Bercak
Desti Pratiwi
Patima rasa-rasanya sudah lelah berdiri di depan sebuah kalender yang digantung di samping cermin kamarnya. Lagi, ia harus menulis kalimat "bulan ini gagal lagi" dengan tinta merah yang empat bulan belakangan setia dipakainya untuk mencatat catatan penting hidupnya dalam sebuah kalender, alih-alih di sebuah buku catatan. Matanya yang telah berkantung hitam pun lelah menelusuri deret tanggal yang terus-menerus ia hitung untuk dicocokkannya dengan perkiraan hitungannya sendiri. Patima kesal bukan main. Kesal pada dirinya sendiri yang tak becus menangani masalah ini. Kesal pada angka-angka dalam kalender yang seperti mengejeknya. Kesal dengan tugas kuliah yang saban hari makin menumpuk. Juga kesal pada kenyataan bahwa ia sedang diawasi.
Patima menatap datar kalendernya. Ia putuskan untuk meninggalkan si kalender sebelum ia sobek-sobek, lalu akan menyesal karena itulah satu-satunya kalender yang ia miliki di kamar kosnya. Namun, Patima malah makin nelangsa ketika dihadapkan dengan sosok dirinya di dalam cermin. Rambut tak tertata rapi, mata dengan lingkaran hitam, dan jerawat di jidat serta dagunya. Maka ia pun tinggalkan pula cermin dan lebih memilih berbaring di kasur lantainya dengan menutup mata.
Patima sangat tak ingin mengeluh. Biasanya, seberat apa pun tugas yang harus ia kerjakan, ia selesaikan hingga tuntas tanpa keluhan yang panjang. Namun kini, dalam sehari ia bisa mengeluh hingga sepuluh kali setiap menatap kalender di dinding kamarnya. Patima bingung dengan masalahnya kali ini. Juga khawatir. Ia ingat tak pernah melakukan sentuhan lebih dengan lawan jenisnya, kecuali berjabat tangan. Dengan ini ia yakin bahwa persoalan yang sedang ia alami bukanlah disebabkan oleh sebuah kehamilan. Itu akan menjadi masalah besar dan rumit jika benar-benar terjadi, sementara Patima yakin ia tak pernah melakukan hubungan intim dengan lelaki manapun. Bahkan dalam waktu yang terhitung lama, ia tak pernah lagi menjalin hubungan emosional dengan laki-laki.
Lalu apa penyebabnya, Patima tak tahu. Dalam empat bulan terakhir, tiba-tiba saja celana dalamnya yang kapan saja bisa dihinggapi bercak merah, menjadi tak lagi tampak. Selama empat bulan, Patima telah berkali-kali mengecek celana dalam yang ia kenakan. Berharap sebuah bercak merah atau kecoklatan muncul, maka ia akan tertawa dengan girang meski di hari-hari pertama perut bagian bawahnya akan terasa sakit bukan main. Namun, nyatanya bercak tak muncul, apalagi rasa sakit di perutnya. Bagi Patima, kehilangan bercak itu dalam waktu yang lama lebih mengkhawatirkan daripada sakit di perutnya yang selalu ia alami setiap bulan.
Katanya hormon tiap perempuan akan selalu berubah-ubah, dan mungkin itu penyebabnya. Ia tahu soal perubahan hormon yang dijelaskan panjang lebar dalam sebuah artikel yang ia cari di ponsel pintarnya. Ia paham dengan segala penjelasan tersebut. Tapi hingga berbulan-bulan? Itu yang tak bisa diterimanya. Beberapa kali, badannya pegal-pegal bukan main. Kepala tak absen dari rasa sakit. Serta punggung yang terasa panas. Pada momen menyakitkan itu, Patima sering berharap celana dalamnya dihinggapi bercak. Namun, hingga rasa sakit itu hilang, si bercak tak pernah mau menampakkan dirinya. Begitulah yang terjadi selama berbulan-bulan ini.
