SELAMAT JALAN
selamat jalan, bisikmu
ranjang putih
dinding putih
aroma obat bagaikan bunga
beterbangan
tapi aku belum kemana mana
masih di sini
kusisir usia
kuraba langkah
selamat jalan, katamu lagi
seperti memaksaku pergi
tapi aku belum pula mandi
tak ada jadwal perjalanan
pesawat
kapal laut
kereta
bus
(hanya beri aba aba mau jalan
namun tak juga bergerak...)
PEREMPUAN BERMATA TAJAM
: angel
dia berlari tapi bukan ke belakang
ditembusnya kabut dari asap gas
di jalanan yang gaduh!
“segalanya (akan) baik baik. Oke.”
segalanya baik baik, meski
sebuah lubang peluru di kepala
telah mengantar dirinya ke keabadian
— yang lebih berkeadilan —
setelah kawan kawannya dia tolong
menghapus perih di mata
dari air keran di jalan itu
siang yang kering
lalu tanda itu yang dikalungkan
pesan di selembar kertas
ditinggalkannya di jalan itu
sebab ia telah menembus aral
dikepakkan sayapnya. ia terbang
membebaskan diri dari senapan
yang tak henti henti mengaum
di jalan yang gaduh
di depan anak anak muda
yang kelak penopang ini negara
perempuan bermata tajam
peri bagi kemanusiaan
KA, 4 Maret 2021
PULANG KE RUMAH TUHAN
ia dilahirkan tanpa luka
oleh ibu-bapaknya
ia meradang ke jalan
ketika tahu negerinya terluka
ia bawakan hati yang putih
namun peluru bersarang di kepala
ia lihat menembus kepulan asap
diinginkan hanya air air air
tapi, ia lupa, peluru tak bermata
kepalanya luka, di jalan itu ia kembali
pulang ke rumah Tuhan
pintu istana masih begitu kuat
SAATNYA AKU PERGI JAUH
saatnya aku mesti pergi jauh
-- darimu -- akan kupilih
jalan yang tak dilalui
orang sebelum aku. tak ada
jejak di situ, biar pun basah
dan rerumputan mekar
di bulan yang hujan ini
akan kusibak ilalang
dan tanah basah jadi jalan
baru -- aku yang mencipta,
bukan orang lain
sebelumku -- kutandai
dengan namamu. biarkan
kekal, tapi pertemuan kita
fana; jejak yang kelak
mungkin dilupakan, barangkali
pula jadi sejarah
tapi, tak lagi begitu perlu
dan bagiku tak gairah lagi
untuk mengulang dan mengulang
sudah tak mau deja vu
tak ada penjor di sepanjang jalan itu
dulu jadi penanda, sebagai rambu
untuk bertemu dan berpisah
DI DEPAN KOLAM KECIL
TAMAN TAK SEBERAPA
: e.y.k
maukah sesekali kita jadi ikan
ini malam saja. kita tunggu
ada yang datang lalu membawa
kita dari dalam kolam yang sudah
lama menyelami derita
bukankah hawa merayu lelakinya
pergi dari surga, karena tahu
di situ ia tak akan abadi
kenapa kita tak berani menolak?
tinggalkan kursi ini
jadi ikan semalam saja
sampai ada yang datang
kembali naik dari kolam
tapi, maukah sekali saja
kita jadi ikan. kolam kecil itu sunyi
dan kita yang buat riuh
KGM, 20 Maret 2021
Isbedy Stiawan ZS,lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di berbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.
Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020)
Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alun Alun Itu Ada Kalian, Kupu Kupu, dan Pelangi, dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021).
Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku keMana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020).
Isbedy pernah sebulan di Belanda pada 2015 yang melahirkan kumpulan puisi November Musim Dingin, dan sejumlah negara di ASEAN baik membaca puisi maupun sebagai pembicara. Beberapa kali juara lomba cipta puisi dan cerpen tingkat Nasional.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313