Seorang perempuan cantik di layar kaca televisi membacakan berita tentang dua orang pejabat Dinas Pendidikan yang jadi tersangka kasus proyek pembangunan ruang kelas baru. Kacong menghentikan makannya ketika ia melihat dua orang pejabat itu pernah datang ke sekolahnya.
“Mereka pernah ke sekolah,” kata Kacong.
“Siapa?” Emak tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Kacong. Dan Kacong menunjuk dua orang pejabat Dinas Pendidikan yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan kepada semua wartawan. Emak hanya mengangguk.
“Kenapa mereka? Kok dibawa polisi?” Kacong bertanya dengan otak bocahnya yang polos.
“Korupsi.” Jawab emak spontan.
“Korupsi itu apa?” Bagi Kacong istilah ini asing terdengar di telinganya.
Emak yang hanya mengerti sedikit apa itu definisi dari korupsi, setahunya saja ia jelaskan pada anak lelakinya itu. Emak berhenti kelas 5 SD karena dikawinkan orangtuanya. Ia masih mencari-cari kalimat yang tepat agar Kacong langsung paham dan tak banyak bertanya lagi. Kacong memukul paha emaknya, meminta jawabannya segera.
“Korupsi itu…ya, apa ya. Oh ya, korupsi itu sama dengan mencuri, ya, mencuri.” Setelah berpikir keras, emak akhirnya bisa menjelaskannya walaupun itu tidak sesuai dengan pengertian dalam kamus. Kacong mengerutkan keningnya. Ia berpikir kenapa harus pakai istilah rumit seperti itu untuk mengatakan dua pejabat itu seorang pencuri.
“Kalau begitu, mereka sama seperti bapak ya?” pertanyaan Kacong membuat emaknya langsung mengalihkan pandangan pada bocah itu.
Kacong berkata lagi, “Bapak seorang maling, mereka juga maling. Tapi kenapa bapak mati digebukin orang, mereka malah tersenyum.” Telunjuk Kacong mengarah ke layar televisi.
“Mereka pejabat, orang pintar, dan berpendidikan. Bapakmu orang goblok. Miskin lagi, jelas berbeda.” Mata emak berair, lirih kata-katanya.
Emak melirik celurit tua yang tergantung sungsang di balik pintu, dan ia berkata lagi pada Kacong, “Makanya kamu belajar yang rajin, biar pintar, berguna bagi agama, bangsa dan negara.”
“Kasihan bapak ya, sudah jadi maling, bodoh lagi. Coba saja bapak sekolahnya tinggi, meskipun jadi maling kan bisa tersenyum kayak mereka. Mungkin juga tak ada yang ledekin saya.”
Memang sering Kacong mendapat ejekan dari teman-teman kelasnya karena bocah kelas 6 SD itu adalah satu-satunya anak dari lelaki seorang maling. Ia juga sering disalahkan bila di kelasnya ada yang kehilangan uang. Karena ledekan inilah terkadang Kacong jadi malas sekolah. Ia memilih membantu emaknya di rumah.
“Kalau bapaknya maling, anaknya ya jadi maling juga!” Kata teman kelasnya yang duduk di bangku belakang.
Temannya yang lain menambahkan, “Ngapain kau sekolah kalau cuma mau curi uang kami!”
Emak berusaha membesarkan hati anaknya, selalu bilang ia kepadanya bahwa itu pertanda semua temannya perhatian pada Kacong. Dua kali sudah Kacong tidak masuk sekolah. Kacong menjadi lepas emosinya. Nama bapaknya disebut berkali-kali sebagai sumber masalah. Kacong sampai bertanya kenapa emaknya sampai menikah dengan seorang maling.
Dan sekarang sudah jam tujuh kurang lima belas menit, Kacong selesai sarapan. Ia baru mau masuk sekolah lagi. Emak mematikan televisi. Kacong belum beranjak dari tempatnya yang semula. Ia seperti tercenung memikirkan sesuatu. Mungkin sedang teringat dengan kematian bapaknya atau malas berangkat sekolah, bertemu teman-temanya yang usil. Emak menepuk bahu Kacong, tergagap bocah itu.
“Bapak kan maling, apa saya akan jadi maling juga ya,? Kata Pak Guru buah jatuh tak jauh dari pohonnya, artinya kalau orangtuanya maling, anaknya jadi maling.” Pertanyaan Kacong membuat emak terperangah. Ia sungguh tidak menyangka anak sekecil dia bertanya semacam itu.
“Makanya emak sekolahkan kamu biar jadi orang berguna. Emak juga suruh kamu mengaji biar mengerti agama. Bukan jadi maling.”
“Tapi kan orang yang sekolah bisa jadi maling juga,” kata Kacong mengejutkan emak.
“Memangnya ada yang begitu?”
“Itu dua orang tadi. Kata emak mereka korupsi. Dan korupsi artinya mencuri. Mereka kan tinggi sekolahnya tapi jadi maling juga seperti bapak” Emak benar-benar tidak menduga dengan otak bocah anak lelakinya tersebut sampai ia bisa berpikiran sejauh itu.
Kacong memandang wajah emaknya, “Kalaupun saya nanti jadi maling, saya ingin jadi maling seperti pejabat tadi. Bisa tersenyum di televisi. Tidak mati digebukin seperti bapak.”
“Naudzubillah.” Bibir emak bergetar mengucapkannya.
