Surat Dhani untuk Bapak Presiden
Dhani tak tahan lagi dengan celoteh Kakek dan Neneknya semenjak sebulan belakangan ini. Orang tua itu sudah mencoba dengan seribu bahasa untuk mengingatkannya agar tidak terlalu sering keluar rumah. Pasalnya, mereka yakin bahwa begitu banyak kejahatan yang akan menghampiri diri Dhani. Entah di kios fotokopi, di pelataran masjid, sampai di rumah teman-temannya tempat ia biasa menginap. Mereka khawatir, dunia luar sana hendak mencabik-cabik tubuh kurus Dhani sampai ke tulang-tulangnya. Paling tidak, itulah yang sekiranya ada dalam pikiran mereka.
Alhasil, Dhani memutuskan untuk menulis surat pendek yang isinya tidak formal sama sekali—karena ia tak mahir bermain dengan kata penuh etika yang menjilat. Tujuan surat itu jelas: Bapak Presiden yang terhormat.
Mendekati tengah malam, ia membuka laptop yang telah ia pinjam sebelumnya lalu mulai menulis kata demi kata:
Kepada Bapak Presiden Yang Terhormat,
Sebagai pembuka tulisan ini, aku hanya ingin memulainya dengan sebuah kata: Bajingan. Yah, paling tidak kata itu menjadi satu refleksi bahwa tulisan ini akan kutulis dengan deretan kata-kata yang tidak resmi seperti limpahan surat yang ditujukan kepada Bapak selama ini. Lagi pula, bajingan itu masih bisa Bapak temui di KBBI. Kalau tidak percaya, coba saja tengok sendiri, kalau agak malas bisa juga minta tolong ajudan. Pak, dengan segala rasa hormat yang berbatas, aku hanyalah seorang pelajar yang menginginkan ketenteraman entah itu di pasar, di jalanan, di sekolah, dan terlebih lagi di rumah. Aku sudah terlampau gusar dengan hidup, tak tahulah aku kalau Bapak, bisa jadi lain. Yang jelas, betapa besar harapanku mengetahui bahwa Bapak tetap membaca suratku sampai di kalimat ini. Jadi, akan kujelaskan terlebih dahulu mengenai dasar tulisan ini.
Perkenalkan namaku Dhani, dan yang pasti aku bukanlah seorang musisi kenamaan yang konon selalu berseberangan dengan Bapak itu, bukan. Aku tinggal bersama Kakek dan Nenekku, jauh dari lokasi Bapak tinggal. Jikalau Bapak iring-iringan mobil dengan Patwal pun, Bapak masih harus menempuh lebih dari satu jam perjalanan. Jadi bisa dipastikan, rumah kami bukanlah ancaman nyata bagi keluarga Bapak. Toh Markas Besar Angkatan Darat berpagar hitam legam yang gerbangnya bisa terbuka sendiri itu masih ada sekitar satu blok dengan ranjang tempat Bapak tidur.
Kakek dan Nenekku sudah uzur, banyak sekali cerita yang telah menumpuk di berkas kehidupannya. Mereka juga bukan mantan kriminal ataupun eks tahanan politik yang di mana selama-selamanya merupakan musuh negara. Kami saling menjaga satu sama lain di rumah kecil kami, dibarengi oleh dialektika watak dan persepsi yang terkadang menjemukan karena perbedaan generasi yang mencolok. Coba Bapak bayangkan, alangkah nikmatnya hidup mereka: mulai bangun jauh di pagi hari dan menunaikan ibadah yang mereka percayai, lalu membuat teh manis hangat tak lupa dicampur gula anti diabetes, kemudian menunggu tukang bubur ayam keliling lewat sembari membaca koran ataupun mengaji.
Kalau aku ini, syukur-syukur kalau bisa menikmati keheningan pagi. Karena aku memang lebih sering berkutat dengan malam yang bersembunyi di balik tirai-tirai stigma. Karena menurutku, hanya ada satu keniscayaan pada sang malam: ia jujur tanpa coreng. Sebagai informasi, mereka itu pernah hidup di zaman Presiden pertama sampai masa Bapak menjabat. Jadi tak pahamlah kita—aku maupun Bapak—soal apa saja yang mereka lalui persis secara empiris. Pembantaian atas nama ideologi saja pernah mereka lintasi, dan krisis-krisis lain yang timbul menghantam negeri ini.
Supaya tulisan ini tidak berlarut-larut, aku hendak menyampaikan kegelisahan sekaligus angan yang silih bergejolak dalam benak. Pak, Kakek dan Nenekku itu adalah pasangan yang romantis. Selepas mendirikan salat magrib, Nenek menyiapkan makan malam di meja, kemudian memakannya sembari dikawani televisi yang menyala dengan suara tinggi. Dan hal ihwal inilah yang sekiranya aku takutkan: segala yang ada di televisi terkutuk itu.
