Sejak pandemi memaksa orang-orang untuk diam di rumah,
memaksa orang-orang untuk memakai masker jika bepergian, menjaga jarak, menjaga
kebersihan tangan, juga memaksa orang-orang untuk lebih banyak menghabiskan
waktu bersama keluarga, Ibnu malah menemukan keasyikan tersendiri di luar
rumah. Ibnu menemukan hobi baru selama pandemi ini, yakni berdiam diri di bawah
perdu bambu.
Pada masa awal
pandemi, sebagian besar orang mengeluhkan keadaan yang serba terbatas ini.
Tidak bisa keluar rumah adalah penyiksaan batin secara perlahan. Juga tidak
bisa lagi bertegur sapa dengan rekan kerja adalah kesepian yang berlapis-lapis.
Taman kota, stasiun, pasar, pusat perbelanjaan mati suri.
Meninggalkan
kebiasaan lama untuk melakukan kebiasaan baru seumpama memakan singkong atau
kuning telur tanpa minum. Seret. Atau seumpama ayam yang dibawa ke lampok.
Bingung. Itu dapat dilihat dari berbagai peraturan dan sanksi yang dibuat.
Banyak orang yang tidak patuh dengan pemerintah untuk menjaga jarak, memakai
masker, dan menghindari kerumunan, padahal peraturan itu dibuat untuk kebaikan
diri kita sendiri.
"Hidup
dan mati ada di tangan Tuhan!" ucap salah seorang.
"Ini
konspirasi!" umpat seseorang yang tidak percaya.
Bagi orang
yang pantang mengeluh, pandemi bukanlah suatu masalah. Dengan adanya work from
home, para orang tua, terutama ayah, lebih banyak menghabiskan waktu bersama
keluarga, sehingga ikatan yang kadang timbul-tenggelam menjadi lebih rekat.
Namun, alih-alih menghabiskan waktu bersama anak dan istri, Ibnu malah lebih suka
menyendiri sambil memperhatikan liukan sungai yang mengalir di bawah perdu
bambu.
Angin sekejap
menerpa beberapa daun dan batang bambu. Suara gemerisik seperti suara gelang
penari membuat suasana tentram terlepas dari kacaunya pikiran yang melanda. Lantas,
Ibnu menutup mata, menghikmati setiap melodi alam yang jarang ia dengar. Suara
kicau burung pipit yang melandas di sepetak sawah yang hampir panen membawa
ingatan-ingatan kadaluarsa masa kecilnya. Masa dimana tidak ada beban dan
tanggungan. Gemericik air terdengar seperti nyanyian nina bobo yang dilantunkan
ibu menjelang tidur, membuat mata menolak untuk terbuka.
Matahari akan
tertidur di balik bukit yang hampir gundul. Sinar hangatnya seolah pertanda
bahwa sebentar lagi petang. Di bukit itulah dulu Ibnu bermain bersama
teman-temannya. Namun, bertahun-tahun berlalu, bukit itu kini banyak dibangun
rumah penduduk. Desa ini perlahan-lahan padat. Setidaknya, di hadapannya kini,
hamparan sawah yang kuning masih menjadi lambung bagi berbagai biota. Masih
menjadi tempat tidur bagi rengit dan walang sangit. Sumber kehidupan yang tidak
akan henti mengalir.
Dulu, di sawah
itu, banyak sekali ikan mujair dan belut. Siapa saja boleh mengambilnya secara
cuma-cuma. Ibnu biasa memancing di sana bersama teman-temannya di waktu luang
selepas pulang sekolah. Ikan dan belut yang berhasil ditangkap, mereka panggang
di depan gubuk yang terletak di tengah persawahan. Di gubuk itu, ada semacam
tali yang membentang ke berbagai petak sawah, terikat dengan kayu yang saling menghubungkan.
Jika tali itu ditarik, orang-orangan sawah yang tertambat dengan tali itu akan
bergoyang. Lalu, burung-burung yang rakus akan terbang menjauh.
Sejak
mempunyai seorang istri dan anak, Ibnu tak pernah lagi ke sawah ini. Ia sibuk
mencari nafkah. Ia bekerja di pabrik keramik di kotanya. Pagi hingga sore.
Sawah yang menyimpan cerita masa kecil itu tak pernah lagi menjadi daftar
tempat yang harus ia kunjungi. Setidaknya, Ibnu lega sebab sawah ini masih sama
indahnya seperti dulu.
Angin menampar
wajahnya perlahan. Ibnu mengingat-ingat, sudah berapa lama ia duduk di bawah
perdu bambu ini? Ia harus segera pulang. Anak dan istrinya pasti khawatir.
