Kala Ramadan Menggoda
Oleh Daanish Er Khursyid
Azan subuh baru saja berkumandang. Eno beranjak dari tidurnya, mengambil wudu lalu menunaikan salat subuh di kamarnya. Ia tersenyum seusai subuhan, karena ia tahu besok adalah hari pertama puasa di bulan ramadan. Ini adalah ramadan pertamanya yang akan dilaluinya bersama ayah dan ibunya.
Eno bersyukur karena pendemi covid-19 ini, akhirnya ia memiliki waktu yang banyak untuk bersama ayah dan Ibunya di Desa Tanjung Jati, Muara Enim tempat ia dilahirkan. Selama hampir lima tahun ini jarang sekali ia pulang. Pekerjaannya sebagai masinis di kota Jakarta membuatnya susah untuk pulang.
“Bu, Eno pulang. Meski jadi ODP tapi Eno akan pulang. Kami dirumahkan sementara sampai waktu yang belum ditentukan. Eno mau melewati puasa tahun ini bersama Ayah dan Ibu.”
“Ya, sudah, kami senang kamu pulang. Nanti Ayah yang akan melaporkan kedatanganmu kepada Pak Kades,” jawab Ibu senang.
“Hati-hati di jalan, No. Ayahmu pasti senang mendengar kabar ini.”
Ya, ini sudah hampir 10 hari Eno menjalani isolasi mandiri di rumahnya. Aktivitasnya hanya membantu kedua orang tuanya dan berolahraga di halaman rumahnya. Sesekali ia menghubungi kantornya di Jakarta menanyakan perihal aktivitas dan pengumuman penting tentang pekerjaan.
Setelah mandi pagi, Eno membersihkan rumput yang ada di perkarangan rumahnya. Saat ia tengah asyik bekerja, tanpa sengaja ia melihat Orin sahabatnya saat SMA dulu. Ia menghentikan pekerjaannya, berusaha meyakinkan diri bahwa itu memang benar-benar sahabatnya.
“Orin,” akhirnya Eno tidak sabar memanggil.
“Eno,” wanita yang ternyata memang benar Orin menoleh dan terkejut.
Mereka akhirnya terlibat percakapan yang mengasyikkan. Setelah sekian lama tidak bertemu, mereka seperti melepas rindu dengan tertawa dan tersenyum. Mereka tidak menyadari sinar matahari yang mulai menyengat.
“No, aku masuk dulu, ya. Setelah kamu selesai isolasi dirinya, kita bisa ngobrol lagi. Semoga kamu baik-baik saja ya, No,” Orin mengakhiri pembicaraan mereka dan meninggalkan Eno.
“Iya. Terima kasih ya, Orin. Aamiin,” jawab Eno sambil tersenyum dan melihat Orin hingga menghilang di balik pintu rumah.
Setelah pertemuan itu, entah mengapa Eno merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia tersenyum sendiri. Dan hal itu ternyata dilihat oleh ibunya yang sedari tadi duduk memperhatikan mereka di teras rumah.
Saat Eno hendak masuk dan membersihkan tangannya, Ia terkejut melihat Ibu sambil tersenyum menatap ke arahnya.
“Ibu senyum-senyum melihat Eno. Ada apa, Bu?” Eno menghentikan langkahnya.
“Menurutmu bagaimana Orin itu?” tanya Ibu sambil tersenyum.
“Ehm…, tambah cantik dan cara berbicaranya berbeda jauh dengan dulu, Bu.” Eno mengurungkan niatnya untuk mencuci tangannya. Ia malah duduk di hadapan ibunya sambil tersenyum.
“Kamu tahu? Dia sekarang seorang ASN. Dia sering kemari menanyakan kabarmu,” Ibu berhenti sambil memperhatikan wajahku dengan senyumnya.
Wajah Eno sontak memerah dan tersipu malu. Namun, ia berusaha menyembunyikan hal itu dari Ibu. Ia masih ingat. Sebelum berangkat ke Jakarta bagaimana malunya ia ketika ayah Orin menyebutnya pengangguran kelas berat dan tidak mungkin ada gadis di dusun ini yang mau kepadanya.
Berbekal sakit hati itu akhirnya Eno nekat ikut pamannya ke Jakarta. Di sana ia mengikuti tes sebagai masinis. Berkat kerja kerasnya akhirnya ia berhasil masuk dan diikutkan pelatihan masinis selama satu tahun. Kini ia menjadi masinis yang bersertifikasi.
Saat bertemu dengan Orin tadi, bunga-bunga cinta dalam hati Eno seolah bersemi kembali. Namun di satu sisi, ia kembali teringat akan kata-kata yang dilontarkan oleh ayahnya Orin beberapa tahun lalu.
Ibu seolah mengetahui apa yang ada dalam pikiran Eno.
“Kamu harus belajar ikhlas dan melupakan yang sudah terjadi!” seru Ibu.
“Sebelum puasa ibu minta kamu bisa memaafkan semua yang sudah terjadi. Banyak-banyak bersyukur dengan apa yang sudah kamu peroleh saat ini!” Tambah Ibu.
Eno diam dan langsung masuk ke dalam rumah. Melihat hal itu, Ibu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu, Eno masih berat untuk bisa memaafkan dan melupakan apa yang sudah terjadi kepadanya beberapa tahun lalu.