Pak, mereka sudah renta. Dan telah begitu banyak sadisme yang mereka saksikan di sepanjang hayat. Aku tidak mafhum kalau Bapak seringkali menonton televisi setiap malamya, selepas menyantap hidangan 4 sehat 5 sempurna yang disajikan oleh dapur istana. Tapi coba sesekali Bapak jenguk di layar besar itu, yang ada hanyalah kebodohan dan kemunafikan belaka. Berat rasanya untuk mengambil ancang-ancang lantas menekan tombol untuk mematikan televisi kesayangan mereka.
Tumpukan berita tentang pembunuhan, mutilasi terstruktur, gundukan bundel korupsi, kebakaran lahan sekalian gedung milik negara, pelacuran fisik dan pikiran, onggokan sampah masyarakat, makhluk-makhluk kolong jembatan yang lagi-lagi teraniaya, ribuan nyawa yang yang beterbangan dilahap virus, ratusan bisikan maut di jalan-jalan tol dalam dan luar kota, kebisingan suara korban kekesaran di sebuah apartemen pinggir kota, amukan mahasiswa dalam kobaran api di tengah kota, pekikan lunglai dari mulut petani-petani yang diambil tanahnya, rintihan malang perempuan yang diperkosa habis-habisan secara bergilir, penembakan di pos-pos instansi antar oknum yang berpredikat sebagai pelindung rakyat, ledakan demi ledakan di belahan dunia sana, rentetan peluru yang menembus kepala, keluhan seorang ibu yang tak sanggup membelikan susu dan setelah itu menelantarkan sang anak di pinggir tong sampah, atau para suami yang dengan rela memanggang rumah berisikan darah dagingnya sendiri, sampai para penista yang terang-terangan mencaci para golongan yang mereka sendiri anggap penista.
Kakek dan Nenek hanya gelisah dan cemas terhadap ragaku yang mereka pikir ringkih ini. Maklum, aku cuma cucu satu-satunya. Wajar jika berjibun ucapan gamang menghampar dari sepasang bibir tua itu. Mereka merinding setengah mati mengkhayalkan kematian yang berserakan di ambang pintu rumah yang kami tinggali. Mereka selalu tertegun setiap kali aku meminta izin untuk sekadar membeli sebungkus rokok di warung ujung kompleks perumahan. Mereka mungkin resah tiba-tiba di suatu pagi yang sunyi mendapati sebuah karung berisikan jasadku yang telah mati, tepat di samping Kakek mengambil koran hariannya. Pak, kegilaan telah merasuki isi kepala mereka. Ada yang lebih kronis daripada perusakan tubuh dan pembasmian manusia, yaitu penghancuran akal.
Aku sadar bagaimana kewenangan Bapak dapat mengindahkan permintaan sepeleku ini—salah seorang rakyat yang legal secara hukum bermodalkan bekal menulis dari guru-guru di sekolah. Sesungguhnya, aku hanya ingin meminta tolong agar Bapak menyuruh orang-orang televisi itu untuk memberitakan juga optimisme, bukan cuma kemelaratan dan kepedihan. Bukankah itu yang selama ini Bapak hadirkan di lingkungan pemerintahan: rezim yang bersih, berkilau, dan mengilap. Tapi kenapa tidak untuk Kakek dan Nenekku? Karena dari sorot mata mereka, aku melihat timbunan berjuta kemuakan soal hidup yang tak kunjung habis.
Sebagai penutup surat ini, besar harapanku agar Bapak membacanya sampai tuntas. Tolong jangan berhenti di paragraf keempat. Karena pernah aku mendengar seorang penulis besar negeri ini berujar: penghargaan terbesar seorang penulis itu adalah ketika tulisannya dibaca.
Salam hormat, Dhani.
***
“Ya ampun, belum tidur juga ya kamu? Sudah subuh, sudah azan,” tutur Neneknya yang muncul dari balik pintu, “Kamu lagi apa sampai bergadang begini.”
Dhani terkesiap barang sejenak, “Ini Nek, habis menulis surat buat Presiden.”
“Ah, bisa-bisanya kamu saja. Memangnya itu surat bakal sampai ke beliau?” tanya si Nenek seketika.
“Bisa kok kalau benar-benar diantar.”
“Terserah kamu sajalah. Tapi jangan kamu sendiri yang antar ya, itu jauh, Dhan,” sembari beringsut mundur keluar dari kamar. Dhani menutup laptop, memungut sarung lalu mengambil wudu sebelum menuju kamar salat.
*) Muhammad Faisal Akbar lahir di Jakarta, 17 Oktober 1996 dan kini tinggal di Kota Depok, Jawa Barat. Gemar menulis tentang sepak bola dan beberapa kali dimuat di media online. Bisa dihubungi melalui email ical.akbar007@gmail.com atau Twitter @icaleida.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313