Letupan: Antara Realitas dan Kiasan
Kurnia Effendi
(kukabarkan: ini antologi ke-4 di tahun 2022)
BAGAIMANA bila manusia dilahirkan tanpa hasrat? Seperti kita melihat seseorang yang sedang sakit dan kehilangan selera makan. Bukan hanya tiada daya hidup bagi dirinya sendiri, kesayuannya akan memberikan pengaruh buruk—lekas atau lambat—terhadap lingkungan sekelilingnya.
Tidak perlu berpura-pura atau malu saat mengakui bahwa dalam diri kita terdapat sisi hewan liar yang memiliki sifat ingin menguasai dengan cara menaklukkan atau memangsa. Perkara itu sudah banyak terbukti. Bila dipikir, para koruptor (tak hanya pria tetapi juga pejabat wanita) yang santun dan “penjahat pemetik bunga” yang berwajah tanpa dosa, dalam kehidupan sosial kita begitu banyak. Bertebaran dalam berbagai kalangan pergaulan. Bisa jadi, tabiat (baik karena pengaruh lingkungan maupun bawaan lahir) si antagonis itu adalah kita.
Apa yang dapat manusia hindari dari sifat yang memang ditanamkan Tuhan pada dirinya? Malaikat tidak dibekali nafsu. Iblis selain memendam dendam kesumat bawaan surga, tampaknya memang tidak mengizinkan budi baik tumbuh dalam pikiran dan hati mereka. Sementara binatang tidak dianugerahi akal kecuali insting yang salah satunya bertujuan agar tetap hidup dan beranak-pinak. Berkat nafsu itulah manusia mampu mempertahankan diri dari zaman ke zaman. Abad pun diisi dengan adab melalui wahyu samawi yang bernama agama. Pertanyaannya, setelah berabad-abad agama menjadi pakaian manusia: Apakah tercapai tujuan kehidupan yang damai secara menyeluruh? Jawabannya kita tahu: Tidak.
Kenyataan itu kemudian menginspirasi para penulis, para cerpenis. Dalam skala kecil atau besar. Fakta lebih absurd daripada fiksi, tetapi sebuah cerita “wajib” memiliki pijakan kelaziman yang disebut “logika”. Logika dalam fiksi demikian lentur karena berpijak pada argumentasi kreatif. Semisal seorang cerpenis menuliskan matahari yang terbit dari barat, tidak keliru dengan argumentasi bahwa sejak peristiwa dahsyat di satu titik waktu, rotasi bumi berbalik arah. Apa yang terjadi kemudian? Waktu berlaku surut, seluruhnya dihitung mundur.
Itu satu hal, yang dilengkapi dengan hal lain, misalnya tema atau aliran atau mazhab, atau bahkan pecahan subgenre dari—yang disepakati mayoritas penulis dalam antologi ini—jenis thriller yang digabung dengan erotika. Mengingat makna dari thriller sebagai cerita yang seru, tentu di dalamnya ada unsur ketegangan, konflik yang tajam, aksi yang dinamis, serangan teror ke dalam pikiran dan batin, juga unsur yang sengaja disembunyikan pengarang untuk menciptakan misteri dan pelintiran (twist) di pengujung kisah.
Nah, paparan di depan yang mirip khutbah itu saya tujukan untuk membincang soal erotika. Erotisme memang mudah terpeleset ke jurang pornografi—diberi embel-embel “grafi” karena kepornoan itu tersurat secara vulgar dalam aksara yang mudah dibayangkan secara visual oleh pembacanya. Erotisisme atau aliran erotisme berbeda tipis—dari sisi materi—dengan cerita/fiksi porno (saya tak perlu menyebutkan contoh-contohnya) yang kebanyakan sudah pernah kita baca pada masa pertumbuhan usia remaja menuju dewasa. Lantas, bagaimana membuatnya agar berbeda? Kembali saya ingatkan bahwa “kendaraan” atau “peranti” seorang cerpenis adalah bahasa (sebagaimana chef menggunakan pisau dan api untuk menyampaikan bahan masakan dan bumbu sebagai message dalam bentuk menu sajian). Dalam hal ini, majas bukan sekadar garnish atau aksesori, melainkan cara memberikan ruang imajinasi kepada pembaca dengan asosiasi atau metafora. Penghalusan yang tidak serupa dengan eufimisme, tetapi menempatkan perasaan dan pikiran pembaca pada posisi “nyaris”.