Patima sering berpikir, apakah ini karena tugas kuliah menumpuk yang jarang ia kerjakan? Akhir-akhir ini baginya tugas kuliah menjadi sangat susah. Mungkin juga karena bosan berlama-lama berdiam diri di kamar kos-kosan kecil, tanpa berlibur, tanpa bertemu teman-temannya? Pandemi membuatnya harus mengurangi interaksi dengan orang banyak bahkan sahabat-sahabatnya sendiri. Atau mungkin, karena sebaris pesan yang dikirimkan orang itu lima bulan yang lalu, yang kemudian disusul dengan baris pesan lain yang sangat mengganggunya.
"Hei, kamu cantik." Begitulah bunyi sederet pesan yang membuat Patima tak lagi mengunggah foto dirinya di media sosial. Pesan itu yang membuat ia memilih hidup sendiri di kamar kosnya yang kecil, padahal teman-temannya memutuskan pulang ke rumah mereka masing-masing. Pesan itu yang membuat Patima tak berselera menyentuh tugas kuliahnya. Pesan itu pula yang membuat Patima merasa selalu diawasi. Diintai. Yang lebih mengerikan adalah, selain teks yang terdapat dalam pesan itu, juga foto dirinya yang ia ingat pernah ia unggah dua minggu lalu.
Isi pesannya memang sangatlah sederhana dan menunjukkan pujian yang positif. Terlebih pesan itu datang dari seorang laki-laki yang ia kenal dengan baik. Patima bukan tak suka pujian, bukan pula tak suka laki-laki. Namun, pujian yang dilontarkan laki-laki itu membuatnya bingung dan khawatir, terlebih laki-laki itu ternyata diam-diam menyimpan foto pribadinya. Membuat pikirannya dipenuhi badai pertanyaan dan jawaban tak pernah datang untuk menenangkannya.
Maka untuk menenangkan diri, Patima ingin menghabiskan waktu berlama-lama di kamar kosnya yang kecil. Ia tak ingin pulang. Tak berani bercerita pada ibu. Tak berani mengadu pada bapak. Tak berani bertanya pada kakak perempuannya. Sebab ia tahu, di posisinya ini dirinya lah yang akan menjadi pihak yang disalahkan. Ia tahu watak bapak ibunya, dan ia tak ingin menyakiti hati kakak perempuannya.
Sebelumnya Patima tak pernah tertarik pada sebuah pelarian. Namun ketika menghadapi kondisinya saat ini, pelarian menjadi hal yang sangat ia butuhkan. Sebab di kamar kecilnya ini ia merasa aman. Sejak pesan itu datang padanya, ia tak betah berlama-lama berada di rumah. Menurutnya, selama empat bulan terakhir rumah bukanlah sebuah tempat yang aman. Meski harus tersiksa sendirian menahan rindu pada keluarganya, rindu pada masakan ibunya, serta rindu lingkungan sekitar rumahnya yang ramah. Namun, sebagaimana satu bercak yang sangat berarti bagi Patima, maka satu orang yang mengganggu pikirannya pun tak pernah luput dari perasaan takutnya.
***
"Patima, bapak sakit. Tugasmu sudah selesai? Kalau sudah, ayo pulang, Nak. Kasihan bapak rindu sekali katanya."
Suatu hari di bulan kelima, Patima bingung dengan hidupnya. Ia telah dihinggapi rasa khawatir dan takut dalam waktu yang lama, lalu kini ditambah rasa bersalah pada bapak ibunya. Ia tak mungkin kembali berbohong tentang tugas dan segala tetek bengek urusan kuliahnya. Sebab tugas kuliah tak pernah ia sentuh, pikirnya nanti dapat ia kerjakan jika waktu telah mendekati hari pengumpulan tugas. Ia pun tak punya ide untuk menambah kebohongan lain. Patima tak pandai berbohong. Lama sekali ia tatap ponselnya setelah telepon dengan ibu terputus. Ia belum menjawab tawaran ibu untuk pulang. Sebab ia tahu, orang itu masih di sana. Si pengganggu kehidupan tenangnya hidup bersama keluarganya.