Satu tahun lalu bapaknya Kacong mati digebukin warga setelah lelaki berkumis tebal itu ketahuan mencuri sapi. Orang-orang ramai menghantamnya dengan batu, dan dia belum juga menemui ajal. Tubuhnya sudah terluka sekujurnya. Kebencian orang-orang padanya tak tertakar lagi. Tujuh malam berturut-turut warga kehilangan sapinya.
Sebenarnya semua orang sudah tahu kalau bapaknya Kacong seorang bajing sekaligus maling di desanya. Mereka tidak berani menuduh di depan matanya karena belum ada bukti. Dan malam itulah ia tertangkap tangan membawa sapi milik warga melewati semak-semak. Seseorang mencari jimat yang bikin tubuhnya kebal. Tak ditemukan apa-apa. Baru satu jam kemudian ada seseorang yang menyuruh menggorok lehernya dengan celurit yang dibawa sang maling. Celurit itu membunuh tuannya sendiri, mengakhiri kejahatannya.
Keesokan paginya seseorang mengabarkan pada emak bahwa suaminya tewas. Jenazah suaminya dibawa pulang, dimakamkan oleh beberapa orang saja. Celurit yang masih berlumuran darah digantung sungsang di balik pintu. Banyak yang tidak datang karena tahu yang akan dimakamkan adalah seorang maling. Kacong yang masih kelas 5 SD waktu itu melihat leher bapaknya hampir putus. Ia bertanya pada emaknya kenapa sang bapak sampai digorok lehernya. Emak menjelaskan saja yang sebenarnya. Kacong diam. Dadanya sesak.
Emak mengelus ubun-ubun kepala Kacong. Ia menangis bukan karena suaminya mati secara keji, melainkan terpukul perasaannya lantaran apa yang dimakannya selama ini berasal dari uang haram. Sejak saat itulah emak memutuskan berkerja serabutan, apa saja dikerjakannya yang penting halal. Semua dilakukan demi Kacong supaya anak kecil itu tidak digariskan nasibnya sama seperti bapaknya.
Kacong memegang tangan emak, mau bersalaman. Emak tersadar dari lamunannya. Kacong berangkat ke sekolah. Ia memakai sandal jepit. Pohon siwalan berbaris rapi di tepi jalan, daunnya diterjang angin. Melewati bahu sawah anak kelas 6 SD itu berjalan seorang diri.
Kacong bertemu dengan beberapa murid lainnya di jalan. Pandangan mereka pada Kacong seolah merendahkan, seperti ingin mengatakan, “Hei, kau anak maling!”
Semua murid bermain di halaman sekolah. Kacong datang dengan tas ransel lusuh yang sudah bolong bagian sampingnya. Mereka menyambut Kacong dengan perkataan, “Anak maling datang…anak maling datang…” Bersorak mereka, bertepuk tangan mengejek Kacong.
“Saya bukan maling!!!” Kacong berteriak.
Ia menghindari anak-anak usil itu. Kacong masuk ke dalam kelasnya yang retak dindingnya, bocor beberapa gentengnya. Ia duduk di bangkunya. Kacong berpikir, bertanya ke dalam batinnya, apakah anak-anak dari dua pejabat Dinas Pendidikan yang ada di televisi tadi akan mendapat ejekan sama seperti dirinya? Apakah justru mereka disanjungnya karena orangtuanya bisa tersenyum di TV?
Pak Guru masuk ke dalam kelas. Sebelum pelajaran dimulai, tiba-tiba saja ada salah seorang murid bertanya ke Pak Guru, kenapa ruang kelasnya belum diperbaiki? Pak Guru menjawab tidak tahu kapan akan direnovasi karena uangnya dikorupsi. Kacong mendadak berkata tanpa diminta, “Pak, saya lihat dua orang pejabat yang kesini kemarin ada di TV. Katanya mereka itu yang korupsi.” Teman Kacong bertanya kepadanya, “Cong, korupsi itu apa?”
“Korupsi itu mencuri, ya mencuri, kata emak begitu. Coba tanya Pak Guru biar jelas.” Kacong menjawab seraya memandang wajah temannya. Pak Guru membiarkan muridnya berdialog sendiri.
“Berarti bapakmu korupsi ya? Korupsi sapi, mencuri sapi, iya kan?” Wajah Kacong seketika berubah. Matanya melotot. Dan pelajaran di dalam kelas itu pun berakhir satu jam kemudian.
Anak berbadan gemuk yang sekelas dengan Kacong tadi berlarian keluar ruangan sambil berteriak, “Bapaknya Kacong korupsi…korupsi…korupsi.”
***
Sepulang dari sekolah Kacong belum menemukan emaknya. Perempuan berambut putih separuh itu sedang berkerja sebagai kuli harian di rumah orang. Tiga puluh menit kemudian emaknya datang dengan keringat membasuh tubuh ringkihnya. Ia melihat anaknya memasang wajah kesal.
“Apakah anak dua pejabat yang korupsi itu bernasib sama seperti saya?”
“Maksudmu?” Emak mengatur laju napasnya.
“Ya, diejek, dihina, karena bapaknya seorang maling.”
Emak tak memberikan jawaban apa-apa. Ia hanya melihat celurit di balik pintu, sebuah celurit yang menggorok leher suaminya karena menjadi maling.
Pulau Garam, April 2021
*)Zainul Muttaqin lahir di Batang-Batang, Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan Madura. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpen perdananya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2019). Email; lelakipulaugaram@gmail.com
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313