Anaknya pasti sedang mencarinya sekarang dan istrinya pasti sedang memasak
untuk makan malam. Ya, makan malam yang nikmat. Di meja makan akan terhidang
nasi dan sayur. Nikmat.
Di tengah
aliran sungai yang tenang, seekor ikan melompat. Kibasan ekornya yang seperti
pinggul perawan menimbulkan suara kecipak dan gelombang kecil. Kepala pipih dan
kumis yang membelah air. Ikan lele. Ibnu terkesiap. Ia menatap lekat-lekat pada
gelombang yang ditinggalkan lele itu di permukaan sungai. Sejak kapan ada ikan
lele di sungai kecil ini? Pertanyaan itu akhirnya tumbuh menjadi ide baru. Ia
akan pulang untuk mengambil senar dan kail.
Waktu luangnya
masih banyak untuk menangkap ikan. Esok pun masih ada hari untuk menangkap ikan
di sungai ini atau lusa. Namun, agaknya hanya Ibnu seorang yang tahu tentang
ikan-ikan di bawah perdu bambu ini. Tanpa pikir panjang, Ibnu segera membuat
semacam joran darurat dari bambu, mengaitkan cacing di kail yang runcing,
kemudian menjatuhkan umpan itu ke dalam sungai yang tenang.
Selasar senar
nampak bergerak. Seekor ikan pasti menerkam umpan itu. Dengan cekat, Ibnu
menarik joran dan dapatlah seekor lele besar.
"Strike!"
pekiknya girang.
Ikan lele
berlompatan di darat. Terengah-engah antara hidup dan mati. Ibnu gembira.
Sejenak ia dapat melupakan masalah hari ini. Senyum bahagia itu pertama kali ia
sunggingkan sejak ia suka menyendiri di perdu bambu ini.
Satu ekor lele
berhasil ia tangkap. Lalu, ia memasukkan lagi mata kail ke dalam sungai.
Alirannya tenang. Pasti masih ada banyak ikan di sini, pikirnya. Beberapa menit
berlalu, ditandai dengan sinar matahari yang makin pekat. Para petani
berbondong-bondong pulang. Burung pipit ikut naik ke ranting-ranting. Ibnu
berhasil menangkap beberapa ikan. Itu cukup untuk malam ini. Ia pulang dengan
wajah gembira.
"Besok
aku akan kemari lagi," racaunya sepanjang jalan pulang.
Dilihatnya
istri dan anak yang sedang tertidur pulas. Ingin membangunkan mereka, tetapi
tak sampai hati. Ia melanjutkan langkah ke dapur, mengambil pisau, kemudian
menyiangi ikan tangkapannya. Ia lirik karung beras. Hanya tersisa satu genggam.
Pandemi benar-benar membuatnya harus berpikir dua kali. Apa yang harus
dilakukannya setelah ia menerima surat pemutusan hubungan kerja beberapa minggu
yang lalu. Tidak ada keahlian lain. Kerja di pabrik keramik itu sudah cukup
untuk menghidupi keluarga kecilnya, jadi ia tak perlu bersusah payah mencari
pekerjaan sampingan. Ibnu terlalu terlena dengan kenyamanan yang gampang
dibolak-balik oleh Tuhan.
"Ah! Yang
penting hari ini anak dan istriku bisa makan," gerutunya sambil menggoreng
ikan dalam kuali.
Suara gaduh
dari dapur membangunkan istrinya. Juga aroma ikan goreng yang sedap.
"Mama mau
makan," tanya Ibnu. Istrinya mengangguk. Beberapa menit kemudian, seorang
anak kecil menyusul.
"Adek
juga mau makan, ya?"
Anak dan
istrinya makan dengan begitu lahap sedangkan Ibnu hanya menatap mereka penuh
haru. Tak pernah ia melihat anak dan istrinya makan sedemikian lahap.
"Ayah tak
makan?" tanya istri.
"Ayah
sudah kenyang. Habiskanlah!" Ibnu memantapkan ucapannya dengan beralih
pandang pada sehelai handuk.
Di saat
seperti ini, bukan ide baik jika mengatakan yang sebenarnya, terlebih tentang
surat itu. Surat yang membuatnya menjadi seseorang tanpa profesi. Sampai kapan
ia menyembunyikannya. Entah.[]
14 Feb. 2021
Penulis
bernama Firman Fadilah. Menetap di Lampung. Buku cerpen pertamanya First Kiss
(Guepedia; 2021).
*****
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313