Di sisi lain, Patima tak ingin menjadi anak durhaka. Ia sudah menjadi mahasiswa yang tak benar dengan membiarkan tugasnya terbengkalai. Ia sudah menjadi seorang pengecut dengan pelarian yang dilakukannya. Ia bahkan sudah menjadi perempuan balig yang tak becus mengurusi periode menstruasinya. Ia sadar ia kacau. Hati dan pikirannya tak mungkin menambah nilai buruk pada dirinya lagi. Maka, ia buka aplikasi pesan pada ponselnya untuk memberitahu pada ibu bahwa ia akan segera pulang. Jarinya dengan lincah menarik layar ke atas dan ke bawah hanya untuk melihat pesan menumpuk dari teman-temannya yang tak satu pun ia baca. Dan di sanalah salah satu pesan bertumpuk lainnya ada. Pesan yang diawali pujian menjijikan bagi Patima. Pesan yang berlanjut pada kata-kata godaan yang ditujukan padanya. Pesan dari kakak iparnya sendiri. Suami dari kakak perempuan Patima.
***
Bapak hanya sakit pinggang setelah Patima memastikannya. Sebetulnya ia sangat kesal telah dibohongi dengan drama ibu yang berlebihan. Namun, tak dapat dipungkiri ia pun rindu tawa bapak dan bawelnya ibu. Ia rindu dengan kamar kecilnya di rumah. Mungkin keputusannya untuk pulang adalah hal yang benar. Di kamar kosnya, ia tak punya pengalihan lain untuk meredakan rasa takut. Sementara di rumah, ia bisa berbincang dengan bapak, pergi berbelanja dengan ibu, atau sekedar leha-leha di depan televisi dengan tayangan kartun ninja yang sangat ia gemari. Patima pikir, jika begini ia bisa melupakan masalahnya. Ia bisa menenangkan jiwanya yang kalut, dan segera keluar dari zona yang membuatnya stres luar biasa, yakni kekhawatiran serta kerinduannya pada bercak di celana dalamnya.
Kamar tidurnya menjadi tempat yang dirasa paling aman dan nyaman bagi Patima. Ia merasa bisa bersembunyi dari segala permasalahan yang sibuk mengintai. Pintu yang terkunci rapat, jendela yang selalu ia tutup, dan gorden yang tak lagi pernah ia sibak membuatnya merasa jauh dengan seseorang yang bisa kapan saja mengganggunya. Kamar adalah tempat paling privasi milik Patima, yang artinya tak sembarang orang dapat masuk. Tak ia pungkiri hatinya selalu harap-harap cemas kalau kakak iparnya akan dengan berani mengajaknya berbicara secara langsung. Pernah sesekali berpapasan pun Patima panik bukan main segera mencari-cari ibunya untuk perlindungan. Bahkan ketika telah berada dalam kamar tidur yang terkunci rapat pun, Patima berkali-kali mengecek lubang pintu. Khawatir jika orang itu tiba-tiba nekad menghampirinya ketika sendirian di rumah. Ia benci keadaan rumah yang sepi. Namun, untunglah sejauh ini ia tak mendapatkan tindakan nekad apapun. Hanya sesekali berpapasan, dan ia selalu berhasil tak menatapnya dan segera menyingkir.
Dengan taktik persembunyian dan pelariannya itu, Patima merasa ia bisa mengatasi situasi yang membuatnya tertekan selama ini. Ia selalu berusaha tak pernah terlibat satu perkumpulan atau percakapan pun dengan kakak iparnya. Ketika berkumpul bersama dengan keluarganya, ia selalu bisa beralasan untuk menghindar. Tugas kuliah adalah alasan yang ampuh, dan dengan dijadikan alasan pula lambat laun ia mulai menyelesaikan tugasnya satu per satu sehingga bapak, ibu, dan kakak perempuannya tak pernah sekali pun memberinya reaksi curiga.
