Setahun yang lalu, pada ajang FLS2N 2019 saya menulis kritik dengan judul “Monolog teater pelajar tidak mendidik”. Mengapa tidak mendidik, secara singkat saya membahas tentang seni bermain monolog FLS2N provinsi Jawa Timur bukan menjadi ajang adu skill keaktoran siswa, namun jadi ajang adu gebyar tata setting, properti, musik, dan unsur pendukung lain. Sedangkan fokus untuk menilai kualitas keaktoran secara individu masih sangat kurang porsinya di kacamata para juri lokal (provinsi). Selengkapnya tulisan saya tahun lalu bisa dibaca di sini https://www.kawaca.com/2019/08/festival-monolog-pelajar-ternyata-tidak.html
Sedangkan tahun ini, 2020. Saya menyebut ada hikmah dalam musibah, karena pandemi Covid19 menyebabkan pelaksanaan FLS2N diselenggarakan secara daring. Hikmah yang saya maksud di sini adalah edaran FLS2N dari Pusat Prestasi Nasional menyebutkan bahwa setiap sekolah bisa langsung mengirimkan karya monolog (setiap sekolah) langsung upload di web pusat. Artinya setiap karya dinilai langsung oleh juri nasional. Bagi saya ini adalah hikmah sekaligus berkah karena siswa saya berkesempatan bisa langsung dinilai oleh juri nasional, sehingga bisa berkompetisi secara adil dengan standar kualitas juri nasional.
Tentu ada beberapa perbedaan teknis yang perlu dicermati dalam penggarapan monolog untuk disajikan secara langsung dan secara daring, namun esensinya sama. Yakni peserta yang dinilai adalah kualitas keaktorannya. Melihat hasil penjurian FLS2N nasional yang selama ini saya amati dari video para juara yang diunggah di youtube, memang lebih mengedepankan kualitas keaktoran ketimbang menilai berbagai pernak-pernik unsur pendukung. Hal ini sangat masuk akal, sebab peserta monolog tingkat nasional berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang terbentang jarak dari Sabang sampai Merauke, akan sangat tidak adil bila juri fokusnya pada penilaian di luar keaktoran, misalnya peserta dari Papua, tidak mungkin akan mampu membawa setting dan properti yang banyak, mengingat jarak tempuh yang sangat jauh untuk bisa sampai lokasi kompetisi nasional.
Karena ajang kali ini adalah daring, maka saya perlu lebih teliti lagi dalam mencapai standar kualitas audio dan video yang diharapkan pihak panitia. Terutama kualitas audio, harus seimbang dan sesuai proporsi antara vokal aktor dan komposisi musik pendukungnya, jangan sampai tumpang tindih yang bisa menyebabkan detail artikulasi aktor terganggu, namun musik pendukung juga jangan sampai kehilangan ambience untuk memperkuat suasana. Sebagai pembina yang sebelumnya hanya sebatas memberikan arahan dan teori, kali ini saya harus turun langsung untuk ikut campur garapan siswa dalam prakteknya, terutama pada proses pengambilan video dan audio. Belajar dari pengalaman event sebelumnya di ajang "SMA Award" yang diadakan Jawa Pos, kualitas video dan audio garapan siswa untuk monolog masih jauh dari kata baik, padahal secara garapan teater sudah cukup baik. Akibatnya teater tersebut tidak bisa nyaman untuk dinikmati secara daring dan hasilnya tidak mendapatkan prestasi yang diharapkan.
Dalam FLS2N 2020 secara daring kali ini saya punya keyakinan, kondisi ini bisa jadi kesempatan emas untuk pembuktian bahwa kualitas keaktoran yang baik bisa menjadi juara monolog. Kebetulan tahun 2020 ini siswa saya ada yang punya basic keaktoran yang lumayan baik, beberapa kali saya amati ketika dia bermain teater di acara sekolah, dia mampu menjadi karakter yang kuat meski bukan pada posisi peran utama. Dan benar analisa saya terjawab, dia bisa menjadi juara 1 monolog provinsi Jawa Timur dengan didukung kualitas video dan audio yang baik. .
Kabar dukanya, Juara 1 provinsi Jawa Timur tidak bisa maju ke tingkat nasional, dikarenakan terhambat oleh aturan bahwa yang bisa maju ke tingkat nasional harus mengantongi surat rekomendasi dari cabang dinas setempat, yang menyatakan siswa tersebut adalah juara 1 tingkat kota. Pada saat seleksi tingkat kota, siswa saya mendapatkan juara 2. Saya sendiri juga heran kenapa bisa juara 2, padahal telah saya cermati dari berbagai sudut pandang ilmu kajian teater, yang saya tekuni sejak di bangku kuliah jurusan teater 2007 dan sampai sekarang dengan berbagai pengalaman berkesenian, seharusnya siswa tersebut bisa menjadi juara 1 tingkat kota.
Bukan saya membela siswa saya secara subjektif, karena pelatih dari siswa yang juara 1 monolog tingkat kota sendiri mengatakan pada saya, "Seharusnya yang juara 1 adalah siswa SMAN 2 Madiun". Semoga kejadian ini bisa menjadi bahan pelajaran dan renungan bagi kita semua, terutama untuk para insan seni di kota dan kabupaten Madiun.
W. Tanjung Files (Guru Seni Budaya SMAN 2 Madiun)
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313