beritmis
Di sepanjang genap pengap banat luka
di kedalaman ruas jiwa
Firmansyah
Evangelia nama pena dari Andre Yansyah , lahir di pulau giliyang, yang
terkenal kadar Oksigennya setelah Yordania, 12 September 2002 ,tepatnya di
dusun baru desa banra’as RT:03 RW:06, alumni MI,MTS pondok pesantren Nurul
Iman, menyukai puisi dan tater sejak aktif di beberapa komunitas , di
antaranya:PERSI (penyisir sastra iksabad ), LSA (lesehan sastra annuqayah) ,
Ngaji puisi, Mangsen puisi , Sanggar kotemang, poar ikstida. Beberapa karyanya
pernah di muat di : Radar Madura, Nusantara News, Majalah Sastra Simalaba, Buletin
Leluhur,Buletin Bindhara, Majalah Pentas, Potrey Prairey, Harian pringadi,dll.
Buku puisinya : Duri-duri bunga mawar(FAM publising 2019),Rubaiyat
Rindu(Jendela Sastra Indonesia 2019),Entah Apa Yang Merasukimu?(JSI jilid I
2019), Kekasih (Sanggar Sastra Indonesia 2019). pernah dinobatkan sebagai
juara 1 Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional di jendela Sastra Indonesia (JSI)
2019, juara 1 Lomba Cipta Puisi Spontan Class Meething yang di selenggarakan MA
1 Annuqayah (2019). Juara 1 Lomba Baca Puisi Se-kabupaten
Sumenep pada Acara Festival Seni dan Budaya di Auditorium MA 1 Annuqayah, menjadi
penulis terbaik dalam Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional yang di selenggarakan
Sanggar Sastra Indonesia (SSI) 2019.