Mau tidak mau aku harus mencari Bapak. Itulah wasiat Ibu sebelum dia meninggal.
“Pergilah ke Jakarta, cari Bapakmu! Dia masih hidup di kota itu!” Dengan suara lemah dan tersendat.
Aku diam, gamang.
Ibu mencengkram lenganku dengan kuat dan menatap penuh harap.
Aku mengangguk, “Ya, Karjo akan cari!” ucapku ragu.
Perlahan Ibu melepas cengkramannya sambil meredupkan tatapannya. Ditariknya nafas yang terasa sesak dan menghembuskannya perlahan. Lantas matanya terkatup, bibirnya terkatup. Menutup semua jejak hidupnya. Ibu pergi meninggalkan wasiat yang penuh tanda tanya.
*****
Baru pertama kali aku ke Jakarta, tapi harus mencari seseorang yang menghilang dua puluh tiga tahun silam. Petunjukku hanyalah foto Bapak yang sudah usang. Saat masih muda dengan rambut gondrong dan tubuh tinggi kekar, dia pergi hendak ikut berdemonstrasi pada tahun 1998. Ayah adalah aktivis yang menggelorakan revolusi.
Namun setelah pergi sama sekali tidak ada kabar. Diduga dia termasuk orang yang dihilangkan setelah hari-hari yang mencemaskan kala itu. Aku percaya akan dugaan itu dan merasa bangga menjadi anak seseorang yang dijuluki anak revolusi.
Ibu pun tidak membantah. Tapi disaat ajal akan menjemputnya, keyakinanku dia goyahkan. Dia meyakinkanku kalau Bapak masih hidup. Mestinya aku senang kalau Bapak masih hidup. Tapi cara Ibu menyembunyikan keyakinannya membuatku menghunus rasa curiga, kalau selama ini, Ibu takut aku kecewa kalau mengetahui yang sebenarnya.
Dan Jakarta adalah rimba dengan beton-beton keangkuhan yang tumbuh liar, dan merasuk ke dalam jiwa-jiwa penghuninya. Setelah seharian bertanya pada orang-orang sambil memperlihatkan foto, hanya ada beberapa orang yang terlihat peduli akan pertanyaanku, kebanyakan hanya menggeleng, mengangkat tangan dan menghindar.
****
Lima hari sudah aku mencari Bapak tanpa hasil, hingga rasa frustasi mulai tumbuh mengoyak keyakinan. Terlebih uang bekal sudah mulai menipis, hingga malam ini pun terpaksa harus tidur di emperan toko. Tidak jauh dari terminal Blok M, ada deretan toko yang sudah tutup. Gembel-gembel kota terlihat tiduran sekenanya dan aku pun begitu. Duduk bersandar melepas lelah, sebatang rokok aku nyalakan, sebuah keyakinan aku padamkan. Besok aku akan pulang.
Seorang wanita dengan penampilan seronok duduk disampingku, tanpa sungkan dia meminta sebatang rokok. Aku memberikan dan bantu menyalakannya. Dia hisap dalam-dalam lalu dihembuskan dalam helaan nafas panjang.
“Kamu pasti dari kampung, mau ngapain ke Jakarta?”
“ Mencari bapakku, menghilang sejak tahun sembilan delapan.”
“Sudah lama sekali, kenapa baru mencari!”
“Mulanya aku tahu dia sudah meninggal tapi sebelum ibu meninggal dia memintaku mencarinya!”
“Meminta mencari seseorang yang dianggap tidak ada, lalu ketika dia mau tiada meminta untuk mencarinya. Orang tua selalu menyembunyikan kenyataan pahit, lantas meminta anaknya menerima kenyataan itu setelah dia tiada. Egois banget ya? Dulu aku juga yakin kalau aku anak angkat ibuku, tapi sebelum dia meninggal dia baru cerita kalau aku anak kandungnya yang tidak diketahui siapa bapaknya!”
“Kenapa bisa begitu?”
Setelah sejenak terdiam dan beberapa kali menghisap rokok, wanita itu bercerita.