Malam harinya merupakan malam pertama tarawih. Eno bersama kedua orang tuanya melakukan salat berjamaah di rumah. Ayah Eno yang merupakan seorang imam masjid di dekat rumahnya memimpin salat. Usai salat Eno duduk berdua dengan ayahnya di ruang keluarga, sementara ibunya menyiapkan segala sesuatunya untuk sahur pertama.
“Besok, waktu isolasi mandirimu berakhir. Ayah minta tolong kamu bantu Pak Sahid untuk membersihkan masjid menggantikan Ayah yang sudah tua ini,”
“Oh iya, Pak Sahid berpesan pada Ayah beberapa waktu lalu kalau ia ingin berjumpa denganmu. Besok, kau temuilah dia dulu!” lanjut Ayah.
Eno mengangguk dan terdiam. Pak Sahid adalah orang tuanya Orin. Dialah orang yang telah membuatnya merasa sakit hati hingga saat ini. Jika boleh memilih, mungkin ia akan menghindari bertemu Pak Sahid. Tapi ini adalah permintaan Ayahnya, Eno tidak mungkin untuk menolaknya.
*
Keesokan paginya, Eno sudah sudah bersama beberapa orang tetangganya sudah berada di masjid. Hari ini mereka akan membersihkan lantai masjid dan lingkungan masjid dengan desinfectan.
“Assalamu’alaikum?” Pak Sahid yang baru saja datang menyapa semua orang yang ada di sana. Ia lalu menyapa mereka satu per satu tidak terkecuali Eno.
Hampir dua jam mereka semua membersihkan masjid dan menyemprot lingkungan masjid dengan desinfectan. Setelah selesai, waktu zuhur hampir tiba. Mereka semua hendak pulang ke rumah masing-masing.
“Eno, setelah asar nanti bisakah ke rumah. Ada yang ingin saya bicarakan,” tiba-tiba Pak Sahid menegur Eno di hadapan bapak-bapak lainnya. Eno terlihat kikuk namun tanpa menunggu lama ia lantas mengiyakan keinginan Pak Sahid tersebut.
Menjelang asar, Eno terlihat begitu resah. Ia hilir mudik di teras rumah, membuat Ayah dan ibunya merasa heran.
“Ada apa denganmu dari tadi Ayah melihat kamu seperti orang bingung saja?” Ayah bertanya dan membuat Eno yang sedang larut dalam pikirannya merasa terkejut.
“Tidak apa-apa, Ayah. Eno diminta untuk menemui Pak Sahid di rumahnya.”
“Tapi Eno malas ke sana, Ayah.”
“Eno masih merasa sakit hati.”
“Semua orang pernah merasakan itu. Tapi orang yang paling bahagia adalah orang yang ikhlas,” Ayah menjawab dengan tenang sambil menyuruh Eno untuk duduk di depannya.
“Berkurang ibadah puasamu bahkan mungkin sia-sia jika dalam hatimu masih ada perasaan itu kepada seseorang.”
“Kamu temui Pak Sahid. Mungkin ia ingin meminta tolong kepadamu. Jika iya, bukankah itu nanti akan jadi ladang amal bagimu.”
“Kamu sudah dewasa. Jadilah pribadi yang kuat dan ikhlas. Ayah dan Ibu akan bangga sekali jika kamu bisa seperti itu.”
Eno merasa hatinya seperti disiram air yang begitu sejuk. Kata-kata Ayahnya seolah menyadarkan kesalahannya selama ini. Ia begitu egois dan membuat hidupnya merasa tidak tenang. Ia melihat wajah ayahnya yang begitu tenang, sosok yang selama ini menjadi idola sekaligus panutannya. Ia tidak ingin mengecewakan sosok ini juga Ibunya.
Setelah yakin akan dirinya, Eno pamit kepada ayahnya untuk pergi ke rumah Orin. Di sana ia diterima dengan baik oleh Pak Sahid, ayahnya Orin. Orin dan ibunya juga ikut menemani mereka berbicara.
Pada kesempatan itu, Pak Sahid meminta maaf kepada Eno atas perlakuan dan perkataannya beberapa tahun lalu. Pak Sahid menyesal karena telah berbuat seperti itu. Eno yang telah memaafkan dirinya dan juga Pak Sahid menerima dan meminta maaf pula atas sikapnya. Mereka terlibat percakapan yang akrab dan penuh kehangatan.
Sejak hari itu Eno merasa begitu bersyukur dengan puasa ramadan tahun ini. Ia berhasil menaklukkan hatinya yang begitu beku. Ia telah menyambung kembali tali silaturahmi yang selama ini terputus. Dan pastinya ia bisa berkumpul bersama kedua orang tuanya menjalani ibadah puasa yang terasa begitu menggoda hatinya. Seperti saat ia melihat Orin, perempuan yang memikat hatinya sejak dulu.[]
DAANISH ER-KHURSYID, adalah nama pena dari Rubijanto. Ia seorang Kepala Sekolah di sebuah SMP di kota Muara Enim. Karya-karyanya berbentuk cerpen, cernak dan cerma termaktub di Harian Padang Ekspres, Harian Medan Post, Harian BMR Fox, Harian Minggu Pagi, Harian Sinar Indonesia Baru. Pernah menjadi finalis dalam lomba menulis dan sudah memiliki beberapa buku antalogi. Saat ini tergabung dan aktif menulis di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313