Sebetulnya, pada setiap batch Ruang Belajar Cerpen (RBC) yang diselenggarakan oleh grup literasi Nulis Aja Dulu (NAD) selalu membawa aura yang berbeda. Kesan itu dapat saya tangkap melalui interaksi pada WAG (Whatsapp Group) dan cerpen tugas yang saya ulas. Ada kecenderungan irama dan nuansa tertentu yang kemudian saya arahkan. Pada batch perdana, Mei 2020, baik NAD maupun saya meraba-raba mencari bentuk. Proses pembelajaran pun lebih panjang waktunya sebagai eksperimen. Dari tiga tugas, tampak keberagaman mereka cukup luas sehingga ketika teman-teman berniat membuat antologi cerpen, saya memilih satu cerita terbaik dari masing-masing peserta tanpa mengindahkan tema spesifik, bahkan membiarkan variasi yang berbicara. Semua cerita yang ditulis oleh peserta dan sejumlah Admin NAD bermula dari ruang belajar, maka tebersit judul antologi "Dari Sebuah Ruang".
Berbeda dengan batch #4 yang lebih banyak mengandung curahan hati. Seperti bersatu pilihan, termasuk peserta laki-laki, menuliskan sisi kehidupan yang berwarna muram. Ada kandungan penderitaan meskipun dengan tekad memperjuangkan nasib, bangkit dari reruntuhan, dan memilih hari depan yang lebih baik. Fragmen-fragmen yang menggambarkan kemurungan dan pembelajaran dari kesedihan itu saya namai "Pualam Retak". Hati—juga figur perempuan—mirip dengan keramik (tidak harus antik) yang bila rengat, dengan lem super apa pun, tetap meninggalkan bekas retakan.
Betapa saya terbawa hanyut ke masa romantisme saat bertemu dengan cerpen-cerpen dari RBCL (Ruang Belajar Cerpen Lanjutan) kedua, alias batch #3. Seolah-olah seluruh peserta memiliki kenangan dari perjalanan cinta yang tak ingin dilupakan. Memang tidak seluruhnya berkisah tentang keindahan, saya sebut saja mayoritas, sebagai hubungan kasih antara pria dan wanita yang bermakna. Drama dan konflik yang muncul pun—kendati tokohnya, misalnya, seorang pelacur—melahirkan bias-bias cinta. Ada unsur melankolia, kesumat, rindu yang tak terjangkau, bahkan tragedi. Bukankah luka batin merupakan hiasan terbaik sebuah cerita?
Ketika RBC batch #7 ini menyepakati cerita jenis thriller dengan bumbu erotika, saya merasa surprised. Kejujuran untuk meletupkan perasaan gairah yang umumnya terselaputi adab dan kesantunan pergaulan, tiba-tiba disuarakan. Memang bukan hal baru, bukan pula berarti tidak lazim, melainkan ada isyarat bahwa pada kesempatan ini para peserta merasa nyaman dengan saya. Sebagai mentor, saya menghargai cetusan mereka. Faktor kenyamanan itu menjadi sangat penting. Justru saya kemudian mengharapkan letupan-letupan itu—jika perlu—muncul secara out of the box.
“Tipis-tipis saja,” kata salah satu dari mereka untuk tetap menjaga kesantunan. Bagi saya, erotisme “tebal” pun tak mengapa, dengan catatan: pandai dalam menuturkannya. Bukan saatnya orang-orang dewasa dikawal ketat dalam menggali tema untuk mencurahkan gairah berkisah. Maka dengan senang hati saya tayangkan kepada peserta sebuah cerpen berjudul “Bercinta di Bawah Bulan” yang secara bentuk dan isi sedikit “mengganggu”. Maka, saat Dhian Mutiara membujuk saya (istilah teman-temannya) agar mengikutsertakan cerpen saya dalam antologi ini, “BDBB” menempati beberapa halaman di buku ini.
Itu sebabnya gagasan yang terbentuk di kepala saya saat menyarankan sebuah judul di antara pilihan lainnya dalam daftar adalah LETUP. Singkat dan konotatif. Letupan dapat dibayangkan realitasnya, tetapi juga memiliki arti kiasan yang mewakili ujung hasrat, buah gairah—sebagaimana keinginan teman-teman menggarap tema ini dalam antologi. LETUP kemudian saya plesetkan menjadi LET UP! Saya teringat naskah teater Arifin C. Noer berjudul “Biarkan Bulan Itu” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Let That Moon”. Dengan arti serupa, saya sedang membiarkan (bahkan memerdekakan) bangkitnya gairah ke-18 peserta RBC.