Meski demikian, ia tahu tatapan itu selalu mengikutinya. Meski pesan dengan konteks menggoda tak lagi berdatangan dari orang itu, Patima tahu kakak iparnya selalu diam-diam memperhatikan dirinya. Yang pasti ketika kakak iparnya sedang sendiri, tak bersama kakak perempuannya. Patima tak tahu apa tujuan orang itu mendekati dirinya, sampai-sampai menyimpan beberapa foto dirinya. Ia tahu, sebab orang itu selalu mengirimkan foto Patima dengan komentar "Kamu di foto ini cantik sekali" beserta gambar hati berwarna merah. Ia tak pernah berdebar senang dengan hal itu, ia membenci tindakan laki-laki itu. Walau mungkin antara laki-laki itu dan kakak perempuannya sedang dirundung masalah rumah tangga sehingga laki-laki itu berlaku begini, seharusnya sebagai dua orang dewasa yang telah saling mengikat mereka bisa membicarakannya dengan baik. Patima tak ingin dipaksa untuk ikut serta ke dalam masalah mereka. Tak rela dijadikan selingan untuk hiburan laki-laki brengsek itu.
Air mata menetes pada buku di bawah wajahnya yang sedang menunduk. Tiba-tiba Patima merasa begitu lelah sampai ingin menangis. Satu titik pada hatinya menyadari, sejauh apapun dirinya berlari, tetap saja ia akan kehabisan napas. Serapat apapun dirinya bersembunyi, tetap saja ia selalu merasa ditelanjangi. Sekuat apapun ia bertahan, persoalan ini tak berakhir begitu saja. Ia hanya sesekali bersikap seolah telah melupakan, tapi deretan pesan yang telah ia baca selalu berputar dalam kepalanya, dan setiap hari ia selalu mengecek apakah bercak itu muncul atau tidak. Hasilnya selalu nihil.
Patima merasa ia tak akan menemukan ketenangan lagi dalam menjalani hidupnya. Hampir setiap malam tidurnya tak nyenyak. Ia selalu didatangi mimpi dengan wujud kakak iparnya sendiri. Setiap hari ia selalu memandangi kalender kecil di meja belajarnya, menghitung perkiraan apakah awal, tengah, atau akhir bulan akan ia dapatkan kembali tanggal menstruasinya. Nyatanya, di kamar kos maupun di rumahnya ia kembali melakukan rutinitas yang sama.
***
Di Minggu pagi yang hari itu mataharinya cerah, dengan angin berhembus pelan menggoyangkan beberapa daun di tangkai, sementara Patima bangun dengan muram. Kulit wajahnya kusam berminyak, mata membengkak hasil tangis semalam. Perasaannya sudah jelas kacau seperti keadaan kamarnya dengan pakaian berserakan, selimut yang entah kenapa telah teronggok di pojok ruangan, dan alat-alat kecantikan yang menyeruak dari tempatnya.
Di Minggu pagi yang normal bagi Patima, biasanya ia akan pergi dengan ibunya ke pasar untuk berbelanja sayur, ikan, beserta pelengkap kebutuhan lainnya. Jika tak pergi ke pasar, ia akan pergi ke lapangan dekat rumah untuk berolahraga dengan anak-anak kecil. Itu adalah rutinitas yang menyenangkan, sebelum Patima memilih mengisolasi diri. Tentu saja hanya ia yang kini bangun dengan malas. Ibunya pasti tetap pergi ke pasar, mungkin diantar bapak. Anak-anak kecil itu juga pasti menjalani hari Minggu mereka seperti biasanya. Hanya dirinya yang berubah menjadi menyedihkan.
Merasa terganggu dengan wajahnya yang berminyak dan bau rambutnya yang menyengat, Patima pun menyeret tubuhnya untuk mandi, memakai pakaian yang layak, memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik tipis, dan membereskan kamarnya yang kacau. Kemudian ia duduk menekuk lutut memandangi tas besarnya yang semalam telah ia kemas serapi mungkin. Entah apa yang merasukinya semalam, sehingga selepas meluapkan tangis, ia dengan kalap mengemas barang-barangnya ke dalam tas. Pada keadaan kalutnya semalam, ia berpikir mungkin lebih baik dirinya mencari suasana baru selain kamar tidurnya di rumah. Ia pikir bisa mencari tempat berlibur, lalu kembali ke kos-kosannya. Setidaknya ia rasa di kos-kosannya ia tak selalu begitu merasa khawatir.
