Anjing Musim Penghujan
Oleh : Kismunthofiah
Beberapa hari lalu, di kawasan Pasatren, sebuah daerah yang cukup jauh dari kota besar, ditemukan seorang pemuda tewas di pinggiran sungai. Ia berlumur darah dengan pisau tajam melekat di telapak tangan.
Pemuda itu berusia sekitar 21 tahun. Berbadan gempal dengan rambut ikalnya yang dikuncir. Tidak diketahui dengan pasti penyebab meninggalnya sang pemuda, namun ada seekor anjing yang sedari tadi menungguinya di tepian. Sesekali anjing itu menggonggong dengan keras, seperti memanggil warga supaya datang dan menggotong mayat pemuda yang sudah tak bernapas itu. Sang anjing terus mengikuti dari belakang, bahkan ketika hendak dimakamkan pun, ia tetap berada di sekitar mayat serta warga yang turut hadir di pemakaman.
Saat warga sudah berduyun-duyun kembali ke rumah masing-masing, anjing itu berjalan mengitari makam. Terus menerus. Sesekali mengendus-ngendus nisan keramik berwarna biru yang mulai kotor oleh lumpur tanah di sekitarnya. Maklum bulan November, masih musim penghujan kala itu.
Setiap ada rintik hujan yang mulai berjatuhan, anjing itu akan berlari ke sebuah bangunan tua yang terbuat dari kayu jati. Atapnya hanya berupa genting kusam yang sesekali bocor. Saat hujan reda, ia akan kembali mengendus-endus makam si tuan. Mengitarinya berkali-kali. Jika menginjak senja, si anjing akan diam di gundukan dan merengek layaknya binatang yang sedang kesakitan. Tali di lehernya juga masih melekat. Penjaga makam yang melihat anjing itu sudah sering mengajaknya ke rumah. Namun hasilnya nihil, sang anjing hanya terus berputar mengitari makam. Ia tetap setia disana. Sudah tujuh hari. Batu nisan yang bertulis DALEE. Pasatren, 21 November 2021 itu sudah benar-benar tertutup percikan air tanah. Namun sang anjing tetap disana, entah apa yang dinanti.
***
Suatu hari ada seorang pemuda berusia sekitar 25 tahun. Ia mengenakan kemeja hitam. Yang menandakan bahwa pemuda tersebut dalam keadaan sedang berkabung. Ternyata ibunya meninggal dan hanya dia seorang yang ditinggalkan. Melihat anjing di sekitar makam bertuliskan "DALEE" membuat sang pemuda ingin membawa pulang anjing itu untuk dipelihara di rumahnya. Berulang kali tali anjing ditariknya, dan kepalanya di elus-elus agar bersedia ikut dengannya. Aneh! Sang anjing dengan mudahnya menerima ajakan pemuda itu tanpa ada tolakan atau keinginan untuk lari karena ketakutan. Lantas si pemuda membawa pulang sang anjing ke rumah sederhananya. Kini sang pemuda yang bernama Leang itu tidak sendiri lagi, ada sang anjing yang menemaninya.
Setiap pagi anjing itu selalu diberi makan. Ketika bepergian pun Leang selalu mengajaknya. Bahkan tali lehernya sudah diganti dengan yang baru. Sang anjing bahkan sering dibawanya ke dokter hewan agar ia selalu sehat dan terhindar dari penyakit berbahaya. Leang terlihat sangat menyayangi sang anjing, bahkan ia memberi nama "Munthe". Setiap Leang usai bekerja, selalu saja Munthe menggonggong dan berlari ke pelukan Leang. Jika Leang belum pulang dari bekerja, maka Munthe akan setia menunggu di halaman rumah hingga kelihatan batang hidungnya. Jika malam sudah tiba, maka Munthe akan berlari ke ranjang untuk tidur di samping Leang. Hal itu terjadi setiap harinya. Hingga suatu hari, hal yang tidak dipikirkan terjadi.
Beberapa hari terakhir, Leang terlihat berbeda dari biasanya. Usai bekerja ia sering membawa beberapa botol minuman keras dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Dalam kurun waktu itu pula ia sangat jarang memperhatikan Munthe, bahkan lebih sering memukul Munthe jika ia menggonggong sangat keras saat meminta makan. Mata Leang terlihat sayu, lelah dan merah. Ia figur yang berbeda dan sangat jauh dari karakter asli dulu.
Di suatu pagi setelah bangun dari tidurnya, Leang tiba-tiba berteriak dengan sangat keras. Ia menghardik sejadi-jadinya si anjing yang sudah bersamanya selama kurang lebih tiga bulan itu.
“Pergi kau anjing sialan. Karna kau, Aku dan Annelise tidak jadi melangsungkan pernikahan. Kau yang menyebabkan kekasihku mati dalam keadaan tragis. Pergi kau! Jangan kesini lagi! Aku sangat menyesal memeliharamu susah-susah. Lebih baik mati saja kau daripada hanya menyebabkan musibah!”
Dengan begitu keras, Leang memukul Munthe hingga ia terluka. Belum cukup memukul saja, ia juga menyiram Munthe dengan air panas yang menyebabkan si anjing menderik kesakitan. Namun ia sama sekali tidak melawan majikannya itu. Hingga akhirnya, Munthe lambat laun mulai mengalami nafas yang tidak teratur. Ia melemah dan akhirnya tidak bergerak sedikitpun. Saat itu, Leang dengan teganya meninggalkan anjing itu di teras depan rumahnya.
Ia kembali ke kamarnya dan mencari benda berharga yang dulu diberikan kepada Annelise – calon istrinya yang kini sudah tenang di alam sana. Tiba-tiba muncul-lah seekor ular besar yang pada giginya terdapat kalung milik Annelise. Seketika itu, Leang lemah tak berdaya. Ia menangis sejadinya dan sangat menyesali perbuatannya kepada Munthe. Yang ada, Munthe tidak pernah bersalah. Ia hanya mencoba menyelamatkan Annelise yang beberapa hari lalu menjadi incaran ular berbisa. Bahkan ada beberapa luka yang sempat Munthe derita. Hanya saja, Leang tidak pernah tahu dan lebih mengedepankan prasangka yang membabi buta, bahwa Munthe yang menyebabkan kematian kekasihnya.
Saat itu masih hujan. Leang hanya memandang dengan tatapan kosong seekor anjing yang sebetulnya begitu setia kepadanya. Hidup memang penuh prasangka, namun jangan biarkan otak dipenuhi dengan prasangka sehingga kita hanya tahu satu sisi negatif saja.
Purwodadi, 10 Februari 2022
02.32 WIB
KISMUNTHOFIAH, lahir di Grobogan, 01 Januari 2000. Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Ia aktif sebagai penulis lepas baik sastra maupun karya ilmiah. Buku yang telah terbit ber – ISBN Perempuan Penjemput Rindu (2020), Kita Perempuan (2021) & Bunga Rampai Kritikus (2021). Karya ilmiahnya terpublikasi di Jurnal Nasional bertema Jilbab. Penulis kini sedang bergiat di komunitas penulis novel di berbagai platform online.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313