Kembali soal letupan, pikiran grafis saya bekerja dan memberikan ide dengan bermain kata. Mulanya teman-teman sedang berdiskusi dengan Alsha Wahida—yang didapuk merancang kover. Kepada saya ditunjukkan sebuah referensi yang menggambarkan “gelora dari kegelapan”. Secara kontras, saya malah berpikir minimalis dan innocent (ah, ini sedang menyindir wajah para moralis yang nafsunya lebih membahayakan). Saya tidak memaksakan, hanya memberikan alternatif, dan ternyata disepakati.
Saat eksekusi rancangan sampulnya ditunjukkan kepada saya, serta-merta saya setuju, dengan meminta agar ilustrasi itu dilanjutkan ke halaman sampul belakang. Ada beberapa usulan untuk menambahkan atau mengoreksi gambar itu agar lebih ini dan itu, mewakili ini dan itu. Saya tidak menolak atau menyetujui. Silakan bila ingin dirombak. Namun, tampaknya tidak berlanjut. Oleh karena itu, saya menyampaikan konsep argumentasi visual itu di sini.
Letupan bukanlah kobaran. Pabila kita melihat kawah yang aktif, terdapat gerakan buih cairan lahar mendidih yang kita sebut meletup-letup. Letupan juga belum menjadi gelora saat seseorang merayakan kegembiraan (misalnya membayangkan kemenangan di depan mata). Letupan tidak sekeras letusan, mungkin lebih tepat untuk pistol dengan peredam. So, saya menyampaikan dalam bentuk metafora visual sebagai api “dalam sekam” atau magma di perut gunung. Latar hitam (kegelapan) mengesankan kontras dan memberi tahu: desakan kepundan itu akibat perasaan yang tertekan, ingin lepas dari keterkungkungan. Seandainya api itu mulat-mulat ke seluruh bagian … itu disebut kebakaran.
Mengapa dilawan dengan percik dan gelembung air kebiruan? Sampai saat ini panas diturunkan dengan hawa dingin, api padam oleh air. Namun, dengan batas garis lini di tengah, selain membagi sifat asali manusia yang memiliki yin dan yang, sebaiknya tetap seimbang. Kembali pada paragraf pertama: Bagaimana bila manusia dilahirkan tanpa hasrat? Kreativitas, rasa ingin tahu, memenangi atas yang lain, hanya dimungkinkan oleh nafsu dan hasrat. Air yang sejuk merupakan simbol pengendali.
Saya meletakkannya terbalik. Air yang melukisan samudra mestinya memiliki kedalaman palung, sedangkan letupan api seharusnya ingin menggapai langit. Ini bagian dari keunikan agar tidak mainstream. Dengan kata lain, jangan sampai nafsu mengatasi segalanya sehingga menggosongkan harapan baik. Garis tengah sebagai cakrawala: visi setiap orang dalam memandang hari depan termasuk mewujudkan keseimbangan. Perihal jenis huruf yang dipilih—sebagian berpendapat kaku dan sederhana—semata menunjukkan ketegasan: “Biar Bangkit!” Judul pun mesti mudah dibaca dari (maksimal antara rak buku di toko) jarak 6 meter.
Bagaimana dengan isi antologi ini? Saya tidak hendak menuntun apalagi memberi bocoran spoiler yang berpotensi mengurangi kenikmatan membaca. Singkaplah halaman demi halaman yang mengandung erotika tipis-tipis, juga nuansa thriller di beberapa bagian.
Saatnya saya berterima kasih kepada Admin NAD yang menyelenggarakan RBC dan memercayai saya sebagai mentor: Irma Susanti Irsyadi, Melanie Agustine, Sissy 'uWie' Fidrianti, Ruhyat Hardadinata, Brigitta Innes, Tamz Martaatmaja, Biru Samudera, dan Hendra Purnama. Terima kasih kepada Lilis Trisnawati sebagai moderator setia dan Alsha Wahida yang mampu menerjemahkan “hasrat” saya. Semoga antologi ini, selain menjadi kenang-kenangan proses belajar cerpen, juga merupakan sertifikat atau ijazah kepenulisan.
Syukur bila kelak kita bertemu di rak toko buku, rak perpustakaan, sebagai buah-buah karya yang akan, sedang, dan sudah dibaca penggemar fiksi. Saya akan salut kepada alumni RBC yang terus menulis dengan profesi apa pun, sebab menulis menunjukkan ketertiban berpikir sekaligus dermawan yang selalu berbagi gagasan.
Salam hangat literasi. Salam sehat literasi. []
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313