Namun kini Patima bimbang. Tak mungkin ia terburu-buru kembali ke perantauannya. Baru dua minggu ia pulang ke rumah, dan dengan jelas orangtuanya tahu bahwa aktivitas perkuliahan dilakukan secara jarak jauh. Patima melarikan jari-jarinya ke dalam rambutnya yang lebat sembari menghela napas kasar. Mungkin sebaiknya ia bertahan lebih lama di rumah ini, demi bapak dan ibu, pikirnya. Ia pun beranjak dari duduknya, dengan pelan dan telaten membuka kembali tas dan mengeluarkan barang-barangnya.
Dua baju lengan panjang dan sepasang kaus kaki baru saja ia keluarkan dari dalam tas ketika didengarnya langkah kaki tepat di depan pintu kamarnya. Ia kira itu bapak atau ibu yang pulang dari pasar, akan tetapi ia heran mengapa mereka tak menimbulkan suara ribut seperti biasanya. Alarm waspada tiba-tiba menyala melalui mata dan telinga Patima, tak ketinggalan pula jantung berdebar serta telapak tangan yang mulai basah oleh keringat dingin. Dengan langkah pelan tanpa menimbulkan suara, ia hampiri pintunya yang terkunci rapat. Ragu-ragu menyentuh kenop pintu, berniat membukanya. Sebab bisa saja memang itu ibu atau bapaknya, atau kakak perempuannya yang mengira Patima belum bangun, sehingga berniat membangunkan dirinya dengan pelan.
Namun kewaspadaan membuatnya urung membuka pintu. Maka dengan pelan ia merunduk dalam posisi bersujud untuk melihat apakah seseorang di balik pintu masih ada atau telah pergi. Desain pintu yang sengaja tak menyentuh lantai, menyisakan sedikit ruang kecil sehingga Patima dapat mengintip dari bawah. Sepasang kaki ia dapati di sana, dan jantungnya semakin berdebar. Ia berusaha menjauh dari pintu tanpa melepaskan pandangan pada sedikit celah di bawah pintu itu. Patima hapal dengan benar bahwa ibu selalu pakai rok atau celana gombrang. Bapak selalu pakai sarung atau celana bahan selutut. Lalu seingatnya, kakak perempuannya tak punya kaki dengan bentuk seperti itu. Jelas itu kaki seorang laki-laki, lengkap dengan balutan jeansnya yang selalu orang itu pakai.
Dalam kondisi yang tiba-tiba membuat Patima tak dapat bergerak, otaknya dengan keras berpikir. Mau apa kakak iparnya itu berdiri diam di depan pintu kamar tidurnya di Minggu pagi seperti ini. Dalam keadaan rumah yang sedang sepi. Yang membuat Patima panik luar biasa adalah tak adanya suara dari mulut pria itu. Ini terasa lebih horor dari film horor manapun yang pernah Patima tonton. Bahkan lebih horor dari kejadian mistis yang menimpanya ketika ia kecil dulu. Patima sama sekali tak ingin bertemu ataupun berbicara dengan pria itu, bahkan jika pria itu mungkin akan meminta maaf. Ia hanya ingin melepaskan semua ini, melupakan kata-kata godaan pria itu di kolom pesannya. Ia hanya ingin lari sejauh mungkin.
Maka ketika sayup-sayup terdengar suara motor bapak dari depan diikuti cerewetnya ibu, Patima kembali mendapatkan kekuatannya untuk bergerak. Dengan kalap ia mengambil tasnya dan memasukkan kembali barang-barang yang sebelumnya telah ia keluarkan. Kemudian mengganti pakaian dengan pakaian yang layak untuk perjalanan yang cukup jauh. Di tengah kondisi tangannya yang gemetar, hingga beberapa kali menjatuhkan barang seperti buku dan ponselnya, Patima membulatkan tekad untuk pergi hari itu juga. Ia kini merasa kamarnya sendiri sudah menjadi tempat yang tak aman bagi dirinya.