****
Wanita itu bernama Larsi, ibunya seorang wanita binal. Yang diam-diam memasukan laki-laki dalam kamarnya, ketika malam membuat detak jam dinding pun terdengar jernih. Larsi kecil kadang terjaga karena mendengar lolongan dari kamar ibunya, diam-diam mengintipnya dan melihat ibu mengerang-ngerang di cabik serigala.
Larsi hafal wajah laki-laki yang menjadi serigala di ranjang Ibunya. Mereka kalau siang nampak begitu mulia, ada yang jadi lurah, guru, penulis, politisi bahkan penceramah. Begitu juga dengan Ibunya, dia terlihat sebagai Ibu yang mulia, mendidiknya agar taat beragama dan berakhlak mulia, seperti yang diinginkan Tuhan.
Semakin laris tumbuh besar, dia menyadari serigala-serigala di ranjang ibu dan juga serigala-serigala di jalanan, tertarik untuk mencabik-cabiknya. Mata mereka nyalang dan dengus nafasnya menderu menahan letupan birahi yang membuncah. Ibunya paham akan hal itu, maka ia menjadikan laris barang dagangan yang dilelang. Siapa yang menawar dengan harga tinggi, kepadanya Larsi diserahkan untuk dicabik.
Akhirnya lelaki pertama yang mencabik Larsi, dia yang rela menggelontorkan puluhan juta ke saku ibunya. Anehnya Larsi pun merasakan sensasi yang menyenangkan menjadi ratu. Ada kepuasan melihat laki-laki itu bagaikan kerbau dungu yang rela menuruti segala permintaannya, Satu persatu serigala di ranjang ibu, menjelma jadi kerbau dungu di hadapannya.
Hingga akhirnya nasib melemparkannya ke jalanan, setelah rumah-rumah bordil tak lagi menganggapnya sebagai ratu.
*****
Setelah menuntaskan ceritanya Larsi tanpa sungkan mengajakku bermalam di rumahnya.
“Bukan rumah, tapi tempat penampungan untuk orang yang bekerja di jalanan, pengamen, penjual asongan, pelacur seperti aku. Kau boleh tidur sekamar dengan siapa saja, dengan aku juga boleh!” ungkapnya sambil senyum menggoda. “Ini Jakarta, orang jahatnya bisa muncul tiba-tiba!” lanjutnya setengah berbisik.
Aku tak ada pilihan lain, selain mengikutinya, kuyakin dia tak ada niat jahat. Apa yang bisa diambil dari aku yang sudah nyaris kehabisan uang ini. Lantas setelah menelusuri gang sempit dan berbelok-belok, tiba juga di Penampungan itu , sebuah rumah besar dengan banyak kamar. Aku dikenalkan pada pemiliknya. Seorang waria yang dipanggil Bunda. Badannya tinggi, kurus, hidungnya bangir dan rambutnya lurus sebahu. Dia sangat ramah, menawarkan rumahnya untuk ditinggali selama aku mencari bapak.
Setelah itu, aku diajak Larsi menuju ruang atas. Ketika menaiki tangga, aku melihat ada lukisan menggantung di dinding. Aku tertegun, gemetar, tidak percaya apa yang sedang aku lihat. Sebuah lukisan realis bergambar seorang lelaki berambut gondrong dan seorang anak..
“Itu lukisan Bunda bersama anaknya, ketika dia masih jadi laki-laki, macho kanl!” ujar Larsi.
Aku makin gemetar, tidak siap menerima kenyataan, kalau dalam lukisan itu ada aku dan Bapaku. Bapaku yang selama ini kuyakini dihilangkan ketika lahirnya reformasi, Bapak yang dulu aktivis yang memperjuangkan revolusi ternyata kini menjadi banci.
*****
Wahyu Arshaka
Penulis seorang guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu, Cerpen-cerpennya dipublikasikan di media cetak dan online, dengan nama pena Sen Shaka sudah menerbitkan tiga buku fiksi, “Ritual Manggil Hantu”, “Manggil Hantu 2” dan “Sekolah-Sekolah Berhantu 2”. Buku kumpulan cerpen terbarunya “Cinta Tak Harus Diseduh Sepahit ini” akan segera terbit. Tinggal dan bergiat di Karawang..
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313