Setelah melepas napas dengan berat berkali-kali, ia keluar dari kamar dengan sedikit terburu-buru. Menemukan ibu sedang membereskan belanjaan di ruang tamu. Tak ia lihat pria itu di sudut mana pun di rumahnya. Syukurlah.
"Bu, Patima harus berangkat ke Bandung sekarang. Ada hal mendesak, jadi buru-buru. Patima pamit ya, Bu." Setidaknya ia harus sempatkan mengecup punggung tangan ibunya, kemudian berbalik pergi. Bahkan tatapan heran Sang Ibu tak ia hiraukan. Ia tak pernah membayangkan kondisi jiwanya akan sebegini kacaunya.
Bahkan setelah ia mendapat tempat duduk di dalam bus yang akan membawanya pergi jauh, keringat dingin di tangannya tak juga surut. Meski bus telah melaju, yang berarti membawanya menjauh dari rumah meter demi meter, sesak di dadanya tak juga membaik. Dan dalam keadaan duduk tegak, tiba-tiba saja air mata lolos dari mata Patima yang jernih. Disusul air mata lainnya dalam waktu yang lumayan lama. Tanpa suara. Tanpa isak tangis. Tanpa ia pedulikan tatapan orang-orang yang memandanginya di dalam bus.
Seharusnya Patima bisa mengatasi kekacauan ini dengan lebih baik. Namun, ia tak tahu keterdiaman ataukah buka suara yang bisa membuat segalanya mungkin lebih mudah dihadapi. Ia pun memilih diam dengan taktik pelarian dan persembunyian yang membawanya pada mimpi-mimpi buruk. Sebab ia pikir jika dihadapi dengan buka suara, ia hanya akan terseret lebih jauh. Ia tak ingin disalahkan untuk apa yang bukan menjadi kesalahannya. Seharusnya Patima dapat bertahan lebih lama dan lebih kuat. Itu yang ia pikirkan ketika suatu hari selepas enam bulan tak juga ia dapatkan bercak pada celana dalamnya, ia pun mendapatkan bercak itu. Di kamar mandi kos-kosannya. Ketika ia tak tahan menahan kantung kemihnya yang penuh. Di sanalah bercak merah itu. Membuat senyumnya kembali mengembang lebar hingga sampai pada matanya. Ia pun mencuci celana dalamnya yang berbercak itu dengan riang dan semangat.
Saat itulah ia berpikir. Bercak yang membawanya pada perasaan senang pun dengan ringan hati ia bersihkan, kemudian hilang dibawa air ke lubang pembuangan. Entah bermuara ke mana, tapi perasaannya tetap lebih baik ketika melepaskannya, sebab ia tahu bercak lainnya akan muncul, dan ia akan kembali membersihkannya. Maka seharusnya ia bisa lebih ringan hati untuk melepaskan hal yang membuatnya tak bahagia. Seharusnya ia menganggap laki-laki itu dan segala tindakannya sebagai sebuah bercak paling kotor yang sempat membuatnya kacau, dan yang perlu ia lakukan adalah membuangnya jauh-jauh. Bukan membuang dirinya sendiri seperti yang telah lama ia lakukan.
Dulu ia berpikir, laki-laki itu adalah sebuah badai di kehidupannya. Padahal tak lain hanyalah sebuah bercak kotor yang perlu ia singkirkan. Meski nodanya lama untuk dihilangkan secara penuh, ia akan tetap setia selalu membersihkannya. Sehingga ketika bercak lainnya mungkin muncul, ia tak lagi kebingungan dan hilang arah untuk mengatasinya.
Biodata Singkat
Desti Pratiwi, lahir di Sukabumi, 1999. Menempuh pendidikan tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia. Hanya senang menulis dan membaca karya sastra, bukan seseorang yang banyak menerima penghargaan sastra. Sebab dari sastra saya mempelajari kepekaan, empati, dan lebih banyak makna menyoal hidup. Adapun tulisan yang pernah ditulis, tersedia dengan baik di web BSO Literat, Menjadi Manusia, dan Perkawanan Perempuan Menulis. Desti dapat ditemui melalui media sosialnya: pradesti_ (ig), Desti Pratiwi (fb)
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313